Pahlawan Itu Memang Berjuang Tanpa Mengharap Imbalan

Hanya saja yang jelas, bisa jadi Mak Eroh bukanlah sosok pahlawan pejuang abal-abal seperti yang banyak berkeliaran sekarang ini.

Minggu, 10 November 2019 | 21:23 WIB
0
446
Pahlawan Itu Memang Berjuang Tanpa Mengharap Imbalan
Ma Eroh (Foto: Youtube.com)

Kepahlawan para pejuang kemerdekaan, sudah tidak diragukan lagi memang. Mereka rela berjuang merebut kemerdekaan dengan mengorbankan darah, dan nyawa secara ikhlas dan...  Ini yang patut ditulis dengan tinta emas: Tanpa pamrih. Tanpa imbalan.

Dengan rela, atawa hati yang ikhlas. Kata-kata itu pun perlu di garisbawahi. Untuk dijadikan suri-tauladan oleh generasi mendatang. Betul. Mereka adalah sukarelawan dan sukarelawati yang menjadi martir kemerdekaan negeri ini. Dengan merebutnya dari tangan penjajah, tentu saja.

Tapi awas hati-hati. Bin waspada. Dewasa ini banyak kelompok yang menyebut dirinya sebagai relawan. Iya sukarelawan. Seperti misalnya saat pilpres yang baru lalu. Satu di antaranya adalah pendukung Jokowi. Mereka menyebut dirinya Relawan Projo. Tidak salah lagi Projo kependekan dari pro Jokowi.

Nah, kalau yang satu ini, menyebut sebagai sukarelawan tersebut bisa jadi hanyalah sebagai basa-basi belaka. Atawa mungkin juga karena bukan onderbouw salah satu parpol koalisi pendukung Jokowi. Kelompok itu ternyata tidak sungguh-sungguh sebagai kelompok yang berhati ikhlas dalam memberikan dukungannya.

Terbukti saat Presiden Jokowi mengumumkan Kabinetnya, kemudian di dalamnya ada nama Prabowo, yang notabene seteru, alias rival Jokowi saat pilpres, sementara nama pucuk pimpinan Projo sendiri tidak disebut-sebut, mereka pun lalu ngambek. Menyatakan sudah tidak mendukung lagi Jokowi.

Akan tetapi tatkala Jokowi mengumumkan para wakil menteri, dan nama Budi Ari Setiadi, itu pimpinan Projo tersebut termasuk di dalamnya, yakni diangkat sebagai wakil menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, eh mereka pun balik mendukung kembali.

Terhadap jokowi, tentu saja. Bahkan terhadap Prabowo yang dianggap musuh bebuyutan selama perhelatan pemilihan presiden, sekarang ini jungkir balik berubah sikapnya. Jadi bermuka manis, dan penuh keakraban. Disebutnya sebagai sahabat. Kawan lama yang berkumpul kembali.

Jika begitu caranya, kata relawan di depan Projo itu sebaiknya dibuang jauh-jauh ke tengah lautan. Kasihan generasi mendatang telah didustai. Untung saja generasi milenial sekarang ini pinter-pinter. Anak gadis saya saja yang duduk di bangku SMA mencibirnya ketika nonton beritanya di televisi.

Lalu setelah kemerdekaan ini kita nikmati hingga saat ini, masih adakah para pejuang pengisi kemerdekaan di sekitar kita? Iya pejuang yang layak disebut sebagai pahlawan di bidangnya masing-masing?

O, tentu saja banyak. Misalnya saja pahlawan olah raga yang mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. Pahlawan lingkungan yang ikut menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita dari berbagai ancaman bahaya kerusakan.

Tidak hanya terdiri dari kaum pria saja. Banyak juga kaum wanita. Bahkan terkadang ditemukan juga seorang wanita yang mampu melebihi kemampuan kaum pria. Dan sanggup mengerjakan hal yang dianggap mustahil oleh orang kebanyakan. Tidak hanya itu. latar belakangnya yang tanpa pendidikan pun bukan suatu halangan yang menentukan bagi yang benar-benar memiliki niat untuk memperjuangkan kebutuhan bersama.

Buktinya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di pertengahan 1988 lalu, seorang perempuan tua, biasa dipanggil Mak Eroh, warga kampung Pasirkadu, Desa Santanamekar, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, menjadi bahan perbincangan hingga ke tingkat nasional. Betapa tidak. Sosok Mak Eroh ketika itu telah mengharumkan nama Kabupaten Tasikmalaya setelah meraih penghargaan Kalpataru.

O iya. Penghargaan Kalpataru adalah bentuk apresiasi pemerintah (Sejak jaman Orde Baru) yang diberikan kepada perorangan, atawa kelompok atas jasanya dalam melestarikan lingkungan hidup. Sementara  kalpataru sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya adalah pohon kehidupan.

Adapun kiprah Mak Eroh sampai mendapat penghargaan Kalpataru tersebut, tidak lain karena keperkasaan dan kegigihannya dalam membuat saluran air sepanjang 5 kilometer melintasi perbukit­an di lereng Gunung Galunggung. Sementara yang memotivasi Mak Eroh untuk menggali saluran air adalah karena mata air yang menjadi sumber kehidupan warga kampungnya tertimbun longsoran pasir setelah terjadinya letusan gunung Galunggung pada 1982. Saluran air yang membelah bukit, dan melintasi lereng gunung itu dikerjakan sorangan bae.  Iya, oleh Mak Eroh sendiri. Tanpa mendapat bantuan orang lain.

Bagaimanapun pekerjaan itu suatu hal yang dianggap mustahil bagi kaum pria sekalipun. Sehingga ketika memulai pekerjaannya, ada yang menyebut Mak Eroh sebagai jalma gelo (orang gila). Akan tetapi Mak Eroh tidak mempedulikannya. The show must go on. Dengan bersenjatakan cangkul, linggis, tatah, dan belincong emak itu berangkat pagi pulang sore.

Baru ketika pekerjaan yang memakan waktu berbulan-bulan itu hampir kelihatan hasilnya, beberapa warga pun ikut membantunya. Sampai pada ahirnya air yang dibutuhkan warga kampung itu mengalir melalui saluran yang dikerjakan Mak Eroh. Sawah warga pun kembali berfungsi kembali. Bisa ditanami padi.

Cerita kegigihan dan keperkasaan Mak Eroh ketika itu tersebar kemana-mana, hingga terdengar ke lingkungan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Kemudian ia pun diusulkan sebagai pejuang lingkungan hingga ke tingkat nasional. Hingga akhirnya menerima penghargaan Kalpataru dri Presiden Suharto.

Kebanggaan warga Kabupaten Tasikmalaya atas jasa Mak Eroh, diwujudkan dengan dibuatnya tugu peringatan. Dan oleh masyarakat Kabupaten Tasikmalaya Mak Ěroh disebut sebagai pahlawan pejuang lingkungan.

Tahun 2004 lalu Mak Eroh telah meninggal dunia. Adakah di antara warga Tasikmalaya yang masih mengenangnya?  Adakah penghargaan Kalpataru mampu mengangkat kehidupan keluarga Mak Eroh yang sepeninggalnya?

Hanya saja yang jelas, bisa jadi Mak Eroh bukanlah sosok pahlawan pejuang abal-abal seperti yang banyak berkeliaran sekarang ini. Dia memperjuangkan kehidupan dirinya dan warga di kampungnya sama sekali tanpa pamrih.

***