Pertaruhan Pendidikan

Kita memerlukan rekayasa sosial untuk memulihkan ketakziman masyarakat pada guru, menyerupai kewibawaan “bangsawan fikiran” atau “mantri guru” di masa lalu.

Minggu, 29 Desember 2019 | 10:18 WIB
0
347
Pertaruhan Pendidikan
Nadiem Makarim (Foto: moselimchoice.com)

Mendikbud Nadiem Makarim, secara jujur mengakui dirinya bukanlah ahli pendidikan, namun mendaku pemelajar yang cepat. Dengan begitu, komunitas pendidikan tidaklah berharap terlalu banyak.

Pada umumnya bersikap wait and see; sudah bersyukur kalau menteri baru tak melakukan kesalahan fatal. Harapan publik yang datar seperti itu sesungguhnya memberi titik keberangkatan yang menguntungkan. Nadiem tak digayuti beban “kejar tayang” yang harus segera dipenuhi sehingga tak perlu melakukan over-kompensasi dengan unjuk eksentrisitas yang kontraproduktif.

Berbusana kasual pada acara resmi pelantikan rektor berisiko mengirimkan sinyal meleset sebagai mendikbud. Tersirat pesan luhur yang ingin beliau sampaikan: “Tunjukan isi (mutu), bukan kemasan formalisme”. Masalahnya, pesan itu disampaikan dengan isi dan konteks keliru, menabrak prinsip-prinsip pokok pendidikan itu sendiri.

Dalam empat pilar pendidikan UNESCO antara lain digariskan, pendidikan menyediakan wahana untuk “belajar menjadi diri sendiri” (learning to be), juga untuk “belajar hidup bersama” (learning to live together).

Suhu pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Kedalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan istimewa” (“diferensiasi”) dari alam. Keluar, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk dapat menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagad besar sehingga keistimewaan pribadi itu tidak melahirkan kekacauan bagi kebersamaan.

Pendidikan kecakapan hidup, seperti dijelaskan Emile Durkheim, juga mengingatkan bahwa manusia harus bisa menempatkan diri di dua ranah: ranah profan dan ranah “sakral”. Ini juga ada kaitannya dentgan pendidikan kewargaaan. Kegotong-royongan Pancasila menghendaki sosiabilitas kebangsaan yang dapat mengatasi ekstremitas individualisme dan ultra-sosialisme” (totalitarianisme).

Di masyarakat supermajemuk, terlalu menekankan individualisme dan perbedaan menyulitkan integrasi nasional; mematikan aspirasi kedirian dan perbedaan oleh aspirasi totalitarianisme (kanan dan kiri) bisa membunuh kekayaan potensi dan kreativitas. Jalan tengah Pancasila memilih kearifan “Bhinneka Tunggal Ika”: mengakui keragaman/perbedaan seraya berusaha mencari persamaan/persatuan.

Dalam pergaulan “antar-individu” di wilayah privat (keluarga) dan paguyuban, masing-masing perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas identitas, norma dan ideologinya sendiri. Namun, dalam pergaulan “antar-sosial” dalam wilayah publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut identitas, norma, ideologi kebersamaan-kebangsaan sebagai titik temu.

Mata rantai terlemah

Alhasil, urusan eksentrisitas ekspresi diri jangan sampai mendistorsikan substansi. Jika substansi yang menjadi perhatian, bukan sensasi yang mengalihkan publik dari isu utama, maka strategi transformasi pendidikan harus bisa memperhatikan kesepadanan antara aspirasi dan kapabilitas. Lima tahun bukan waktu lama untuk mengelola perubahan.

Harus dihindari melakukan dekonstruksi yang tak terukur, yang sulit direkonstruksi ulang. Di era reformasi ini, dengan tak ada jaminan keberlanjutan agenda antar-rezim, menteri pengganti belum tentu sudi melanjutkan penataan bongkaran yang ditinggalkan menteri terdahulu.

Maka dari itu, perlu kejelian menentukan perubahan “terbatas” dengan dampak signifikan. Fokus bidikan harus diarahkan pada “mata rantai terlemah”, yang bisa dikenali melalui self-assessment atas kebijakan pendidikan selama ini dan bercermin dari pengalaman bangsa lain.

Dalam buku The Politics of Structural Education Reform, Keith A. Nitta menunjukan tren pergeseran kebijakan pendidikan di berbagai negara. Pendidikan secara tradisi dipandang sebagai isu domestik. Keputusan kebijakan mengenai apa, siapa, bagaimana, dan dimana pendidikan dijalankan ditetapkan dengan mempertimbangkan sejarah nasional, budaya, norma, dan kondisi politik masing-masing negara.

Namun, sejak 1990-an terjadi pergeseran manajemen pendidikan sebagai dampak globalisasi. Perubahan global dalam rejim pendidikan didorong oleh keyakinan umum bahwa kegagalan sekolah bisa mengancam daya saing global, penerimaan luas terhadap new public management (NPM), serta tendensi pelemahan dan fragmentasi dalam kelompok kepentingan kependidikan. Beberapa negara mengadopsi beberapa elemen terbaik negara lain, yang membawa irisan kebijakan pendidikan.

Sebagai contoh, pergeseran kebijakan pendidikan di Amerika Serikat (AS) dan Jepang, dua negara industri dengan sistem pendidikan berbeda secara diametral. Di AS, secara tradisi, komunitas lokal mengontrol sekolahnya masing-masing, dengan setiap distrik mengembangkan kurikulum, menyewa dan menempatkan personil, menetapkan kebijakan pendaftaran masuk sekolah, dan menyusun anggaran tahunannya sendiri.

Jepang menganut sistem kesatuan pendidikan nasional dalam rangka mengejar kemajuan Barat. Dalam stuktur hierarkis Jepang, peran tradisional dari komunitas lokal dan personil sekolah adalah melaksanakan kebijakan birokrat kementerian.

Persamaannya, rejim pendidikan di kedua negara didominasi tenaga spesialis kependidikan: elit birokrat kependidikan, legislator nasional dengan spesialisasi pendidikan, serta kelompok-kelempok kepentingan kependidikan, terutama serikat-serikat guru.

Sejak 1990-an, kedua negara mulai melakukan restrukturisasi sistem pendidikan. Pada 1994, untuk pertama kali, pemerintahan federal AS mewajibkan suatu kebijakan pendidikan nasional bagi negara bagian dan distrik. The Goal 2000 dan Improving America’s Act menutut negara bagian menetapkan standar kurikulum bagi semua sekolah publik dan menilai performa siswa berdasar standar tersebut. Pada 2002, pemerintah federal menetapkan the No Child Left Behind Act, yang menuntut negara-negara bagian untuk memberlakukan rejim pengujian (testing) dan akuntabilitas secara spesifik.

Sebaliknya, pemerintah pusat Jepang secara formal mulai menerapkan kebijakan deregulasi dan desentralisasi sistem pendidikan. The 1997 Program for Educational Reform untuk pertama kali membolehkan program pilihan di sekolah publik dan pada jenjang sekolah menengah. Pada 2004, the Trinity Reform mendesentralisasikan kontrol atas milyaran dolar dari dana pendidikan nasional kepada pemprov. Kebijakan itu juga memberi peluang bagi birokrat kementerian pendidikan untuk menetapkan ujian pencapaian siswa secara nasional serta sistem evaluasi sekolah secara independen.

Dengan demikian, kecenderungan global dalam manajemen pendidikan mengarah pada partisipasi lebih luas dengan membagi peran secara tepat antara pemerintahan pusat dan daerah, antarpemerintah dan swasta serta antarpemangku kepentingan, menetapkan garis-garis besar kurikulum dengan menetapkan pelajaran wajib dan pilihan, serta mengombinasikan pengujian standar pencapaian nasional dengan evaluasi sekolah secara mandiri.

Di bawah pengaruh NPM, reformasi struktural pendidikan cenderung mengurangi perhatian pada urusan “inputs” (uang, fasilitas, jumlah guru dan siswa, kurikulum, dan sumberdaya). Perhatian tertuju ke usaha memperbaiki pendidikan dengan memberi fokus pada “outcomes” (performa), dengan meredistribusikan otoritas. Asumsinya, bila pemerintah menggenggam sekolah secara ketat dalam hal akuntabilitas atas performa siswa, namun mengaturnya secara longgar untuk mendorong inovasi lokal (sekolah), maka pendidikan akan berkembang.

Caranya, sekolah harus bertanggung jawab atas hasil bukan inputs. Untuk itu, pemerintah secara ketat mengatur performa sekolah, tetapi bukan sumberdaya dan proses. Sekolah harus dibuat akuntabel melalui sistem evaluasi berdasarkan ujian terstandard dan sistem insentif yang terpusat, bukan melalui kompetisi pasar.

Ditilik dari sudut itu, langkah-langkah transformatif dalam formulasi kebijakan pendidikan kita sejauh ini tak buruk-buruk amat. Penanda penting tranformasi itu kehadiran Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan UU No. 32/2004. Dalam kaitan kebijakan pendidikan, UU ini telah mengantisipasi perlunya kerangka partisipasi lebih luas dengan membagi kewenangan pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Rejim pendidikan juga telah merevisi kebijakan ujian nasional (UN) dari syarat kelulusan menjadi indikator pencapaian pendidikan nasional yang dipadukan dengan sistem evaluasi sekolah secara independen.

Titik lemah ada pada eksekusi dan tindak lanjut. Contohnya, setelah hasil UN diketahui, hampir tak ada tindak lanjut, kebijakan afirmasi seperti apa yang harus diberikan kepada daerah/sekolah yang pencapaian nilainya di bawah standar nasional. Untuk mempercepat peningkatan mutu sekolah di daerah terbelakang, kita bisa meniru model Finlandia dan Jepang. Di kawasan miskin-terbelakang, guru harus menangani jumlah murid yang lebih sedikit dibanding di kawasan kaya-maju. Itulah rahasia, mengapa di dua negara itu pemerataan mutu pendidikan lebih baik. Perlakuan sebaliknya justru terjadi di AS, yang mengakibatkan kesenjangan kaya-miskin di AS kian tajam (Diamond, 2019).

UU No. 23/2014 telah memungkinkan untuk itu. Tinggal bagaimana eksekusi dan tindak lanjutnya. Masalah lebih serius, kebijakan pendidikan di Indonesia masih berkutat pada urusan inputs, belum mengarahkan perhatian pada segi “outcomes” (performa). Nyaris setiap menteri berganti, ganti kurikulum; susul-menyusul memberi beban pada guru (sekolah) untuk mengurusi soal sumberdaya dan prosedur administratif. Itulah mata rantai terlemah yang harus dibidik.

Fokus kebijakan

Jika kita ingin memperbaiki performa, dengan melakukan perubahan terbatas tapi berdampak besar, pusat perbaikan harus dimulai dari penataan pendidikan dasar. Ibarat pohon, akar merupakan titik tumpu ketahanan bertumbuh. Demikian juga proses tumbuh hidupnya manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar.

Sesuai namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan kecakapan dasar bagi daya tumbuh manusia pemelajar yang haus pengetahuan, berfikir kritis-analitis, berkarakter dan kreatif. Kecakapan dasar tersebut meliputi dasar-dasar olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga.

Dasar olah pikir dikembangkan lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti. Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek-huruf, atau sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjadi kecapakan fungsional yang dibiasakan sejak sekolah dasar. Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak untuk menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui pelajaran sekolah.

Selain membaca, siswa harus diberikan kecapakan menghitung. Pada enam tahun pertama pendidikan dasar, tak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit. Finlandia dengan prestasi pendidikan hebat pun mulai menghilangkan pelajaran matematika di SD. Pada tingkat ini, cukuplah diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagi dasar kecapakan hidup, yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan.

Pelajaran matematika bolehlah mulai diperkenalkan di kelas VII. Pelajaran membaca berkelindan dengan menulis. Pelajaran menulis tidak sekadar diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, tetapi subyek tersendiri yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.

Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong semangat meneliti, melalui penelaahan terhadap ayat-ayat tertulis (kitabiyah), ayat-ayat semesta, ayat-ayat sejarah, dan ayat-ayat di dalam diri. Pendasaran olah pikir itu harus berjalan simultan dengan proses pemupukan karakter dan kreativitas, melalui pembelajaran olah rasa (spiritualitas, estetika, etika, nasionalisme), olah karsa (imajinasi dan kreativitas), dan olah raga (permainan, ketangkasan, sportivitas).

Dalam menguatkan fondasi bagi manusia pemelajar itu, harus dihindari beban mata pelajaran yang berlebihan. Rancang bangun kurikulum pendidikan dasar tidak perlu terlalu mendetil. Bahkan UN belum diperlukan pada tingkat ini mengingat orientasinya yang bersifat fondasional dengan karakteristik siswa yang beragam.

Untuk memastikan kualitas “performa” (outcomes) pendidikan seperti yang diinginkan, bidikan berikutnya harus diarahkan pada peran dan mutu guru. Guru harus diberi derajat kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam proses belajar-mengajar. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tak bisa dicapai bilamana gurunya sendiri terbelenggu.

Peran besar yang diemban guru menghendaki peningkatan kapasitas guru. Seorang juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang hakekat kayu dan teknik ukir, apa lagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.

Sungguh ironis, perekrutan tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek-aspek formal ijazah. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecapakan profesi kependidikan secara saksama. Selebihnya, kita tak bisa berharap dapat merekrut calon-calon guru bermutu, selama profesi guru tak dimuliakan.

Lebih dari sekadar gaji, kita memerlukan rekayasa sosial untuk memulihkan ketakziman masyarakat pada guru, menyerupai kewibawaan “bangsawan fikiran” atau “mantri guru” di masa lalu. Tak ada bangsa hebat tanpa guru hebat.

Dengan memupuk kecakapan dasar serta guru yang bermutu, apa pun disrupsi teknologi yang terjadi, dunia pendidikan akan memberikan fondasi yang kuat untuk mengantarkan anak-anak negeri menemukan “rumah” (home), bukan menyesatkannya ke tempat “pengasingan” (exile). Itulah pertaruhan kita.

Yudi Latif, Aggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

***

Keterangan: Tulisan telah dimuat sebelumnya di Harian Kompas, Selasa, 17 Desember 2019