Jejak Bung Karno Menggali Mutiara Pancasila di Ende

Di taman ini pula dibangun patung Soekarno tengah duduk merenung di bawah pohon sukun bercabang lima sambil menatap ke arah laut.

Sabtu, 14 September 2019 | 07:49 WIB
0
483
Jejak Bung Karno Menggali Mutiara Pancasila di Ende
Di rumah pengasingan Bung Karno di Ende (Foto: Dok. pribadi)

Minggu 25 Agustus 2019 saya berkesempatan berkunjung ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuan kunjungan adalah untuk menyusuri jejak sejarah Soekarno atau Bung Karno,  Proklamator Kemerdekaan dan Presiden pertama RI, saat diasingkan ke Ende selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938).

Di Ende saya ingin belajar memahami pengalaman Bung Karno selama menjalani pengasingan hingga melahirkan gagasan mengenai nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Untuk itu ada dua tempat yang saya kunjungi yaitu "Rumah Pengasingan"  dan "Taman Renungan" Bung Karno.

Dalam buku "Bung Karno dan Pancasila: Ilham dari Flores untuk Nusantara" karya Tim Nusa Indah (Tim penerbit buku di Ende) disebutkan bahwa Rumah Pengasingan Bung Karno adalah sebuah rumah milik Abdullah Amburawu yang dipergunakan sebagai tempat tinggal Bung Karno bersama istrinya Inggit Garnasih, Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya, Ibu Amsi.

Rumah tersebut terletak di Jalan Perwira, Kampung Ambugaga dan posisinya berada di tengah-tengah pondok penduduk yang beratap ilalang.

Diceritakan pula bahwa jalan menuju rumah tersebut sangat sederhana dan belum beraspal, tidak ada listrik apalagi telepon dan telegram. Satu-satunya komunikasi ke dunia luar adalah lewat pos yang dikirim sebulan sekali, saat ada kapal dari Jawa yang bersandar di pelabuhan.

 Saat mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno, saya merasa senang melihat kondisi rumah yang sangat terawat. Kesederhanaan dan keaslian bangunan rumah tetap dipertahankan sebagaimana adanya, sehingga membantu imajinasi pengunjung yang ingin kembali ke masa-masa Bung Karno tinggal di rumah ini. 

Seorang penjaga rumah menyambut kedatangan rombongan kami dan menemani berkeliling melakukan peninjauan ke setiap sudut rumah, mulai dari ruang tamu hingga bagian belakang.

Di ruang tamu tampak dipamerkan beberapa benda peninggalan Bung Karno dan keluarga seperti foto-foto lama, piring-piring, setrika besi, tongkat yang biasa dibawa Bung Karno, naskah tonil yang dibuat Bung Karno hingga kursi dan meja tamu.

Sedangkan di ruang tidur bagian kanan terdapat sebuah ranjang tempat tidur Bung Karno. Sementara di ruang tidur sebelah kiri terdapat dua buah ranjang tempat tidur ibu mertua Bung Karno dan anak angkatnya.

Di bagian belakang terdapat ruang tempat Bung Karno sholat dan bersemedi serta teras belakang dimana terdapat meja kursi yang kerap digunakan untuk beraktifitas sehari- hari. Tidak jauh dari teras belakang, terdapat kamar mandi dan sebuah sumur yang airnya sangat bening dan menyegarkan.

Sambil melihat-lihat benda-benda peninggalan Bung Karno dan ruangan-ruangan yang pernah digunakannya, saya membayangkan bagaimana Bung Karno bisa bertahan hidup di tempat yang sangat sunyi, jauh dari para kerabat dan pendukungnya.

Sebagai tahanan politik dan orang yang diasingkan, serta kehidupannya yang sangat dibatasi, termasuk dibatasi akses untuk berkorespondensi, tentunya bukan hal yang mudah bagi Bung Karno untuk keluar dari penderitaan.

"Hari-hari pertama di Ende merupakan saat-saat yang sama sekali tidak menggembirakan Bung Karno dan keluarga. Semuanya serba asing. Selama hari-hari itu, rupa-rupa perasaan berbaur di dalam hati masing-masing.

Satu-satunya yang dapat terungkap keluar adalah pertanyaan, "Kenapa Flores, kenapa di sini?" begitu tulis Tim Nusa Indah.

Tim Nusa Indah bahkan menambahkan "Saking kecewanya (diasingkan ke Ende), Bung Karno bahkan mengibaratkan dirinya sebagai seekor elang yang sudah terpotong sayap-sayapnya. Seekor burung besar dan perkasa yang kini tidak berdaya."

Namun keterbatasan tersebut tidak membuat Soekarno sedih berkepanjangan dan patah arang. Sang elang justru menjadikan keterbatasan yang dihadapinya sebagai sebuah keberkahan dan tantangan.

Perlahan namun pasti Bung Karno mulai dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan masyarakat setempat. Ia pun menyalurkan minatnya melukis hingga menulis naskah drama pementasan.

Dijauhkan dari para kerabat dan pendukungnya dari isu-isu politik justru membuat Bubg Karno memiliki waktu lebih banyak untuk bisa berpikir lebih dalam tentang banyak hal.

Bung Karno mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam dan berdialog dengan tokoh agama, termasuk berkorespondensi dengan tokoh "Persatuan Islam" Bandung T.A Hasan. Selanjutnya, guna memperluas wawasan, Bung Karno tidak membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang Islam, ia pun bergaul dengan para pastor di Ende dan belajar pluralisme.

Di Ende, Bung Karno menemukan penjelmaan konkret dari idenya tentang "dasar dan tujuan" yang dapat berfungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang kian majemuk. Ia menemukan apa yang dicarinya mengenai dasar dan tujuan bernegara setelah merenung berjam-jam di taman, termasuk di bawah sebuah pohon sukun bercabang lima, di tengah kesunyian kota Ende.

Seandainya Ende waktu itu adalah sebuah kota besar, maka sulit membayangkan Soekarno memiliki waktu berjam-jam duduk di taman dan menghasilkan perenungan mengenai Pancasila. Sebagai seorang tokoh politik dan "singa podium", Bung Karno pasti akan menghabiskan waktunya terjun langsung ke tengah masyarakat.

Di Ende, di tengah kesunyian, Bung Karno berhasil menggali sebuah dasar pemikiran mengenai Pancasila yang nantinya disampaikan pada pidato Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945.

"Di kota ini kutemukan lima butir mutiara Pancasila, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila -- Ir. Soekarno." Begitu rangkaian kata-kata Bung Karno yang dituliskan di salah satu tembok di Taman Renungan Bung Karno.

Taman yang terletak sekitar 300 meter dari rumah pengasingan Bung Karno ini diresmikan pada pada tahun 2015 guna mengabadikan kenangan akan saat-saat Bung Karno melakukan perenungan selama masa pengasingan. 

Di taman ini pula dibangun patung Soekarno tengah duduk merenung di bawah pohon sukun bercabang lima sambil menatap ke arah laut. 

Namun mengingat pohon yang asli sudah tumbang sejak tahun 1960, maka pohon sukun yang berdiri sekarang adalah pohon sukun yang ditanam pada 1981.

 ***

Keterangan: Tulisan sebelumnya telah tayang di Kompasiana dengan judul yang sama.