Wartawan Film dan Perkara Livi Zheng

Wartawan film kita terlalu malas untuk belerja sedikit lebih akurat, lebih keras dan lebih teliti untuk membeberkan kebenaran. Hanya sedikit yang memenuhi standari profesional wartawan.

Senin, 2 September 2019 | 22:59 WIB
0
1048
Wartawan Film dan Perkara Livi Zheng
Livi Zheng (Foto: Tribunnews.com)

Siapakah Livi Zheng? Dia perlu dipuja atau dihujat? Dia benar menghasilkan beberapa film yang hebat, ataukah cuma propagandais pembual? Betulkah dia insan film Indonesia yang mampu menerobos Hollywood, ataukah cuma penghayal di depan umum?

Inilah yang tengah ramai jadi perdebatan belakangan ini, termasuk melibatkan para pendukung dan mengeritik Livi Zheng yang berseberangan diagonal. 

Lalu siapa yang salah? Wartawan film! Lho kok wartawan film? Apa hubungannya dengan wartawan film?

Seharusnya wartawan film menjadi mercusuar kebenaran, termasuk dalam soal ini. Terlepas dari empati atau antipati kepada Livi Zheng, wartawan film harusnya bekerja menelusuri semua jejak dan fakta Livi Zheng secara detail lengkap dengan dokumentasinya.

Misal, soal debat apakah film Livi benar-benar pernah masuk nominasi oscar, wartawan film harus menelusuri secara tepat jejak kebenaran atau kebohongan itu. Konfirmasi kepada Livi tahun berapa dia mengaku masuk nominasi. Lantas wartawan film harus mencari tahu pada tahun itu apa yang terjadi di ajang Oscar, termasuk berikut dokumen-dokumen yang terbuka buat publik.

Dengan demikian, akan jelas apa yang terjadi: Livi benar atau Livi berbohong.

Kalau disebut di pers Amerika ada berita soal nominasi Livi, wartawan film harus mencari apa nama persnya, kapan dimuat dan apa isinya. Dari sini sudah dapat diketahui Livi benar adanya atau Livi sebetulnya bohong adanya. Lantas kalau benar-benar ada berita itu, apa judul dan isinya? Dengan demikian, dapat diketahui apakah isi berita benar seperti disebut Livi ataukah cuma klaim sepihak Livi saja.

Sewaktu tokoh pers Rosihan Anwar masih hidup, ada seorang sineas kita mewartawakan dia menang dalam sebuah festival di Jerman dan sebagai bukti dibawa berita koran dari Jerman. Setelah dibaca oleh Rosihan Anwar, yang ternyata dapat berbahasa Jerman, rupanya sienas tersebut bukan menang di festival film di Jerman, tapi mendapat penghargaan dari koran yang memuat beritanya. Jelas beda maknanya.

Nah, dalam perkara Livi, kita tidak dapat berdebat di atas sesuatu yang semu: harus jelas ada tidak berita yang dia bilang. Kalau ada, apa isi tepat beritanya apa? Harus terukur berdasarkan fakta.

Begitu juga kita perlu data konkrit: apakah Livi benar pernah menjadi siswa atau lulusan terbaik di universitas tempatnya belajar? Konfirmasi ke Livi, di mana dia belajar, fakultas atau jurusan apa dan angkatan berapa?

Kalau Livi tak mau memberi tahu, tinggal lihat jejak pengakuan Livi bakal diketahui di universitas mana dia belajar berdasarkan pengakuannya sendiri. Lantas wartawan film selayaknya melakukan cek and recek ke universitas tersebut. Maka segalanya akan jelas: kalau Livi benar, kita katakan benar. Kalau Livi berbohong, kita katakan dia bohong. Jadi faktual. Berdasarkan data. Bukan gosip. Bukan rasa empati atau rasi antipati. 

Begitu juga kalau ada film Livi yang diwartawakan pernah tayang di Amerika, wartawan film harus mencari tahu, kapan ditayangkan dan di bioskop mana itu dan negara bagian mana?

Di Amerika data semacam ini terbuka buat publik, walaupun harus ada upaya keras untuk mendapatkannya. Dari data itu dapat terkuak apa yang sebenarnya terjadi. Bukan debat semu.

Apalagi kalau kejadiaannya di Indonesia, akan lebih mudah. Misal keterlibatan Livi dalam film Laksama Cheng Ho? Harus ditelusuri secara cermat: betulkan Livi ada peran dalam film tersebut? Kalau tidak ada, ungkapkan tidak ada. Kalau ada, katakan ada, dan dilanjutkan penelusurannya: terlibat sebagai apa? Di film Laksamana Cheng Ho layar lebar atau Laksamana Cheng Ho yang khsusus televisi?

Dapat dikonfirmasi dari dokumen yang ada, dan para pihak yang terkait, mulai dari produser sampai pemain seperti Yusril Isa Mahendra dan sebagainya. Tentu, wartawan filmnya harus menonton filmnya lebih dahulu. Dengan demikian, kita dapat pasel yang utuh hubungan Livi dengan film Laksmaan Cheng Ho.

Wartawan film juga harus memastikan, apakah ada atau tidak ada, film Livi yang ditayangkan di Indonesia? Apa judulnya? Pernah ditayangkan dimana dan sebagaimana. Lantas kalau ada hubunganya, tentu wartawan film harus mau menonton filmnya, sehingga tahu film kayak apa karya Livi yang dimaksud?

Misalnya, apa benar sebuah karya film yang utuh sepenuhnya, ataukah karya film yang berisi testomoni saja. Jangan ada dusta di antara kita, baik yang pro kepada Livi maupunyang kontra dengan Livi. Wartawan film menyuguhkan data akurat, bukan rekayasa. Jadi faktual.

Kebetulan saya ikut membidani kelahiran Kode Etik Jurnalistik (KEJ).Pasal 1 KEJ, jelas menyebut “wartawan Indonesia menyiarkan berita yang akurat, berimbang dan independen.”

Tetapi apa yang terjadi dengan wartawan film kita kiwari?

Ternyata wartawan film kita menari di atas gendang orang lain. Wartawan film kita berdiskusi dan berdebat atas dasar klaim para pihak yang belum terbukti benar atau belum terbukti bohong. Wartawan film kita masih terlalu malas untuk melakukan investigasi reporting.

Baiklah, tidak usah melakukan investigasi reporter yang memerlukan keuletan dan pengetahuan dasar, tapi rupanya wartawan film kita juga tidak sekedar melakukan pekerjaan mendasar: mencari data, membandingkan data yang ada dan konfirmasi kepada para pihak. Keberadaan teknologi informasi dan artifisial intelejen yang memudahkan pekerjaaan wartawan film, rupanya belum membuat wartawan film kita terdorong melaksanakan standar profesi secara lebih dalam, lebih faktual.

Tugas wartawan (film) menyajikan kebenaran untuk kepentingan publik. Kalau wartawan film melakukan tugas ini, perdebatan perkara Livi Zheng bakal selesai dan tidak menggambang seperti sekarang. Tapi rupanya wartawan film kita masih lebih asyik berebut nonton preview gratis, menyebarkan berita settingan tanpa konfirmasi, membela atau menyerang pihak yang didukung atau dibenci tidak denga data otentik, atau menyinggung hal-hal privasi .

Sebaliknya, wartawan film kita terlalu malas untuk belerja sedikit lebih akurat, lebih keras dan lebih teliti untuk membeberkan kebenaran. Coba periksa, berapa karya wartawan film kita yang memenuhi standari profesional wartawan termasuk penaatan terhadap KEJ?

Siapakah wartawan film kita itu? Ya tentu, tentu, termasuk diri saya yang mulai relatif menua. Termasuk diri saya yang “tidak menularkan “ ilmu dan pengetahuan jurnalistik serta sikap dasar kesatria wartawan. Juga kekurang berhasilan saya mensosialisasikan ketaaatan terhadap KEJ para wartawan (film).

Para wartawan film, maafkan, saya tidak bermaksud mencemarkan profesi kita, tapi sekedar mengingatkan dimana seharusnya kita berada. Semacam intropeksi buat kita, seraya kita harapkan dunia perfilman Indonesia lebih maju.

Tabik!

***