Indonesiaku [13] Siskamling? Bayar Calo Sajalah!

Semuaselesai dengan solusi instan, tidak harus susah-susah, capek-capek, dan dingin-dingin kalau “ngaronda” bisa dialihdayakan. Bayar sajalah, toh ada calo yang siap menggantikan tugas kita.

Rabu, 4 September 2019 | 07:02 WIB
0
594
Indonesiaku [13] Siskamling? Bayar Calo Sajalah!
Pos Ronda (Foto: Polri.go.id)

Istilah yang tepat untuk melaksanakan sistem keamanan keliling (siskamling) atau melakukan ronda malam di lingkungan kita dalam bahasa Sunda adalah “ngaronda”. Di desa di mana saya dibesarkan, setiap kepala keluarga di lingkungan kami pasti terkena ronda malam untuk menjaga keamanan lingkungan sekitar.

Ada atau tidak ada maling, pokoknya keliling kampung untuk siskamling. Bahkan tidak sedikit cerita dari para orangtua dan tetangga dulu, alih-alih meronda yang dipergoki bukan maling tetapi sejenis makhluk halus. Begitulah.

Tulisan ini tentu saja bukan membahas makhluk halus dan semacamnya. Saya sekadar mengenang masa lalu saja di mana orang-orang sedemikian peduli terhadap lingkungannya. Menunjukkan kepedulian yang tinggi untuk hidup saling menjaga. Seakan-akan tertimpa aib dan dosa besar kalau tidak ikut “ngaronda”. Seakan-akan asosial jika tidak ikut serta menjaga lingkungannya.

Menjaga lingkungan secara bersama-sama dari kemungkinan ancaman dan gangguan maling. Saya masih ingat suara “kohkol”, yaitu buluh bambu yang dilubangi memanjang bagian tengahnya untuk menampung suara ketika badan bambu itu dipukul. Suaranya bersahut-sahutan. Khas dan asyik sekali, bagai musik pengiring tidur saja layaknya.

Ada kode yang harus dihapal dan dipahami. Jika suara yang dipukul dua atau tiga kali dengan tempo lambat, itu berarti keadaan aman dan orang boleh tidur nyenyak di balik selimut. Tetapi bila “kohkol” dipukul secara sporadis dengan tempo cepat, berarti maling sedang beraksi dan warga masyarakat diharapkan terbangun demi mendengar kegaduhan itu.

Pukulan yang bertalu-talu juga untuk menyatukan kembali para peronda dalam satu titik, biasanya di pos ronda, agar bisa bersama-sama bertindak. Semacam komandolah. Anehnya, informasi mengenai tanda-tanda bunyi “kohkol” itu juga ditempel di pos ronda. Artinya, si maling bisa saja menghapal tanda bunyi itu untuk antisipasi lari atau sembunyi.

Begitu seterusnya. Setiap malam ada ronda malam. Belakangan “kohkol” jarang digunakan lagi. Peronda cukup memukul-mukul tiang listrik saja. Ibarat musik, nadanya sudah sumbang dan tidak enak didengar lagi. Mengapa juga tiang listrik dijadikan korban pemukulan. Suaranya yang cempreng sungguh merusak telinga warga.

Bahkan di beberapa kampung, untuk bisa saling berkomunikasi di antara peronda, mereka biasa menggunakan radio komunikas. “Break, break… ada yang mencurigakan di belakang rumah Pak Haji!” Lalu dijawab, “Dikopi, siap meluncur. Ganti!”

Itu percakapan di antara para peronda selepas “kohkol” dan tiang listrik sekarat, yakni lewat alat canggih bernama radio komunikasi. Sekarang, komunikasi antarperonda tentu dilakukan melalui telepon seluler atau bahkan ponsel pintar.

Di lingkungan sekarang di mana saya tinggal, di sebuah perumahan di pinggiran Bintaro, “ngaronda” sudah tidak dilakukan lagi oleh para warga. Para peronda digantikan oleh Satpam yang digaji warga lewat iuran bulanan. Tidak ada suara “kohkol” lagi karena di pendopo atau gardu memang tidak ada alat bunyi perkusi tradisional itu.

Barangkali kalau pun ada, malah bisa dijadikan barang mainan anak-anak yang memukul “kohkol” itu di sembarang waktu sesuka mereka. Akan tetapi, ronda malam sesekali diberlakukan lagi bagi warga kompleks jika “keadaan genting” terjadi lagi.

Yang dimaksud “keadaan genting” itu jika pencurian di kompleks datang secara berturutan atau itu tadi, adanya ancaman perusuh yang akan menjarah properti milik warga perumahan. Dan yang dicuri bukan hanya sepeda motor, tetapi mobil.

Suasana ronda malam terasa sekali waktu terjadi kerusuhan Mei 1998 lalu, di mana “ngaronda” wajib dilakukan setiap malam oleh warga pria. Wah, mengapa juga ya ronda malam itu hanya diberlakukan pada saat terjadi kerusuhan atau keadaan genting saja. Bukankah lebih baik “ngaronda” jalan terus meski suasana sedang aman sekalipun?

Kalau sikap ini menjalar pada para penjaga negeri ini baik yang bertugas di laut, di udara dan di darat, bisa jebol Ibu Pertiwi ini.

Bukan tidak mungkin banyak pulau-pulau terluar mengalami nasib seperti Sipadan-Ligitan. Bisa-bisa Pulau Miangas yang berbatasan dengan Filipina diklaim sebagai pulau milik Filipina. Jadi, jangan sampailah semangat “ngaronda” hanya dalam keadaan genting itu menerpa para penjaga kedaulatan wilayah NKRI. Genting tidak genting ya harus patrol, harus “ngaronda” dalam skala nasional.

Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri

Di beberapa tempat, di sejumlah kompleks, dan bahkan pada masyarakat pinggiran kota, sudah umum terjadi kalau “ngaronda” menjaga keliling kerap di-out sourcing-kan kepada orang lain. Ada warga yang bersedia menjadi “calo”, biasanya warga dari luar kompleks yang sudah dikenal warga kompleks, asalkan tentu saja dengan imbalan.

Demikian juga kalau ada kerja bakti membersihkan lingkungan, juga bisa menyuruh orang lain yang mewakili orang yang seharusnya “ngaronda” atau kerja bakti. Bisa sopir pribadi, bisa pembantu pria di rumah kita. Tentu saja orang itu kita bayar.

Di satu sisi, cara ini memang membuka peluang kerja bagi mereka yang menghendaki pekerjaan itu. Lumayan ‘kan konversi sekali “ngaronda” atau kerja bakti itu bisa Rp50.000 sampai Rp150.000.

Saya tidak tahu, apakah pendidikan moral Pancasila atau pendidikan wawasan kebangsaan modern yang sudah tidak saya ikuti lagi itu membuka peluang untuk meng-out sourcing-kan sebuah upaya mengguyubkan lingkungan terkecil di masyarakat dalam bentuk “ngaronda” atau kerja bakti ini.

Adakah buku kebangsaan atau wawasan kebangsaan yang menjelaskan bahwa pertemuan dalam sebuah forum “ngaronda” mengajarkan warga untuk saling mengenal satu sama lainnya, untuk bisa bergotong royong jika ada sesuatu yang perlu diselesaikan bersama?

Bukankah “ngaronda” juga momen yang baik untuk saling merasakan bahwa mereka adalah satu bangsa, Indonesia, yang hidup damai dan berdampingan? Dalam konteks agama yang saya anut, bukankah “ngaronda” itu bentuk lain dari silaturahmi?

Atau semuanya selesai dengan solusi instan, tidak harus susah-susah, capek-capek, dan dingin-dingin kalau “ngaronda” bisa dialihdayakan. Bayar sajalah, toh ada calo yang siap menggantikan tugas kita asalkan sudah sepengetahuan Ketua RT.

Sebagai warga kompleks perumahan di mana saya mukim, jelek-jelek begini saya tidak pernah membayar “calo ronda” loh. Bukan sok gaya, saya tetap Siskamling kalau sudah kena gilirannya.

***

Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [12] Tanda “EK” pada KTP Koruptor