Filosofi Mudik Lebaran

Manusia dikembalikan secara fitrahnya menjadi manusia, yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan nafsu kebinatangan yang selama ini telah menyalahi kodratnya.

Rabu, 5 Juni 2019 | 09:15 WIB
0
385
Filosofi Mudik Lebaran
Ilustrasi mudik lebaran (Foto: Kompas)

Fenomena mudik dari tahun ke tahun selalu menyisakan kegembiraan dan kepuasan, ditengah himpitan ekonomi dan politik, bahkan di tengah gempuran jumlah pemudik yang selalu meningkat, atau bayang-bayang kemacetan parah yang hampir tak pernah ditemukan solusinya hingga kini. 

Mudik, selalu menjadi harapan paling baik bagi siapapun yang tinggal di Nusantara, lintas agama dan etnis, bahkan kultural, semua merayakan kesombongan Hari Raya Idul Fitri yang fenomenal.

Mungkin, terasa sulit ditemukan dimanapun, ada suatu momen terbesar, tersibuk, bahkan terpadat, kecuali jelang Idul Fitri dan hanya terjadi di Indonesia.

Istilah mudik yang memiliki konotasi "pulang ke kampung halaman" memang sarat nilai filosofis bagi manusia Nusantara. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia sudah sejak dulunya merupakan masyarakat agamis dan nilai-nilai agama telah menancap kuat dan hidup dalam suasana batin mereka secara turun temurun. 

Sudah ditemukan banyak nasihat bijak, dimana "setinggi-tinggi bangau terbang, jatuhnya ke kubangan jua" yang memiliki arti sejauh-jauh orang merantau, pada akhirnya akan kembali ke kampung halaman juga. Dan hampir dipastikan, keterikatan batin yang kuat yang tertanam dalam tradisi masyarakat Indonesia, dimana kampung halaman adalah lingkungan yang membesarkan dan merawat mereka, seolah tak luntur dimakan zaman.

Disadari maupun tidak, manusia tentu saja makhluk peziarah. Kita pada saat yang sama, mungkin saja berada dalam suatu titik yang berbeda: rumah, kantor, toko, jalan, bertemu dengan lainnya, atau tiba-tiba berada di suatu kota tertentu. 

Tak ada sedetikpun manusia itu diam, termasuk ketika dirinya sedang tidurpun, sebab sekalipun seluruh tubuh tampak diam, namun jantung tetap berdetak, sibuk memompa kehidupan setiap detiknya dan menyalurkannya ke seluruh tubuh. Manusia terus bergerak, berziarah, berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa henti.

Pergerakan manusia yang hampir tak pernah berhenti, tetap akan kembali kepada satu titik semula, titik dimana seseorang itu memulai pergerakannya.  

Dalam pandangan teologis, manusia akan selalu mencari jalan kembali kepada Tuhannya, sebab kecenderungan mereka kembali kepada siapa yang menciptakannya. 

Sejauh apapun manusia terhadap Tuhannya, atau mungkin setidak peduli apapun seseorang dengan Penciptanya, toh pada akhirnya mereka akan kembali kepada Pemiliknya. 

Mudik, seolah memberikan titik tekan secara kosmologis, bahwa manusia sejatinya akan dikembalikan ke kampung halamannya, titik dimana pertama kali mereka lahir, berproses, dan bergerak.

Manusia tentu saja bagian kecil dari kosmos yang diberi keistimewaan oleh Tuhan diantara makhluk ciptaan-Nya yang lain, salah satunya adalah "sebagian" ruh Tuhan ditiupkan kedalamnya. Hal ini, tentu saja secara tegas disebutkan dalam Alquran, bahwa "Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya" (Q.S.38:72). 

Baca Juga: Menengok Kesiapan Transportasi dan Ketersediaan Pangan Jelang Lebaran

Maka, setiap sebagian yang dimiliki Tuhan yang dititipkan dalam diri manusia, pasti mereka akan mencari jalan untuk kembali kepada Tuhannya. Mencari "jalan kembali" dalam konteks kekinian adalah "mudik", yang gambaran umumnya dapat dilihat ketika musim libur lebaran semakin dekat.

Nilai-nilai agama yang secara batin menancap dalam masyarakat Indonesia, tentu saja menjadikan bangsa ini memiliki banyak kekhasan dan keunikan yang mungkin tak akan ditemukan dalam masyarakat lainnya di belahan bumi manapun. 

Disadari maupun tidak, ekspektasi mereka untuk dapat mudik ke kampung halaman, merupakan cara mereka menghayati dan mengimplementasikan nilai-nilai agamis yang telah berurat akar dalam diri mereka sendiri. 

Mudik, bukan saja bernilai sosiologis: pulang kampung bertemu orangtua dan sanak saudara, namun ia dapat bermakna teologis: mereka mencari jalan pulang untuk kembali kepada sang Maha Pencipta, cepat ataupun lambat.

Tak heran rasanya, ketika momen mudik juga seringkali dimanfaatkan untuk berziarah ke makam leluhur, dimana setiap orang diingatkan dalam nuansa yang lebih eskatologis, bahwa suatu saat mudik yang sebenarnya bukanlah "pulang sebentar" tetapi "kembali" sepenuhnya memenuhi panggilan Tuhan. 

Kampung manusia sebenarnya adalah "disana", karena "disini" hanyalah sekadar melepas lelah, beristirahat dalam suatu perjalanan panjang dan pada saatnya kita harus kembali. Mudik, dengan demikian sarat nilai filosofis, sehingga merenungi dan menyelami makna-maknanya dapat menggugah kesadaran etik manusia agar lebih banyak berbuat baik dan menghindari sekuat mungkin perbuatan buruk yang merugikan pihak lain.

Masih beruntung, bahwa tradisi mudik lebaran tetap dipertahankan di Indonesia bahkan menjadi tradisi tahunan yang sangat menyita waktu bagi aparat pemerintah dan seluruh stake holder-nya. Bahkan, tidak hanya itu, nuansa mudik lebaran membuat pemerintah merogoh kocek lebih dalam untuk mengalokasikan anggaran belanja pegawai secara lebih besar. 

Mereka dikembalikan ke kampung halaman dengan dibiayai pemerintah, lalu diperintahkan "kembali" seusai urusan "ritual" mudik mereka selesai. Perjalanan mereka yang mudik yang mencapai ribuan kilometer, bahkan pada saatnya akan kembali lagi ke titik awal dimana mereka melakukan perjalanan.

Mudik, dalam bahasa agama disebut sebagai ungkapan keagungan Tuhan karena petunjuk yang diberikan oleh-Nya (wa litukabbirullaha 'ala maa hadaakum) serta ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah yang luar biasa yang diekspresikannya dengan melantangkan kalimat "takbir". 

Jadi, ungkapan takbir di jalanan, seharusnya memang hanya ada dikala mudik dan tak ada dalam momen apapun selainnya. Imam az-Zamakhsyari bahkan berpendapat dalam karya tafsirnya, bahwa pelantangan takbir---selain shalat---hanya ada dalam dua kondisi: saat Idul Fitri dan ketika melihah hilal (bulan). 

Ramadan yang sedemikian berat dilalui oleh sebagian besar umat Muslim, bahkan menjadi tantangan hidup yang sesungguhnya, patut disyukuri melalui takbir selepas kita melewatinya.

Mudik adalah "kembali" yang secara langsung teridentifikasi dari makna "'id" yang juga berarti "kembali". Manusia memang harus siap kembali bahkan harus mampu mencari jalan kembali, sebab kembali secara fitrah (idul fitri) menjadi manusia seutuhnya dengan kebajikan, kesucian, keistimewaan, dan kesempurnaan yang melekat dalam dirinya, jelas merupakan mudik dalam konteks paling hakiki. 

Manusia dikembalikan secara fitrahnya menjadi manusia, yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan nafsu kebinatangan yang selama ini telah menyalahi kodratnya. Itulah makna mudik lebaran, sekalipun banyak diantara kita yang tampak tak acuh atau tak mau menyadarinya.

***