Membongkar Jeroan "Gerombolan"

Jumat, 22 Februari 2019 | 06:30 WIB
0
739
Membongkar Jeroan "Gerombolan"
Ilustrasi (Foto: Rumah Filsafat)

Di Indonesia, kebenaran rupanya kerap tunduk pada tekanan gerombolan. Jika banyak orang berkumpul menuntut sesuatu, biasanya akan dituruti, walaupun itu bertentangan dengan akal sehat. Beragam kasus bisa dideret, mulai dari ketidakadilan yang menimpa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) pada 2017 lalu, sampai tekanan para supir ojol terhadap petugas keamanan salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta.

Mengapa gerombolan bisa mendikte kebijakan?

Di abad 21 ini, gerombolan bisa dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah gerombolan nyata. Ini adalah gerombolan orang yang berdemo di jalan menuntut sesuatu. Gerombolan ini dapat dengan mudah dilihat dengan mata.

Lalu, ada juga gerombolan virtual. Mereka adalah para netizen, yakni orang-orang yang aktif di media sosial di internet. Mereka juga kerap kali bergerombol secara virtual untuk menuntut sesuatu. Jika anda adalah orang yang aktif di dunia media sosial, anda pasti akan selalu berjumpa dengan gerombolan virtual ini.

Jeroan Gerombolan

Setidaknya, ada tiga pemikir yang berbicara tentang gerombolan secara mendalam. Yang pertama adalah Gustave Le Bon dalam bukunya yang berjudul Psychologie des Foules. Yang kedua adalah Sigmund Freud dalam bukunya Massenpsychologie und Ich Analyse: Die Zukunft einer Illussion. Lalu Ellias Canetti dalam bukunya yang berjudul Masse und Macht.

Secara umum, ada empat ciri gerombolan. Pertama, mereka cenderung tak berpikir, dan patuh buta pada dorongan-dorongan dasariah manusia, seperti kerakusan. Karena tak berpikir, gerak gerombolan juga cenderung irasional. Mereka merusak, tanpa peduli pada pertimbangan-pertimbangan akal sehat lainnya.

Dua, di dalam gerombolan, orang kehilangan ciri kepribadiannya. Orang yang ramah dalam keseharian bisa berubah menjadi brutal dalam sekejap mata. Kewarasan seolah lenyap dalam hitungan detik. Setelah euforia gerombolan berakhir, yang tersisa hanya rasa heran pada apa yang telah terjadi.

Tiga, di dalam gerombolan, tidak ada tanggung jawab. Orang bisa bertindak seenaknya dengan mengikuti gerak gerombolan. Mereka tak takut pada hukum dan aturan yang berlaku. Dalam hitungan detik, mereka merasa menjadi manusia super yang siap merusak dan menjarah, tanpa rem moralitas ataupun pertimbangan nurani apapun.

Empat, gerombolan meleburkan semua bentuk identitas pribadi. Yang tercipta kemudian adalah kesetaraan sejati. Tidak ada pria, wanita, orang kaya ataupun orang miskin. Sekat-sekat agama, suku dan ras tertunda, ketika gerombolan tercipta.

Gerombolan menciptakan ilusi kekuasaan. Seolah kekuatan terbesar ada di dalam jumlah. Padahal, gerombolan itu amat sementara. Dalam sekejap mata, ia bisa muncul dan lenyap. Jika orang bisa bertahan dengan akal sehat dan nuraninya, tekanan gerombolan tak akan mempengaruhinya.

Anti-Gerombolan

Mental gerombolan ini sudah banyak menciptakan masalah. Para pendukung Hitler di perang dunia kedua adalah gerombolan fasis yang paling brutal dalam sejarah. Akal sehat dan kebenaran diputarbalikan melalui paksaan dan ancaman.

Pemerintah dan lembaga yang pengecut akan tunduk pada ancaman gerombolan, dan menciptakan kekacauan serta kecemasan di masyarakat luas. Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia.

Mental gerombolan hanya dapat dikalahkan dengan dua cara. Yang pertama adalah membangun sikap autentik dalam diri. Sikap autentik menolak tunduk pada tradisi dan kecenderungan masyarakat luas, tanpa pendasaran akal sehat dan nurani yang bersih. Orang yang autentik tidak akan mudah dipengaruhi, bahkan dengan ancaman kekerasan ataupun rayuan kenikmatan.

Sikap autentik hanya dapat tumbuh, jika orang mengembangkan pola berpikir kritis dan rasional. Sebenarnya, inilah peran utama filsafat di dalam kehidupan bersama. Sikap kritis membuat orang tak gampang percaya pada apapun. Sikap rasional membuat orang mampu menarik kesimpulan, dan menyampaikan pendapat dengan jernih serta masuk akal.

Banyak masalah akan selesai, jika sikap autentik dan kritis ini dikembangkan secara merata. Hoaks tidak akan menganggu kehidupan politik. Gosip dan rumor murahan akan secara alami lenyap dari wacana bersama. Politik identitas juga akan kehilangan daya tariknya. Radikalisme, baik agama ataupun ideologi, akan lenyap dengan sendirinya.

Sebaliknya, jika mental gerombolan terus dilestarikan, maka petaka akan terus menghantui hidup bersama. Orang akan hidup dalam rasa takut tanpa henti. Energi masyarakat akan habis untuk membicarakan hal-hal yang dangkal dan tak berguna. Kita sudah berulang kali mengalami ini di Indonesia.

Apakah anda tidak lelah?

***