Suatu waktu di pertengahan tahun 1990-an, Harian Kompas melalui Unit Porka mengundang Ardiansyah, pecatur bergelar Grand Master yang dimiliki Indonesia selain Utut Adianto dan Herman Suradiredja, untuk bermain simultan melawan 50 pecatur amatir Kompas-Gramedia.
Suasana pertandingan di lantai lima "gedung lama" KG di bilangan Palmerah Selatan itu penuh sesak oleh penonton. Ruangan yang memanggang tubuh dan mendadak pengap. Pendingin rungan yang terpusat menjadi sia-sia.
Sebagai GM, mudah bagi Ardiansyah melumat lawan-lawannya yang tergolong jago catur di tempat kerjanya. Ia berjalan dari papan ke papan melangkahkan bidak putih yang dipegangnya seperti tidak dipikir lagi. Hati menjerit girang saat langkah Ardiansyah terhenti di seberang papan catur saya. Apalagi di putaran berikutnya ia menekankan satu lengannya ke meja sambil geleng-geleng kepala. "Yessss....," hati berjingkrak.
Beberapa partai berakhir remis dan mereka yang mendapat poin setengah itu senang bukan kepalang bisa megimbangi sang Grand Master. Harap dicatat, hanya ada lima atau 6 pecatur saja yang bisa mengalahkan Ardiansyah.
Salah satunya saya hahaha...
Di tempat yang berbeda, berbilang jarak dan kurun waktu yang senjang dengan peristiwa di atas, di bulan November tahun 2016 yang lembab saya berada di Takengon, Aceh. Selain urusan bedah buku, saya berkesempatan menjajal Master Nasional (MN) Nanggroe Aceh Darussalam. You now, saya sempat memenangi partai pertama sebelum dibalas sang MN di partai kedua. Partai ketiga berakhir imbang!
Saya pecatur amatir. Lalu, mengapa saya bisa mengalahkan GM Ardiansyah meski itu dalam pertandingan simultan dan bisa menahan gempuran MN asal NAD yang tidak usahlah saya sebut namanya?
Jawabnya sederhana: Tabloid BOLA!
Untuk itulah saya sedih bukan kepalang ketika mendengar BOLA, sebagai tabloid khusus olahraga, akan menutup mata selama-lamanya dalam bentuk cetak. Mungkin tidak persis mati, BOLA hanya bermetamorfosa menjadi media lain di Internet. Tetapi yang mengguncang tetaplah satu kenyataan, koran kertas satu persatu berguguran. Tidak serempak memang, melainkan datang permusim yang tidak menentu, bergejolak dan sulit diprediksi.
Saya mengenal catur sebelum dwitarung antara Anatoly Karpov dan Victor Korchnoi berlangsung tahun 1978. Sejak tahun 1977, saat saya kelas 6 Sekolah Dasar, saya membaca persiapan pertarungan itu dari koran Suara Karya dan Harian Kompas. Saya diajari selintas permainan ini oleh seorang paman, lalu menelan kekalahan beruntun ketika diujicobakan melawan teman sekelas yang sudah menjadi master kelas lebih dahulu seperti Asep Dedi dan Dadan Hamdani.
Maka ketika tahun 1984 Harian Kompas menyisipkan Tabloid BOLA setiap hari Kamis (atau Rabu?), edisi pertama sudah memuat pelajaran catur dari Master Catur Surat Lugito Hayadi. Demikian memikat penuturannya, juga karena memperkenalkan notasi catur aljabar dari dasar, saya pun mampu mengikuti pelajarannya. Saya pinjam papan catur milik adik saya dan mulai menjalankan langkah-langkah catur sesuai notasi yang diberikan Lugito Hayadi.
Yang terbayang adalah wajah Asep Dedi dan Dadan Hamdani itu. Kelak saya harus membalas kekalahan yang memalukan, saat saya baru mengenal "alifbata" catur sedangkan mereka sudah menderas catur bahkan tanpa melihat papan!
Ajaib! Saya membaca mengenai "Tarian 4 Kuda yang Memukau", "Sepasang Gajah Maut", "Membunuh Raja dengan Benteng dan Kuda", "Titk Lemah f7 yang Jadi Sasaran", "Pengorbanan Ala Tal" dan seterusnya dari Lugito Hayadi.
Itulah teori-teori catur yang diajarkan Lugito sambil memberi contoh partai-partai brilian yang dihasilkan "Seniman" catur kala itu seperti Mikhail Tal, Jan Timman, Bobby Fischer dan lain-lain. Di Harian Kompas, Lugito juga menulis dan mengupas partai-partai catur dari berbagai turnamen, di mana seiring saya sudah mahir membaca notasi aljabar. Saya pun bisa mengikuti partai-partai brilian pada masanya, saat Garry Kasparov membuka mata dunia.
Saya meng-klipping hampir semua pelajaran catur dari Lugito Hayadi, selain berburu buku-buku catur bekas di Pasar Palasari saat menginjak bangku pergruan tinggi. Honor menulis cerpen kadang bisa tandas di Palasari. Di Unpad, berbekal ilmu catur dari Lugito Hayadi yang termuat di Tabloid BOLA, saya mampu mengalahkan lawan-lawan tangguh seperti Erpan Faryadi.
Lompat waktu... dan lebih ajaib, saat saya menjadi wartawan Harian Kompas, saat Muzni Muiz tidak menangani lagi kolom catur di Harian Kompas, saya mulai mengisi kekosongan itu dengan menulis catur!
Kepada siapa saya harus berterima kasih?
Jawabannya sederhana: Tabloid Bola!
Saya selalu optimis dan menganggap kematian media, dalam hal ini media cetak, bukanlah akhir segala-galanya. Yang akan dan harus tetap hidup adalah Jurnalisme di dalamnya. Tidak peduli menggunakan format media apa dia hidup. Sebab, hanya jurnalisme-lah satu-satunya senjata untuk melawan hoax saat ini.
Saya tidak ingin mengatakan "Selamat Jalan BOLA", apalagi mengatakan "RIP BOLA".
Kamu tidak mati. Hanya berubah wajah saja, bukan?
Tetap semangat!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews