Berkat Tabloid BOLA, Jadilah Saya Pecatur Amatir yang Bikin Lawan Ketar-ketir!

Kamis, 18 Oktober 2018 | 13:46 WIB
0
708
Berkat Tabloid BOLA, Jadilah Saya Pecatur Amatir yang Bikin Lawan Ketar-ketir!

Suatu waktu di pertengahan tahun 1990-an, Harian Kompas melalui Unit Porka mengundang Ardiansyah, pecatur bergelar Grand Master yang dimiliki Indonesia selain Utut Adianto dan Herman Suradiredja, untuk bermain simultan melawan 50 pecatur amatir Kompas-Gramedia.

Suasana pertandingan  di lantai lima "gedung lama" KG di bilangan Palmerah Selatan itu penuh sesak oleh penonton. Ruangan yang memanggang tubuh dan mendadak pengap. Pendingin rungan yang terpusat menjadi sia-sia.

Sebagai GM, mudah bagi Ardiansyah melumat lawan-lawannya yang tergolong jago catur di tempat kerjanya. Ia berjalan dari papan ke papan melangkahkan bidak putih yang dipegangnya seperti tidak dipikir lagi. Hati menjerit girang saat langkah Ardiansyah terhenti di seberang papan catur saya. Apalagi di putaran berikutnya ia menekankan satu lengannya ke meja sambil geleng-geleng kepala. "Yessss....," hati berjingkrak.

Beberapa partai berakhir remis dan mereka yang mendapat poin setengah itu senang bukan kepalang bisa megimbangi sang Grand Master. Harap dicatat, hanya ada lima atau 6 pecatur saja yang bisa mengalahkan Ardiansyah.

Salah satunya saya hahaha...

Di tempat yang berbeda, berbilang jarak dan kurun waktu yang senjang dengan peristiwa di atas, di bulan November tahun 2016 yang lembab saya berada di Takengon, Aceh. Selain urusan bedah buku, saya berkesempatan menjajal Master Nasional (MN) Nanggroe Aceh Darussalam. You now, saya sempat memenangi partai pertama sebelum dibalas sang MN di partai kedua. Partai ketiga berakhir imbang!

Saya pecatur amatir. Lalu, mengapa saya bisa mengalahkan GM Ardiansyah meski itu dalam pertandingan simultan dan bisa menahan gempuran MN asal NAD yang tidak usahlah saya sebut namanya?

Jawabnya sederhana: Tabloid BOLA!

Untuk itulah saya sedih bukan kepalang ketika mendengar BOLA, sebagai tabloid khusus olahraga, akan menutup mata selama-lamanya dalam bentuk cetak. Mungkin tidak persis mati, BOLA hanya bermetamorfosa menjadi media lain di Internet. Tetapi yang mengguncang tetaplah satu kenyataan, koran kertas satu persatu berguguran. Tidak serempak memang, melainkan datang permusim yang tidak menentu, bergejolak dan sulit diprediksi.

Saya mengenal catur sebelum dwitarung antara Anatoly Karpov dan Victor Korchnoi berlangsung tahun 1978. Sejak tahun 1977, saat saya kelas 6 Sekolah Dasar, saya membaca persiapan pertarungan itu dari koran Suara Karya dan Harian Kompas. Saya diajari selintas permainan ini oleh seorang paman, lalu menelan kekalahan beruntun ketika diujicobakan melawan teman sekelas yang sudah menjadi master kelas lebih dahulu seperti Asep Dedi dan Dadan Hamdani.

Maka ketika tahun 1984 Harian Kompas menyisipkan Tabloid BOLA setiap hari Kamis (atau Rabu?), edisi pertama sudah memuat pelajaran catur dari Master Catur Surat Lugito Hayadi. Demikian memikat penuturannya, juga karena memperkenalkan notasi catur aljabar dari dasar, saya pun mampu mengikuti pelajarannya. Saya pinjam papan catur milik adik saya dan mulai menjalankan langkah-langkah catur sesuai notasi yang diberikan Lugito Hayadi.

Yang terbayang adalah wajah Asep Dedi dan Dadan Hamdani itu. Kelak saya harus membalas kekalahan yang memalukan, saat saya baru mengenal "alifbata" catur sedangkan mereka sudah menderas catur bahkan tanpa melihat papan!

Ajaib! Saya membaca mengenai "Tarian 4 Kuda yang Memukau", "Sepasang Gajah Maut", "Membunuh Raja dengan Benteng dan Kuda", "Titk Lemah f7 yang Jadi Sasaran", "Pengorbanan Ala Tal" dan seterusnya dari Lugito Hayadi.

Itulah teori-teori catur yang diajarkan Lugito sambil memberi contoh partai-partai brilian yang dihasilkan "Seniman" catur kala itu seperti Mikhail Tal, Jan Timman, Bobby Fischer dan lain-lain. Di Harian Kompas, Lugito juga menulis dan mengupas partai-partai catur dari berbagai turnamen, di mana seiring saya sudah mahir membaca notasi aljabar. Saya pun bisa mengikuti partai-partai brilian pada masanya, saat Garry Kasparov membuka mata dunia.

Saya meng-klipping hampir semua pelajaran catur dari Lugito Hayadi, selain berburu buku-buku catur bekas di Pasar Palasari saat menginjak bangku pergruan tinggi. Honor menulis cerpen kadang bisa tandas di Palasari. Di Unpad, berbekal ilmu catur dari Lugito Hayadi yang termuat di Tabloid BOLA, saya mampu mengalahkan lawan-lawan tangguh seperti Erpan Faryadi.

Lompat waktu... dan lebih ajaib, saat saya menjadi wartawan Harian Kompas, saat Muzni Muiz tidak menangani lagi kolom catur di Harian Kompas, saya mulai mengisi kekosongan itu dengan menulis catur!

Kepada siapa saya harus berterima kasih?

Jawabannya sederhana: Tabloid Bola!

Saya selalu optimis dan menganggap kematian media, dalam hal ini media cetak, bukanlah akhir segala-galanya. Yang akan dan harus tetap hidup adalah Jurnalisme di dalamnya. Tidak peduli menggunakan format media apa dia hidup. Sebab, hanya jurnalisme-lah satu-satunya senjata untuk melawan hoax saat ini.

Saya tidak ingin mengatakan "Selamat Jalan BOLA", apalagi mengatakan "RIP BOLA".

Kamu tidak mati. Hanya berubah wajah saja, bukan?

Tetap semangat!

***