Pesantren

Jauh di sana, di China, Taiwan, Korea, Singapura, ada jutaan siswa yang juga sedang belajar dengan metoda, fasilitas, peralatan, yang sangat modern. Tujuannya sama, untuk memenangi masa depan.

Kamis, 11 Agustus 2022 | 06:38 WIB
0
120
Pesantren
Adegan film

‘Pesantren’ adalah film dokumenter. Berdasarkan penjelasan sutradara, Salahuddin ‘Udin’ Siregar, ‘Pesantren’ diproyeksikan sebagai counter perception atas tuduhan masyarakat barat yang menyebutkan pesantren adalah sarang teroris. Proses pembuatan film ini memakan waktu lumayan lama, mulai dari observasi di tahun 2012 hingga tayang di tahun 2022. 

Film ini berupa capture dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung di pesantren. Ditunjukkan apa adanya pesantren: orang-orangnya, bangunannya, fasilitasnya, kegiatannya, dan ... ini yang sebenarnya menjadi unggulan: karakter warga pesantren (pengurus, guru, dan muridnya) yang inklusif, toleran, dan rasional. Paling tidak, itu ditegaskan oleh KH Hussein Muhammad yang tampil ‘sempurna’ di film ini.    

Karya sinema ini harusnya efektif dan signifikan sebagai ‘jawaban’ tuduhan keji yang dilontarkan Barat atas pesantren. Karena film ini akan diputar di beberapa negara, mengingat sumber pembiayaan film ini berasal dari lima negara (barat), harusnya mesyarakat barat mendapatkan potret yang sebenarnya mengenai pesantren, dan persepsi mereka tentang pesantren harus berubah. Sebagai ‘jawaban’, film ini sangat bagus.   

‘Pesantren’ juga bisa menjadi album nostalgia bagi mereka yang dulu pernah mondok, dan kini sudah menjadi orang sukses dan tinggal di kota. Paling tidak, itu diungkapkan oleh Cak Imim, Ketua Umum PKB yang hadir dalam pemutaran perdana film ini. Nikmatnya hidup susah tinggal di pondok akan hadir dan terasakan kembali ketika nonton film ini. 

Akan tetapi, tayangan yang apa adanya mengenai pesantren yang ditampilkan dalam film ini, secara tidak langsung menjelaskan bahwa potret pesantren pada jalan baheula dan jaman now, ya sama saja. 

Bangunannya sedikit lebih baik, fasilitasnya, kebiasaannya, budayanya, metoda pembelajarannya, konten pelajarannya. Nyaris tidak berubah. Tidak bisa berubah atau tidak mau berubah? 

Namun jika film ini diharapkan sebagai ‘iklan’ untuk menarik para orangtua (terutama lapisan menengah atas di perkotaan), untuk membelajarkan anak-anaknya di pesantren, kecil kemungkinan ekspektasi itu terpenuhi. Persepsi para orangtua lapis menengah atas tentang pendidikan sudah demikian kompleks. 

Bagaimanapun, gambaran ideal tentang sistem pendidikan yang mereka inginkan, antara lain didukung oleh fasilitas. Bahwa sudah ada beberapa pesantren yang gedung, fasilitas, dan lain-lainnya sudah bagus, bahkan sangat bagus, ... iya. Tapi mahalnya naudzubillahi min dzalik.          

Tapi gak apa-apa, jika film ini ditonton oleh para pengusaha berhati berlian, maka bisa saja film ini menjadi kuntjji pembuka gerbang perubahan pesantren secara keseluruhan menjadi lembaga pendidikan yang modern, maju, tapi biayanya jerjangkau. Ingat, saat ini ada sekitar 25 ribu pesantren di Indonesia. 

Seusai pemutaran film ini saya berbincang dengan KH Hussein Muhammad. Ada tiga poin yang saya sampaikan. Pertama, jika dibandingkan dengan asrama-asrama bagi pelajar Katholik atau Kristen, kok pesantren jadi terlihat kumuh, tidak rapi, kurang sehat. 

Apa tidak bisa para pengurus pesantren belajar dari para pengurus asrama-asrama Katholik? Oke, mengenai kualitas bangunan, skip dulu. Ini penting untuk membangun kedisiplinan dan karakter para santri. 

Kedua, setiap tahun media memberitakan tentang siswa-siswa dengan NEM terbaik tingkat SMP, SMA. Sekolah terbaik tingkat SMA. Lebih dari 50% berasal dari sekolah-sekolah Katholik dan Kristen. Sementara dari sekolah Islam atau pesantren, amat sangat jarang sekali. Kenapa kita (entitas pesantren) tidak belajar dari mereka, ‘resepnya’ apa? 

Atau ... sering juga diberitakan, Tim Indonesia sukses di ajang Olimpiade Fisika atau Matematika. Maaf, para siswa yang membanggakan itu, yang mengibarkan Merah Putih di arena bergengsi itu, pun sebagian besar dari sekolah-sekolah Katholik atau Kristen. 

Mana yang dari pesantren? Pak Kyai menatap saya, tangannya menepuk-nepuk pundak saya. “Itulah yang saya pikirkan selama ini. Kita punya pikiran yang sama. Kita harus mulai ke sana.” 

Ketiga, dalam 10 atau 20 tahun mendatang, anak-anak yang sekarang duduk di sekolah setingkat SMP dan SMA akan menjadi mesin utama ‘kemajuan’ Indonesia. Sebagian dari mereka belajar di pesantren seperti yang kita lihat di film itu. 

Jauh di sana, di China, Taiwan, Korea, Singapura, ada jutaan siswa yang juga sedang belajar dengan metoda, fasilitas, peralatan, yang sangat modern. Tujuannya sama, untuk memenangi masa depan. 

“Menurut Pak Kyai, apakah anak-anak kita, terutama yang sekarang belajar di pesantren, akan bisa bersaing dengan mereka?” Kali ini Kyai memegang tangan saya. “Kita harus berubah.” Terus kami bertukar nomor kontak. Cepetan nonton ‘Pesantren’. Kata Lola, tayangnya gak lama.

***