Pelajaran dari Rara

Mampu bersikap lapang terhadap kritikan serta tidak jumawa ketika memiliki prestasi yang oleh Rara disebut sikap ihlas dalam melayani merupakan kunci sukses menjalani profesinya.

Kamis, 31 Maret 2022 | 14:51 WIB
0
207
Pelajaran dari Rara
Mbak Rara (Foto: Facebook.com)

Apa yang menarik dari fenomena Roro Istiati Sundari atau yang akrab dipanggil Rara si pawang hujan Mandalika adalah sikapnya yang tidak menunjukkan ketersinggungan karena tuduhan terhadap diri dan profesinya.

Dari mereka yang sekedar nyinyir, menyebutnya praktek klenik hingga tuduhan bersekutu dengan alam gaib tak menggoyahkan keyakinan Rara terhadap kepercayaan leluhurnya yang justru menurutnya harus dijaga dan dilestarikan.

Bila dipetakan sambil lalu penolakan terhadap Rara datang setidaknya dari dua arah.

Pertama, mereka yang menyoroti aktivitas pawang hujan yang mengklaim mampu menggeser hujan atau mengendalikannya sebagai fenomena klenik yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, berbeda dengan tindakan menabur garam di udara untuk kepentingan yang sama.

Kedua, mereka yang melihat tindakan pawang hujan sebagai tindakan yang menyimpang dari keyakinan mayoritas penganut agama langit. Bagi umumnya umat islam tindakan meminta tolong pada roh leluhur atau kekuatan gaib lewat ritual yang tidak disyariatkan islam dipandang sebagai tindakan musyrik.

Hal yang sama bisa disimpulkan lewat penjelasan Pendeta Gilbert yang viral mengenai fenomena pawang hujan yang menurutnya sebagai praktek perdukunan yang mengabaikan akal sehat karena memanfaatkan kekuatan gaib dan seterusnya.

Sementara mereka yang mesupport aktivitas Rara datang berbagai kalangan. Dari mereka yang melihatnya sebagai keragaman budaya tanah air yang berhak eksis dan hidup berdampingan dengan budaya lain, memperkaya industri pariwisata tanah air yang berbasis budaya (cultural tourism) hingga pembenaran secara metafisika.

Sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia tradisi pawang hujan dalam perspektif demokrasi memiliki hak hidup yang sama dan setara dengan budaya lain di Indonesia, halnya dengan keyakinan keagamaan.

Jika ditelusuri tradisi pawang hujan sebenarnya menemukan pembenaran dalam tradisi agama tertentu, Hindu Bali, atau aliran kepercayaan yang dianut di Indonesia seperti Kejawen. Atau bahkan dalam Islam ibadah meminta hujan lewat shalat berjamaah tidak dikategorikan sebagai syirik.

Dalam sudut pandang rasionalitas menggeser awan dengan cara meminta atau bernegosiasi dengan roh leluhur yang mengendalikan awan seperti yang diyakini Rara satu frekuensi dengan keyakinan meminta hujan lewat ritual doa yang dilakukan secara massal.

Menggeser hujan dalam perspektif sains memiliki metode standar yang teruji dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sebaliknya pawang hujan mendasarkan klaimnya pada kekuatan supranatural yang tidak mungkin dijelaskan dan dibuktikan lewat metode ilmiah.

Namun upaya menjelaskan fenomena pawang hujan atau doa meminta hujan dalam perspektif rasionalitas misalnya bisa dilihat dalam pandangan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). 

Bagi Cak Nun, hujan halnya fenomena alam lainnya tunduk di bawah kendali subyek tertentu yang merupakan mahluk Tuhan. Rara menyebut subyek tersebut Dewa-Dewi dalam Hindu sementara sebagai penganut Kejawen Rara menyebutnya roh leluhur.

Cak Nun menyebut subyek yang dimaksud bisa disebut malaikat atau nama lain yang merupakan perpanjangan Tuhan dalam mengendalikan alam semesta. Jika rekayasa cuaca yang dilakukan BBTMC (Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca) berada dalam domain fisika, maka fenomena pawang hujan yang konon mampu memodifikasi cuaca berada di bawah yurisdiksi metafisika.

Umumnya umat beragama meyakini cuaca bisa direkayasa atas kehendak Tuhan, yang mereka tolak adalah praktek yang dalam Islam yang dikategorikan sebagai syirik atau ritual yang memohon pertolongan selain dari Allah. Atau ringkasnya ritual di luar syariat islam hukumnya syirik.

Sementara sebagai penganut Kejawen Rara tidak menganggap praktek shalat memohon hujan atau ibadah sejenis sebagai praktek menyimpang. Rara sendiri dalam melaksanakan ritual juga dibantu rekannya yang muslim dengan bacaan Surat al-Ikhlas serta berharap dukungan penonton termasuk yang menyaksikan secara daring. 

Penting dicatat Rara tidak pernah mengklaim keberhasilan yang dicapai sebagai ikhtiar pribadi atau sebatas hasil kerja tim, melainkan berkat doa seluruh penonton serta masyarakat yang menghendaki suksesnya sebuah event.

Mampu bersikap lapang terhadap kritikan serta tidak jumawa ketika memiliki prestasi yang oleh Rara disebut sikap ihlas dalam melayani merupakan kunci sukses menjalani profesinya. 

Pada sosok Raden Roro Istiati Sundari bangsa ini bisa belajar banyak.

***