Framing yang dibangun cuma habluminallah, tapi mengabaikan habluminannas yang menjadi fundamen penting ke tangga habluminallah.
Tak ada yang sebebas bahkan seradikal, sekejam netijen Indonesia, namun sekaligus juga tak ada yang sebodoh itu. Padal, sumpah mampus, UU-ITE di negeri ini bisa dibilang terkejam di dunia. Namun, memang, senyampang itu penegakannya juga khas Indonesia. Tidak tegak lurus dengan langit.
Penegakan hukum di Indonesia, memang sering kompromis, apalagi ngadepin majoritas. Barulah ketat jika untuk minoritas. Mau cari bukti?
Buanyak banget ujaran kebencian yang dilakukan kelompok dan orang-orang tertentu (dengan agama tertentu pula), namun Polisi terasa memble. Giliran yang ngomong minoritas, walau itu kebenaran dan fakta, meski di luar negeri Polisi akan mengejarnya.
Kalau bukan karena desakan majoritas, biasanya juga carmuk ke majoritas. Atau, karena ada apa-apanya dengan majoritas. Hidup majoritas!
Coba lihat, Rizieq Shihab diadili karena kasus apa? Penghinaan ke Pancasila? Bung Karno? Presiden? Tidak. Itu akan mengundang reaksi keras.
Lha wong kematian Tengkuzul barusan, sudah disambut dengan nyinyiran cukup nekad; "Kenapa ya, semua ulama yang menentang rezim PKI ini meninggal kena covid dan kenanya setelah di swab? Jangan-jangan di stik swab nya dioleskan virus corona ... " begitu kita kutipkan verbatim sebagian dari tulisan Hasnul Ramadhani.
Tudingan semacam itu, sangat insinuatif, berlebihan, keterlaluan. Mestinya tak bisa ditolerir karena mengundang kontroversi. Tulisan itu cepat menyebar, dan bisa dipastikan ada yang percaya sebagai benar, bahwa kematian Tengkuzul 'bisa jadi' atau 'mungkin' karena 'operasi intelijen'. Di mana konon ustadz yang galak mengkritik Pemerintahan Jokowi (yang disebut rezim PKI) dibasmi pelan-pelan dengan cara test-swab.
Pembuat informasi itu, tak bisa dibiarkan atau ditoleransi. Aparat penegak hukum mestinya bisa menanya, maksud dan tujuan tudingan itu secara hukum.
Hukum berlaku sama bagi semua warga negara Indonesia, baik yang bergama ini atau itu. Karena toh pada kenyataannya, agama masing-masing yang dianut manusia, tak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Benarkah agama memerintahkan bikin hoax atau ujaran kebencian? Pasti tidak jawabnya. Kalau 'gitu, tidak relevan mempersoalkan 'agamanya apa' dalam konteks hukum di Indonesia.Lagian, mana ada sih ustadz atau ulama cerdas dan proporsional mengritik Pemerintah? Lihat dakwah mereka di televisi (apalagi saat Ramadhan). Kebanyakan dakwah yang menyembah kapitalisme dan materialisme.
Dan framing yang dibangun cuma habluminallah, tapi mengabaikan habluminannas yang menjadi fundamen penting ke tangga habluminallah.
Slamat berpuasa biar alim. Kalau tersinggung jangan dibawa ke ati.
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews