Kebohongan dan Hoax

Kebenaran memang semakin sulit terlihat dengan terang benderang. Terlalu banyak kepentingan yang bermain.

Jumat, 2 Juli 2021 | 21:00 WIB
0
181
Kebohongan dan Hoax

Di tengah pandemi yang memprihatinkan ini, ada sebagian orang yang menganggap pandemi ini adalah berita rekayasa, meski banyak jatuh korban di depan mata, dan terkadang ini kerabat mereka sendiri.

Di lain pihak, banyak orang begitu mempercayai teori-teori konspirasi yang jauh dari benar. Ini semua tentu membuat kita jengah. Mengapa ada begitu banyak orang tak mampu memilah informasi?

Mungkin bila ditanya apa ekses terburuk era millennial, maka hampir tanpa ragu kita akan berkata ‘maraknya peredaran hoax’. Meski hoax diyakini telah ada seumur dengan sejarah peradaban manusia, tetapi percepatan menyebarannya telah bertambah secara eksponensial di era ini.

Menghadapkan manusia pada kenyataan baru: meski teknologi berkembang pesat, kecepatannya tak sebanding dengan dengan pertambahan intelektualitas rata-rata penduduk bumi. Mereka yang gampang sekali percaya hoax.

Hoax bisa jadi memfasilitasi kecenderungan umum manusia untuk berbohong, tepatnya merekayasa informasi untuk kepentingannya sendiri. Dalam buku Everybody Lies karya Seth Stephens-Davidowitz, dijelaskan di sana bahwa kita semua berbohong. Perbedaannya, hanya seberapa banyak kita berbohong. Ada yang sedikit dan ada yang banyak.

Makin tidak personal kondisi yang dihadapi seseorang, maka seseorang semakin jujur dalam memberikan informasi. Misalnya saat kita memberi info suatu alamat pada orang lain. Tetapi begitu berhadapan dengan norma, etika, tata nilai yang membuat orang lain dapat memberikan penilaian pada kita, kita akan mudah sekali untuk berbohong.

Davidowitz memberi contoh kemenangan Trump pada Pilpres 2016 di Amerika. Semua orang mengira, terpilihnya Obama menjadi presiden menandai akhir rasisme di AS. Ternyata tidak. Hanya beberapa menit setelah Obama menjadi presiden, Google dipenuhi pertanyaan-pertanyaan rasis dengan kata kunci kata-kata abusive seperti 'nigger'...

Menurut Davidowitz, hanya pada Google dan search engine manusia bisa seratus persen jujur. Bukan hanya mengakui semangat rasis misalnya, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan yang tak sanggup diungkapkan pada orang lain karena tak ingin dianggap tidak normal. Pertanyaan seperti kecenderungan seksual, keinginan bunuh diri atau balas dendam, hanya mampu diungkapkan di hadapan Yang Mulia Internet. 

Singkatnya, data tentang akses ke suatu informasi di internet bisa menjadi alat analisis yang jauh lebih akurat untuk mengambil gambaran kepribadian seseorang, mengingat manusia cenderung jujur di depan mesin yang memang tak pernah menghakimi....

Bila Davidowitz membahas kebohongan yang dilakukan manusia, Tom Philips dalam bukunya Truth membahas tentang kebenaran. Bahwa manusia sering kali tak mampu membedakan kebenaran dan omong kosong. Manusia tak bermaksud berbohong, atau terlibat pada kebohongan, namun manusia seringkali mempercayakan banyak keputusan pentingnya pada sesuatu yang sebenarnya ‘omong kosong’.

Ketakmampuan memahami omong kosong inilah yang sering membuat kita terjebak untuk mempercayai penipu. Philips mencontohkan kisah penipuan terkenal abad 19 yang berawal dari omong kosong. Kisah berawal saat Jenderal Sir Gregor MacGregor, seorang yang dianggap pahlawan perang keturunan bangsawan sekaligus penjelajah benua baru menawarkan kesempatan berinvestasi dengan membeli tanah di suatu negeri bernama Poyais pada musim panas tahun 1822. Poyais digambarkan sebagai negeri subur, dapat membuat tanaman mampu dipanen tiga kali dalam setahun, serta dipenuhi sungai panjang berkelok penuh bongkahan emas. Penduduk asli Poyais bersahabat serta penuh kasih bila diajak bekerjasama. Masih ditambah dengan kisah tentang ibukota St. Joseph yang makmur berpenghuni 1.500 orang dengan arsitektur Eropa modern dan sebuah pelabuhan dagang yang ramai.

Orang pun antusias dan berbondong-bondong menginvestasikan uangnya untuk tanah di Poyais, bahkan menjual semua yang dimilikinya untuk memulai hidup baru di Poyais. Dengan menaiki kapal Honduras Packet mereka memulai hidup baru dengan berlayar ke Poyais. Tapi apa yang didapat mereka saat benar-benar mendarat di Laguna Hitam, tempat yang dinyatakan sebagai letak Poyais? Tak ada apa-apa. Tak ada pelabuhan yang megah dan ibukota yang artistik. Tak ada pula sungai penuh bongkahan emas. Bisa dibilang, tak ada peradaban di sana.

Segera saja para penumpang dihadapkan pada kenyataan mereka telah dibohongi. Ini masih ditambah bencana malaria yang menjangkiti para penumpang Honduras Packet. Dari sekitar 270 penumpang, tidak sampai 50 orang yang bisa kembali ke Inggris.

Tom Philips kemudian mengulas, mengapa MacGregor mampu membuat banyak orang percaya pada ‘hoax’ tentang Poyais. Pertama, karena pada dasarnya masyarakat sudah bias dalam memandang MacGregor. Ia dianggap memiliki kisah hidup dan silsilah mengagumkan: bangsawan Skotlandia keturunan Rob Roy, veteran tentara Inggris yang mengabdi dalam Resimen Darat ke-57 yang terkenal bertempur dengan tentara Portugis dalam Pertempuran Albuerra.

Kedua, MacGregor mampu merekayasa bukti-bukti yang meyakinkan. Untuk mendukung iklannya tentang investasi di Poyais, MacGregor menjalankan kampanye publik besar. Ia memberikan wawancara dengan surat kabar. Untuk dapat diwawancarai, MacGregor harus membangun koneksi dengan masyarakat kelas atas, yang harus ia yakinkan satu persatu.

Ia pun menerbitkan buku mewah berjudul Sketch of Mosquito Shore, yang dikatakan ditulis oleh Thomas Strangeways yang dideskripsikan sebagai Kapten resimen di Poyais. Buku itu juga menempatkan lukisan MacGregor yang cetar dengan latar belakang laguna Sungai Hitam penuh kapal bersauh di pelabuhan. Buku inilah yang menjanjikan segala klaim indah tentang Poyais. Ia pun membujuk seorang juru tulis untuk membuat puisi pujian tentang Poyais.

Tetapi menurut Phillips, faktor utama yang membuat mereka percaya omong kosong tentang Poyais itu karena Poyais mampu mengeksplorasi mimpi mereka. Apa yang ditawarkan Poyais adalah apa yang menjadi dambaan mereka sehingga mereka mudah tergiur. Ibarat seorang penyuka rasa kecut buah-buahan akan mudah tergoda melihat penjual rujak, tetapi tidak demikian dengan penyuka kue-kue manis.

Ini masih ditambah kemungkinan dalam kesehariannya, mereka pun menyuka orang-orang berkepribadian seperti MacGregor. Maka mereka mempercayai semua narasi yang dibangun MacGregor, meski bagi yang tak percaya semua terasa ‘too good to be true’.

Kisah Poyais itu, bisa jadi akan mengingatkan kita mengapa ada orang-orang yang tertarik dan sangat fanatik pada ideologi tertentu. Mereka menjadi tak obyektif ketika menilai, dan terjebak pada utopisme. Negeri-negeri komunis yang kini hancur berawal pada kepercayaan berlebihan pada komunisme yang kemudian menafikan hasrat manusia pada kepemilikan pribadi.

Di sisi lain, yang marak kini, pengusung khilafah bisa jadi abai pada kenyataan bahwa belum terbukti ada negara adil makmur yang memenuhi konsep itu. Tetapi tentu saja, argumen di luar khilafah akan mereka sanggah, karena mereka tak mampu lagi obyektif untuk sesuatu yang ‘too good to be true’.

Ada fakta menarik lagi dari MacGregor yang diulas dalam The Truth. Bukan hanya fakta tentang Poyais yang fiktif, kisah hidup MacGregor pun fiktif. Benar ia pernah menjadi tentara, tapi ia dipecat enam tahun sebelum Pertempuran Albuerra. Bukan MacGregor yang bangsawan melainkan istrinya. Pernikahannya inilah yang membuat ia mendapat kemudahan dalam militer meski akhirnya dipecat.

Setelah dipecat, MacGregor kemudian pergi ke Venezuela, kembali ikut kemiliteran. Dengan cepat ia menjadi teman jenderal Fransesco de Miranda. Menikahi perempuan kaya sepupu pahlawan Bolivia, Simon Bolivar. Dari sana ia pulang ke Inggris dengan sejumlah kekayaan dan rekomendasi yang meyakinkan, untuk kemudian membangun bisnis ‘bodong’ Poyais.

Tak dapat dipungkiri, menurut Phillips, Mac Gregor adalah pria dengan bakat besar untuk meyakinkan orang lain, sayangnya ia gunakan untuk menipu. Philips lalu mengutip temuan Tamar Frankel, seorang profesor hukum dari Universitas Boston saat mempelajari profil penipu Finansial pada tahun 2012.

Beberapa sifat yang diidentifikasi: penipu tidak memiliki empati, narsis, serakah dan selalu membenarkan dirinya sendiri. Ketika tertangkap, mereka akan menyanggah dan menghindar. Menyalahkan siapapun dan tidak bertanggungjwab.

Para penipu juga seringkali membenarkan tindakannya dengan berkata ‘orang lain pun begitu’ atau ‘orang lain juga licik’ dan para korban layak mengalaminya karena mereka juga jahat, serakah dan jahat.

Yang paling menarik, Frankel menemukan bahwa penipu punya kecenderungan untuk ‘kecanduan akan mimpi tidak realistis dan ambisi berlebihan’. Lebih lanjut Frankel menyatakan penipu seringkali memainkan peran sebagaimana yang selama ini ia inginkan. Maka penipu akan percaya berlebihan pada penipuannya, inilah yang akan sangat membantu orang memepercayai penipuannya.

Dua jenis kebohongan itu membuat orang menilai informasi menjadi rentan bias. Kelompok-kelompok yang berseberangan kemudian akan menggunakan bias kepentingan tersebut untuk merebut pengaruh politik.

Buku The Truth juga menceritakan perburuan penyihir di Eropa pada abad pertengahan. Yang diburu saat itu seringkali bukan benar-benar penyihir dalam arti orang berkemampuan ilmu klenik atau ilmu hitam. Terkadang stigma penyihir disematkan pada mereka yang berbeda dengan kebanyakan orang-orang saat itu yang gemar akan simbol-simbol relijius. Entah dari penampilan maupun pemikiran. Maka kata penyihir sering ditujukan pada kaum seniman, gipsy,Yahudi, illuminati atau pengikut gerakan-gerakan non keagamaan. 

Fakta yang menarik, perburuan penyihir yang paling kejam atau paling getol terjadi justru setelah abad pertengahan, dan selalu terjadi di tempat di mana komposisi umat Katolik dan Kristen Protestan berimbang. Masa itu di Eropa memang terjadi perpecahan di antara umat Kristiani. Perburuan penyihir tak pernah terjadi daerah dimana Katolik dominan atau Protestan dominan.

Ini artinya, menurut Phillips, yang terjadi sebenarnya adalah perebutan hegemoni. Bukan tindakan relijius memusnahkan penyembah berhala. Melainkan untuk merebut simpati ataupun pengaruh, merebut pendukung baru.

Mengapa hal ini penting untuk kita ketahui. Karena kebohongan, penyebaran hoax telah menjadi sangat mengkhawatirkan ketika menyelimuti kebenaran-kebenaran yang sebenarnya terjadi. Kita hidup di zaman yang kompleks sehingga kita perlu menilai segala sesuatu tak lagi naif, hitam-putih. Seseorang yang dicap pembohong bukan saja belum tentu ia pembohong, tetapi perlu kita kaji dengan mendalam mengapa seseorang menstigma orang lain sebagai pembohong. Ada kepentingan apa dia mengatakan itu?

Kebenaran memang semakin sulit terlihat dengan terang benderang. Terlalu banyak kepentingan yang bermain. Maka mungkin yang terbaik adalah tak pernah bertindak ekstrim.

#vkd