Jati dan Katakter Jokowi

Semuanya bergerak ka arah yang sama: mencari kesejatian. Mencari hal-hal yang benar-benar hakiki dan bernilai. Bukan sekedar, bukan hanya, ora mung.

Sabtu, 17 April 2021 | 04:31 WIB
0
233
Jati dan Katakter Jokowi
Dlupak atau Celupak dari jati (Foto: dok. Pribadi)

Saya kok tiba-tiba merasa bersalah, menuliskan tentang karakter Jokowi sebagai kayu jati itu. Wong sesungguhnya saya menyebut demikian, karena saya termasuk yang gagal memahami dirinya. Apakah hari ini dia berhenti sebagai mebel prejengan kelas juragan?

Lupa pada tanah tandus darimana ia berasal. Bukan dia terutama, karena statusnya sebagai Kepala Negara memang mewajibkannya (catat: wajib ya, bukan sekedar hak) hadir di mana-mana dimana warganya mengundangnya. Tapi hadir di perkawinan youtuber alay? Haruskah....

Menjadi makin salah, karena seolah ia menjadi seorang bapak yang gagap, karena memperanakkan (dalam arti sesungguhnya) angkatan yang kurang ajar dan dibelenggu oleh nafsu pada moment yang terlalu dini. Ya... nafsu menjadi kaya, populer, dan berkuasa. Walau tak ada pencurian, apalagi penjarahan di dalamnya. Tapi etika, dalam arti kepatutan apalagi kepantasan menjadi terlanggar. Sebagai orang Jawa, saya pikir ia berumah dalam rasa. 

Wong Jawa kuwi panggonane ana ing rasa je...

Tapi siapa yang tidak di hari ini? Pikiran kritis terhadap pansos yang terlalu dini, terlalu akselaratif ngoyo. Untuk menjadi makin makmur, memegang kuasa, dan termasyur. Selalu saja dianggap sebuah kecemburuan dan rasa iri. Bukan sebuah peringatan dan perhatian yang tulus. 

Padahal, kayu jati itu sebagaimana juga seharusnya Jokowi di hari lalu hingga hari ini adalah simbolisasi semua orang mencari kesejatiannya. Tak pandang bulu. Walau realitas yang terjadi tidak begitu. Jati makin bergerak ke atas, menjadi koleksi mereka yang mekin berada dan merasa punya selera.

Harga barang barunya makin tak terjangkau, digantikan kayu-kayu pekarangan atau kebonan yang lebih terjangkau. Barang bekasnya yang dulu menjadi penanda desa, makin habis terserap ke semua arah. Tak hanya di kota besar di negeri sendiri, tapi merambah kondo-kondo mahal di seluruh penjuru dunia.

Orang desa, wong cilik, atau siapa pun mereka yang hanya hidup hari ke hari makin terasing dengan jati. Dalam arti kebendaan, barang, perangkat rumah. Tak ada lagi barang berbau jati di rumah mereka, semua serba pabrikan daur ulang dan berunsur partikel remah-remah murahan.

Sebaliknya orang kaya dan juragan di kota-kota besar, yang menjarah dan membawa keluar dari habitat aslinya. Hanya memaknai sebagai barang kolekdol dengan nilai investasi. Tentu untul dijual lagi bila tak lagi sesuai seleranya....

Lalu dimana kese-jati-an itu? 

Mulai besok, selama bulan puasa. Setiap hari saya akan menulis berbagai cerita tentang kayu jati. Dimana saja saja ia menempel dan tergeletak pada sekujur rumah orang Jawa. Dari mulai ruang bagian depan, tengah hingga belakang. Dari mulai pendapa yang profan, senthong dan pasren yang sakral hingga pawonan yang pakiwan.

Menjadi bagian-bagian rumah yang memberikan aura positif seperti bahu dahyang hingga dada peksi tempat menggantung lampu. Tempat menyimpan seperti lemari, grobog, gledeg, bothekan, jodang, palungan dll. Tempat duduk, tempat tidur....

Bagaimana membedakan lemari ciu ho sebagai hadiah perkawinan dengan lemari prongkas sebagai simbol tertinggi pansos puncak keberadaan. Bagaimana jati menjadi alat penerangan dalam bentuk jodog, dlupak dan blencong. Menjadi alat permainan anak dalam wujud jaran goyang atau papan dakon.

Tak lupa berbagai bentuk kentongan dari beragam bentuk dari berbagai daerah. Jati adalah penanda siklus hidup manusia sejak ia lahir, remaja, menikah dan akhirnya mati.

Sebagaimana ia disimbolkan dalam barang mahal bernama meja altar untuk pemujaan leluhur hingga siupan sebagai trobelo peti mati mewah orang Tionghoa. 

Jati telah melebur semua kultur mereka yang pernah tinggal di bumi Jawa, memberi nilai lalu memujanya. Orang Eropa dengan seleranya yang minimalis tapi sangat menyentuh dan fungsional. Masyarakat China dengan segala sesuatunya yang selalu penuh simbolisasi dan mistikisme.

Dan orang Jawa sesuai dengan karakter aslinya yang terlalu dikuasai dunia dalam. Rumit dengan ukiran-ukiran yang njlimet, penuh cerita terselubung dan menuntut keahlian tangan para dewa. Yang wujud tertingginya ada pada karya bernama "Macan Kurung".

Sesuatu yang bukan kebetulan lahir di bumi Jepara, hingga menginspirasi Kartini untuk melakukan pemberontakannya dan melawan hegemoni pria dan memperjuangkan emansipasi dan toleransi. 

Semuanya bergerak ka arah yang sama: mencari kesejatian. Mencari hal-hal yang benar-benar hakiki dan bernilai. Bukan sekedar, bukan hanya, ora mung.

Sebagaimana ilustrasi artikel ini adalah dlupak, di beberapa daerah disebut celupak. Alat penerangan sebelum ada listrik masuk desa. Di bagian tengahnya terdapat tempat menyimpan minyak goreng untuk menyulut api untuk menerangi. Memberi jalan ternag, menjauhi kehidupan yang gelap. Paring dalan padang, ngedohi urip peteng. ..

Selamat menunaikan ibadah puasa, bagi yang "akan dan ingin "menjalankan. Mohon dimaafkan segala kesalahan...

NB: Serial ini akan saya juduli "Sejatining Jati", bahwa semua pada akhirnya akan berujung pada keinginan menggapai kesejatian. Bukan sekedar keduniawian palsu semata. Namun juga bukan kesejatian ala Jokowi yang saya juga tiba-tiba ragu: benarkah ia benar-benar sejati. Atau jangan-jangan berkarakter manipulatif sebagaimana kayu jati. Ketoke apik jebul elek, ketoke elek jebul ambyar. 

Aja ah!

***