Kenangan tentang Julian Sihombing dan Terbunuhnya Rajiv Gandhi

Persahabatan saya dan Julian Shombing yang diwarnai hat trik... Tetapi ada satu yang lebih epik, yaitu peristiwa lensa 35 mm/1,4. Dia marah luar biasa.

Jumat, 2 Oktober 2020 | 21:20 WIB
0
538
Kenangan tentang Julian Sihombing dan Terbunuhnya Rajiv Gandhi
Julian Sihombing dan aku (Foto: dok. pribadi)

Sebentar lagi, 8 tahun meninggalnya Julian Sihombing (JS). Entah mengapa, sejak aku masuk Kompas, aku dekat dengan dia, dan dia juga merasa cocok berteman denganku dan Anton Sanjoyo (JOY). Kami sering runtang-runtung bertiga.

JS memanggilku "In", aku dan Anton memanggilnya "Jul" sementara JS memanggil Anton dengan "Atong". Belakangan geng kami ini nambah Barry Sihotang (BAR) dan Korano Nicolash Lms (NIC). Kalau tengah malam pergi makan ke kawasan Mangga Besar.

Julian senang sekali duduk di mejaku (bahkan pernah melemparkan beberapa barang di mejaku saat berantem dengan Robert Adhi Kusumaputra (KSP), suatu hari tahun 1996. Asbak di mejaku juga selalu isinya puntung bekas JS (Marlboro merah) karena aku pada dasarnya jarang merokok waktu itu.

Malam itu, 21 Mei 1991. Semua di kantor sudah pulang karena waktu sudah lewat tengah malam. Saya dan JS lalu duduk berdua di daerah Desk Internasional, memutar pita video VHS esek-esek oleh-oleh dari seorang teman yang baru pulang dinas luar negeri.

Baru beberapa menit video diputar, rombongan satpam yang mengecek lantai demi lantai, masuk ke lantai Redaksi Kompas di lantai 3. Dengan sigap, JS memindahkan channel televisi agar adegan video tidak tampak di layar.

Dan, di layar muncullah siaran CNN tentang terbunuhnya Rajiv Gandhi beberapa menit sebelumnya. Gandhi tewas pukul 23.50 WIB. Saya dan JS terkesiap.... saya sebagai wartawan yang sangat baru dan sangat sok tahu, langsung lari ke percetakan Gramedia di lantai 2. Saya perintahkan percetakan untuk menghentikan pencetakan Harian Kompas edisi 22 Mei 1991. Herannya, percetakan nurut!

Pada saat yang sama, JS membuka jaringan wire mencari berita telex (waktu itu belum ada internet) tentang pembunuhan Rajiv. Saya mengedit sebuah berita di halaman 1, memotongnya sedikit, untuk menyelipkan berita STOP PRESS tentang terbunuhnya Rajiv.

Lalu percetakan koran Kompas dilanjutkan lagi dengan damai. Tetapi, keesokan harinya suasana redaksi Kompas tidaklah damai. Semua pimpinan mendadak sadar betapa rendahnya tingkat keamanan pencetakan Kompas. Seorang Arbain yang baru beberapa hari resmi menjadi wartawan Kompas, bisa menghentikan percetakan bahkan mengganti konten di halaman 1.

Walau aku dan JS waktu itu menuai pujian, pembenahan besar-besaran di redaksi Kompas dilakukan. ID Card dirombak total. Orang-orang yang berhak masuk ruang cetak, diberi ID berwarna merah. Sedangkan hak menghentikan pencetakan atau mengganti isi yang sudah disahkan Pemred sebelum cetak, tetap ada di Jakob Oetama atau wakilnya (August Parengkuan dan Robby Sugiantoro).

OK lah, apa pun yang terjadi, saya dan JS tetap pahlawan pada waktu itu. Tetapi, "kepahlawanan" kami berdua hanya berumur kurang dari 3 bulan. Pada 12 Agustus 1991 sore, saat saya pulang dari liputan tenis, ada JS sedang mengetik di meja saya. Rupanya JS sedang mengetik teks foto untuk foto yang dibuatnya. Foto itu tentang kunjungan Miss Universe siang harinya.

"Ehhh In....siapa sih nama Menteri UPW ?" tanya JS sambil ketak-ketik di komputer saya.
Sambil ganti tshirt, saya menjawab sekadarnya, "Lasiah Soetanto. El a es i ye a ha Es o e te a en te o."

Padahal, saya lupa kalau saat itu Lasiah Soetanto sudah meninggal dunia dan digantikan Lasikin Murpratomo. Dannnnnnnn, JS tetap mengetik nama ituuuuuuu.... dannnnnnnnnn redaktur malam tidak melihat kesalahannya. Dannnnnnnnn... nama Lasiah itu pun naik cetak.....

Keesokan harinya, telepon di redaksi KOMPAS berdering sepanjang waktu. Ratusan orang membully Kompas. Kata mereka, Miss Universe ketemu Lasiah Soetanto, yang meliput pasti PK Ojong.

Demikianlah, saya dan JS lalu jadi pesakitan. Sebenarnya sih yang salah adalah JS karena saya secara resmi tidak terlibat. Tapi seluruh rekan kami di Kompas tetap menganggap duet Tomson/Tompson ini guilty....

Demikianlah persahabatan saya dan JS yang banyak diwarnai hat trik...Tapi ada satu yang lebih epik, yaitu peristiwa lensa 35 mm/1,4.

Suatu hari, JS menghadiahi saya lensa Nikkor 35mm/1,4 yang langka. Pesan JS pada saya, "Pakailah lensa ini. Ini keren banget, biar fotomu makin OK."

Tetapi waktu itu gaji saya masih "agak" kecil sementara keborosan hidup saya sudah tinggi. Suatu hari karena ingin membeli sebuah benda yang mahal, lensa 35 mm itu saya jual ke Anton Sanjoyo. Untuk sementara, masalah beres.

Tapiiii... beberapa tahun kemudian saat Anton butuh uang, dia ingin menjual lensa yang faktanya tak pernah dipakainya itu. Anton tentu tak akan menjualnya ke saya bukan? Dan, Anton terpikir untuk menjualnya ke JS. Apa yang terjadi???

Sore itu JS ngamukkkk sengamuk-ngamuknya pada saya.........dia jelas sangat mengenali lensa langka itu...

Komen Brigita di WA

Aku ingat sekali bagaimana reaksi Redaksi.... pada zaman itu masih ada yang disebut Rapat Besar Redaksi, diadakan di lantai  5 Gedung Gramedia yang lantas jadi Gedung Unit II KG. Sedikit mengenang,  rapat besar adalah rapat yang menurut saya merupakan rapat "besar"... "kehormatan" karena bisa dipastikan semua pucuk pimpinan redaksi hadir dan duduk berderet di depan....

Dan, wartawan-wartawan pun pulang cepat dari lapangan karena rapat diadakan pukul 15.00 tet. Kursi yang ditata bisa dikatakan 90 persen terisi. Rapat besar biasanya diadakan pada hari Jumat kalau tidak salah.

Jadi... sekitar dua hari setelah Rajiv Gandhi masuk Stop Press, Kompas satu-satunya koran yang memuat hari itu. Thanks God, belum ada media online. Berita Stop Press Arbain menjadi topik utama pembahasan. Tahun itu saya berada di Desk Internasional, tapi pastinya sudah mimpi di pulau kasur....

Pertanyaan Pak JO, "Mengapa tidak menghubungi Mas August sebagai penjaga gawang malam?" Rasanya waktu itu memang ARB (yang saat isengnya kumat suka mukul keras punggung saya sambil teriak... "wah kita sudah kenal selama .... isi sesuai tahun-tahun) mengatakan tidak tahu prosedurnya... Tetapi itu benar-benar peristiwa  epic banget!

Rasanya kami rekan-rekan wartawannya bangga dengan kesigapannya dan hidung beritanya yang tajam... Bravo duo In and Jul! Pastinya juga terima kasih pada para satpam yang berdinas malam itu dan rekan yang ngasih oleh-oleh video "pendidikan" itu....

***