Rasisme: dari Sejarah, Budaya, sampai Gerak Pikiran

Identitas sosial, seperti agama, ras, agama dan budaya, hanya tempelan sementara. Kita adalah mahluk hidup yang tinggal di alam semesta. Tak lebih, tak kurang.

Selasa, 9 Juni 2020 | 09:29 WIB
0
334
Rasisme: dari Sejarah, Budaya, sampai Gerak Pikiran
Rasisme (Foto: liputan6.com)

Rasisme adalah paham yang memisahkan manusia berdasarkan rasnya. Satu ras dianggap lebih unggul dari ras-ras lainnya. Ini lalu menjadi alasan bagi penjajahan dan perbudakan dari ras yang (merasa) lebih kuat kepada ras yang lebih lemah. Inilah cerita lama yang tak mau pudar dari sejarah manusia.

Rasisme dan Kolonialisme

Sebagai paham, rasisme memang berkembang bersama kolonialisme Eropa kepada seluruh dunia. Negara-negara Eropa berlomba untuk menyerang, merampok dan menghancurkan negara-negara lainnya di seluruh dunia. Untuk membenarkan hal itu, mereka merumuskan pandangan sesat, bahwa ras Eropa lebih tinggi daripada ras-ras lainnya.

Maka, penjajahan pun lalu dikemas sebagai pemberadaban, supaya orang-orang Asia, Afrika, Amerika dan Australia rela dijajah dan diperbudak untuk kekayaan bangsa-bangsa Eropa.

Karena kolonialisme yang terjadi secara luas, rasisme pun tersebar ke seluruh dunia. Bahkan, ia menjadi warisan untuk generasi berikutnya. Di berbagai belahan dunia, karena alasan perbedaan ras, ketidakadilan dan kekerasan terjadi. Bahkan, pembunuhan massal dan pembersihan etnis menjadi warna gelap dunia di abad 20 lalu.

Yang mengerikan, ilmu pengetahuan dan agama juga kerap memberikan dasar untuk rasisme ini. Kesimpulan penelitian ilmiah dipelintir untuk kepentingan penguasa yang rasis. Ajaran agama diperkosa untuk membenarkan penjajahan, perbudakan dan pembunuhan massal. Rasisme pun tidak lagi menjadi perkecualian, tetapi menjadi bagian erat dari banyak budaya di dunia.

Rasisme lalu juga menjadi kebijakan politik. Ras minoritas tak boleh menduduki jabatan tinggi dalam politik. Gerak gerik mereka dicurigai, dan lalu dibatasi. Rasisme telah menjadi banal. Ia tak dikenali sebagai kejahatan, melainkan sebagai hal lumrah di dalam hidup sehari-hari.

Sejak dalam Pikiran

Pikiran manusia tak bisa lepas dari budaya. Cara berpikir kita adalah cara berpikir masyarakat kita. Inilah yang disebut sebagai pengkondisian sosial. Rasisme pun lalu menjadi cara berpikir yang lumrah di kepala banyak orang.  

Ia lalu bergerak di dalam pikiran. Ketika melihat orang dari ras tertentu, pikiran rasis muncul. Ia tak muncul secara sadar. Ia terjadi secara alami, akibat dari pengkondisian sosial di dalam budaya suatu masyarakat.]

Beberapa kategori hubungan antar manusia kiranya bisa membantu. (Budi Hardiman, 2005) Kategori pertama adalah hubungan dengan orang-orang yang sama dengan kita. Mereka adalah keluarga atau kerabat yang dekat. Mereka memiliki identitas yang sama dengan kita. Kita bisa menyebut mereka sebagai “yang sama”.

Kategori kedua adalah mereka yang agak berbeda dengan kita. Mungkin saja, kita satu bangsa. Namun, agama ataupun ras kita berbeda. Mereka yang kita sebut sebagai “yang agak berbeda”.

Kategori ketiga adalah mereka yang sama sekali berbeda dari kita. Mungkin, mereka adalah penguasa politik di negara lain. Mungkin juga, mereka bintang film ternama. Yang pasti, mereka tak terjangkau di dalam hidup kita. Mereka bisa disebut sebagai “yang sama sekali berbeda”.

Rasisme tidak akan terjadi di kategori pertama dan ketiga. Namun, ia dengan mudah terjadi di kategori kedua. Mereka “yang agak berbeda” mengundang kecurigaan dan rasa takut. Mereka adalah orang asing, atau kelompok minoritas.

Ketika krisis terjadi, rasisme pun meledak menjadi konflik. Begitu banyak contoh terkait hal ini. Indonesia 1998 dan Amerika Serikat 2020 adalah contoh yang amat nyata. Krisis memicu bom waktu rasisme, dan berbuah menjadi konflik berdarah.

Melampaui Rasisme

Tiga hal kiranya penting diperhatikan untuk melampaui rasisme. Pertama, rasisme dimulai dari pikiran. Maka, penting untuk menyadari gerak pikiran, terutama ketika nuansa rasistik muncul. Kesadaran ini penting untuk menciptakan jeda, sehingga pikiran rasistik tidak berkembang, apalagi menjadi tindakan nyata.

Karena kekuatan budaya, pikiran rasis tak akan bisa dilenyapkan. Upaya melenyapkan rasisme di dalam pikiran adalah upaya yang sia-sia. Pikiran, apapun bentuknya, tak akan bisa dilenyapkan. Ia hanya bisa disadari, dipahami lalu dikelola dengan kesadaran.

Dua, tindakan nyata di dalam masyarakat juga amat diperlukan. Pendidikan dan kampanye anti rasisme harus terus dilakukan. Masyarakat sipil harus giat menyebarkan ide-ide anti rasisme. Kerja sama dengan pemerintah dan dunia bisnis kiranya juga bisa membantu.

Tiga, kedudukan pemimpin masyarakat haruslah dipegang oleh orang-orang yang berpikiran terbuka. Hanya dengan begitu, sistem politik dan ekonomi yang ada bisa melampaui rasisme. Orang-orang yang berpikir terbuka haruslah didorong dan didukung untuk menjadi pemimpin masyarakat. Di alam demokrasi, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan, walaupun membutuhkan upaya yang besar.

Pada akhirnya, rasisme adalah persoalan identitas. Jika kita melekat pada identitas sosial, maka kita akan mudah terjatuh ke dalam rasisme. Kita mengira kelompok ras ataupun agama kita sebagai yang terbaik. Tinggal selangkah lagi, cara berpikir seperti itu terjatuh ke dalam kebencian dan konflik.

Maka, identitas haruslah seluas semesta itu sendiri. Kita semua lahir sebagai mahluk semesta, dan akan kembali kepadanya. Identitas sosial, seperti agama, ras, agama dan budaya, hanya tempelan sementara. Kita adalah mahluk hidup yang tinggal di alam semesta. Tak lebih, tak kurang.

Ini yang tak pernah boleh dilupakan.  

***