Kami membaca buku-buku itu di teras penginapan kami yang berupa tenda seraya sesekali memandang danau yang terbentang di hadapan kami.
“Lebih baik berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku,” demikian bunyi pepatah Islandia. Saya menemukan pepatah itu di buku “The Geography of Bliss” karangan Eric Weiner. Eric dalam buku ini menjelajahi negara-negara yang penduduknya hidup bahagia menurut survei, seperti Islandia, Swiss, Belanda, Qatar, Britania Raya. Sebelumnya, saya membaca buku Eric Weiner yang berjudul “The Geography of Faith” yang mengisahkan agama-agama di berbagai belahan dunia.
Saya sendiri menafsirkan pepatah Islandia itu bahwa bila bepergian janganlah lupa membawa buku. Sebelum membaca pepatah itu, saya dari dulu senantiasa membawa buku bila bepergian. Di perjalanan biasanya kita mengisi waktu dengan read, sleep, eat, baca, tidur, makan, bukan makan, berdoa, bercinta, serupa yang dilakukan Julia Robert di film “Eat, Pray, Love.”
Saya punya dua pengalaman membaca dalam perjalanan yang tak terlupakan. Pertama, ketika saya membaca buku “Pergolakan Pemikiran Islam” karangan Ahmad Wahib saat dalam perjalanan dua hari dua malam menumpang bus dari Medan ke Jakarta pada 1990-an. Buku yang terbit pertama kali pada 1981 itu merupakan catatan harian Ahmad Wahib tentang Islam.
Saya mendapat buku itu dari seorang teman sebagai hasil barter dengan buku “Slilit Sang Kiai” Emha Ainun Najib yang saya miliki. Baik “Pergolakan Pemikiran Islam” maupun "Slilit Sang Kiai” termasuk ke dalam buku “45 Buku yang Mempengaruhi Indonesia” yang diterbitkan Media Indonesia pada 2015.
Pemikiran Wahib yang dikenal sebagai aktivis HMI itu moderat cenderung liberal pada masanya. Wahib, misalnya, menulis: “Ada baiknya kita ingat bahwa mengucapkan assalamualaikum, tidak terus berarti Islam; mengaji yang keras hingga didengar orang banyak tidak terus berarti Islam; menulis dengan huruf Arab tidak terus berarti Islam; mengobral ayat-ayat Al-Qur’an tidak terus berarti Islam; pidato pakai shalawat tidak terus berarti Islam.
Demikian pula menyerang gadis pakai kerudung tidak terus berarti modern; meremehkan pentingnya sholat tidak terus berarti modern; membela atheisme tidak terus berarti modern; menolak formalitas tidak terus berarti modern; mengeritik umat Islam tidak terus berarti modern; membela oang-orang berdansa tidak terus lalu berarti modern.”
Kedua, ketika saya membaca “Catatan Pinggir 2” karya Goenawan Mohammad dalam perjalanan dua hari dua malam menumpang kapal Pelni dari Jakarta ke Medan, juga pada 1990-an.
Buku itu, kita tahu, merupakan kumpulan "Catatan Pinggir” Goenawan di Majalah Tempo. Saya mendapatkan buku itu dari abang saya. Ketika bekerja di Republika, saya membawanya dan meletakkannya di meja kerja saya di sana. Buku itu raib dari tempatnya. "Catatan Pinggir” juga termasuk ke dalam buku “45 Buku yang Mempengaruhi Indonesia.”
Meski selalu membawa buku, saya di bandara selalu mampir ke toko buku untuk melihat-lihat siapa tahu ada buku atau majalah yang menarik dibeli untuk menemani perjalanan. Saya bakal ‘blingsatan’ bila ketika bepergian terlupa membawa buku atau buku yang saya baca habis. Ketika bahan bacaan saya habis ketika berhaji pada 2018, misalnya, saya rela bersusah payah mencari buku berbahasa Inggris di Makah, Arab Saudi.
Liburan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 ini saya bersama keluarga berlibur ke Bandung Selatan, Jawa Barat. Saya membawa buku “The Geography of Bliss,” “Anti Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999” karangan Jemma Purdey, serta “Mass Media and Society” yang dieditori James Curram & Michael Gurevitch. Dua buku terakhir saya baca untuk keperluan disertasi saya.
Istri saya membawa buku “Home Sweet Anywhere” karangan Lynne Martin yang mengisahkan suami-istri yang menjual rumah mereka dan uang hasil penjualan digunakan untuk berpetualang ke berbagai negara. Kami membaca buku-buku itu di teras penginapan kami yang berupa tenda seraya sesekali memandang danau yang terbentang di hadapan kami.
Selamat berlibur Natal dan Tahun Baru. Jangan lupa bawa dan baca buku.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews