Jilbab

Sejauh yang saya baca dari ketiga tulisan, tidak ada pernyataan jilbab itu wajib. Oleh karena itu, saya berpendapat jilbab itu baik, tetapi tidak wajib.

Sabtu, 1 Februari 2020 | 20:59 WIB
0
740
Jilbab
Ilustrasi Jilbab (Foto: faktualnews.co)

Saya punya dua buku yang membahas jilbab. Pertama, “Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan” yang ditulis Fadwa El Guindi, professor antropologi di Universitas Southern California, AS. Kedua, “Kritik atas Jilbab” karya Muhammad Sa’id Al-Asymawi, profesor yang menjabat mufti di Mesir.

Buku pertama saya beli di penjual buku bekas yang membuka dagangannya di satu pasar kaget, pasar yang cuma ada di hari Minggu, di dekat tepat tinggal saya di Depok, Jabar, pada 2008. Buku kedua, seingat saya, pemberian seorang teman kuliah di S2 Sosiologi UI yang juga aktivis Jaringan Islam Liberal. Buku kedua yang saya peroleh pada 2002 atau 2003 ini diterbitkan JIL.

Ketika perdebatan tentang jilbab mengemuka kembali beberapa waktu belakangan, saya kembali membuka-buka kedua buku itu. Perdebatan berawal dari pernyataan Ibu Shinta Nuriyah, istri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, yang mengatakan jilbab tidak wajib.

Felix Siauw menyambut pernyataan Ibu Shinta Nuriyah dengan kicauan di Twitter: “Nggak mau berhijab ya silakan aja, tapi ngomong hijab itu nggak wajib bagi muslimah, itu maksa banget, udah maksiat, maksa lagi.”

Perdebatan soal jilbab wajib atau tidak bagi muslimah sesungguhnya bukan barang baru. Pada 1990-an, cendekiawan muslim Nurcholish Madjid sudah menyatakan serupa yang dinyatakan Ibu Shinta Nuriyah.

Saya dan teman-teman di HMI ketika itu sering mendiskusikan jilbab berdasarkan QS Al-Ahzab 59 dan An-Nur 31. Diskusi atau perdebatan ketika itu berlangsung enteng-enteng saja, tidak sampai ada yang menuduh mereka yang menyatakan jilbab tidak wajib sebagai maksiat atau kafir atau sebaliknya.

Kembali ke kedua buku tentang jilbab, ada pernyataan menarik di sampul buku 'Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan': “Buku ini ditujukan bagi mereka yang memutuskan berjilbab, mereka yang menolak melepas jilbab, mereka yang menolak jilbab, mereka yang secara tradisional selalu berjilbab, dan mereka yang sama sekali tidak pernah berjilbab.”

Buku ini memang tidak berpretensi membela atau menyerang praktik berjilbab. Buku ini lebih merupakan upaya menghadirkan pemahaman lebih proporsional dan komprehensif tentang pola berbusana jilbab.

Berdasarkan penelusuran historis-antropologis, El Guindi, menemukan fakta bahwa jilbab dipakai kaum perempuan di Persia dan Mesir.

Itu artinya jilbab dikenakan kaum perempuan jauh sebelum dikenakan kaum perempuan Yahudi, Kristen, Islam. Itu artinya pula bukan cuma muslimah yang mengenakan jilbab, melainkan juga perempuan Yahudi dan Kristen. Film “Sister Act” yang dibintangi Whoopi Goldberg mempelihatkan para biarawati Katolik mengenakan jilbab.

Lewat penelitian panjang, El Guindi mengungkap jilbab berfungsi sebagai bahasa penyampai pesan sosial budaya. Bagi penganut Protestan, jilbab simbol bermuatan ideologis. Di kalangan umat Katolik, jilbab menandai pandangan kewanitaan dan kesalehan. Pada masyarakat Islam, jilbab bisa menjadi alat resistensi atau perlawanan. Jilbab yang dikenakan perempuan Aljazair, misalnya, merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah Prancis.

Al-Asymawi dalam buku “Kritik atas Jilbab” mengatakan jilbab merupakan pakaian yang tidak terlepas dari tradisi dan kebiasaan, bukan perkara kewajiban dan ibadah. Menurut Al-Asymawi, yang diinginkan secara syariat dan agama hanyalah bagaimana supaya perempuan, juga laki-laki, berlaku sopan dan menjaga kehormatan.

Di satu artikel berjudul “Antropologi Jilbab” yang pernah saya baca di Jurnal Ulumul Qur’an, sebagai pakaian, jilbab tidak terlepas dari klimat, iklim. Karena Yahudi, Kristen, dan Islam turun di daerah dengan klimat yang sama, tradisi mengenakan jilbab ada dalam ketiga agama.

Bahkan, kaum perempuan di masa sebelum agama-agama, yakni di Persia dan Mesir, juga mengenakan jilbab karena mereka hidup di wilayah berklimat serupa. Dalam konteks pakaian laki-laki, jubah yang dikenakan Pak Haji serupa dengan yang dikenakan Rabi dan Paus. Topi Pak Haji, topi Paus, dan topi Yahudi yang disebut kippa, modelnya mirip.

Buku El Guindi hendak mengatakan bahwa jilbab itu baik sebagai ideologi, kesalehan perempuan, maupun perlawanan. Buku Al-Asymawi hendak mengatakan jilbab itu baik sebagai tradisi, kebiasaan, dan kesopanan.

Artikel di Ulumul Qur’an ingin mengatakan bahwa jilbab itu baik karena merupakan upaya manusia untuk menyesuaikan diri dengan klimat. Sejauh yang saya baca dari ketiga tulisan, tidak ada pernyataan jilbab itu  wajib. Oleh karena itu, saya berpendapat jilbab itu baik, tetapi tidak wajib.

***