Larangan Mudik

Barangkali itulah masalah yang harus diatasi pemerintah agar larangan mudik dapat efektif berjalan, dan tidak mengorbankan rakyat. Tanpa itu, nonsense!

Jumat, 24 April 2020 | 12:11 WIB
0
394
Larangan Mudik
Mudik (Foto: penamerdeka.com)

Buat yang malas baca tulisan ini secara lengkap, ini intisarinya:

1. Larangan mudik harusnya diterapkan secara konsisten dan menyeluruh demi berkurangnya penyebaran Covid-19.

2. Namun, saya juga ingin mendorong agar larangan mudik itu jangan sampai mengorbankan rakyat (kelompok kedua dlm tulisan saya) karena mereka hidupnya pas-pasan atau bahkan terpuruk karena PSBB. Bila mereka harus tetap tinggal di kota (Jabodetabek), jangan sampai tak ada bantuan logistik untuk kehidupan mereka. Itu saja inti ulasan saya.

Di masa sulit, kreativitas harus ditumbuhkan. Perdebatan mudik, harus berujung pada solusi. Bagi saya, kita tak perlu berdebat berkepanjangan membahas perbedaan istilah "mudik" atau "pulang kampung."

Inti persoalan yang harus diingat adalah bahwa banyaknya orang yang (akan) berbondong-bondong pulang kampung dari "wilayah merah" (pusat penyebaran Covid-19), sangat berpotensi sebagai pendorong meluasnya penyebaran virus Covid-19.

Mereka dapat menjadi agen penyebar virus yang membahayakan keluarga mereka sendiri, para tetangga, atau bahkan orang-orang sekampung halaman mereka. Bayangkan, bila pemudik asal Jabodetabek yang tahun lalu diperkirakan berjumlah 14,9 juta menyerbu ke desa-desa asal mereka, berapa jumlah penularan yang akan terjadi?

Dalam kaitan inilah, larangan mudik menjadi masuk akal. Namun yang perlu dilihat lebih teliti, orang-orang yang bermigrasi pulang kampung (returned migrants) setidaknya bisa dibedakan ke dalam dua kelompok besar:

Kelompok Pertama, adalah orang-orang yang sebenarnya sudah berdomisili di kota (permanent resident) tapi pulang ke kampung halaman asal mereka karena ingin berlebaran bersama kerabat atau keluarga besarnya. Istri dan anak-anaknya yang sudah menjadi "orang kota" biasanya juga diajak "pulang". Ini barangkali yang disebut Pak Jokowi sebagai pemudik saat mereka berbondong-bondong pulang kampung karena ingin berlebaran dengan keluarga besar mereka.

Kelompok Kedua, adalah orang-orang yang berada di kota (stay) untuk jangka waktu tertentu, dan keberadaan mereka di kota tidak atau belum menetap. Mereka berada di kota untuk bekerja, bersekolah, atau aktivitas lain. Banyak dari mereka tinggal di rumah kontrakan. Sementara rumah tetap dan keluarga mereka ada di desa. Banyak di antara mereka bekerja sebagai buruh bangunan, penggali parit, supir taxi, atau pedagang kaki lima.

Di saat diberlakukannya PSBB sejak 9 April 2020 di Jakarta, banyak dari mereka bergegas "pulang kampung" karena tak ada lagi pekerjaan yang dapat menopang hidup mereka di kota. Namun, dalam situasi normal, mereka biasanya tetap bekerja di kota selama bulan ramadhan, dan baru pulang kampung menjelang lebaran.

Jadi istilah mudik, seringkali digunakan bila terkait dengan "pulang kampung karena alasan berlebaran". Mereka yang kembali ke kampung tapi bukan karena alasan berlebaran dianggap sebagai "pulang kampung" biasa.

Namun bagaimana dengan orang yang pulang kampung karena alasan keduanya?

Secara teknis di lapangan, sulit sekali membedakan mana "kelompok pemudik," mana "kelompok pulang kampung." Oleh karena itu, sudah saja tak perlu berdebat soal ini. Yang jelas, demi memutus mata-rantai penyebaran Covid-19, larangan mudik harus diberlakukan secara utuh. Tak perlu dibedakan.

Hanya saja, ada hal yang harus kita perhatikan bersama. Bila larangan mudik diberlakukan, dampak terhadap kelompok pertama dibanding kedua, jelas berbeda.

Bagi kelompok pertama, dampak larangan pulang kampung di saat lebaran (mudik), tak akan berdampak apa-apa terhadap kehidupan mereka karena mereka memang sudah menetap di kota. Namun, bagi kelompok kedua, jelas akan berdampak.

Bayangkan, para pekerja harian, pedagang asongan, buruh bangunan yang umumnya tinggal di rumah-rumah petak kontrakan, tentu akan kesulitan membayar kontrakan dan biaya hidup mereka. Bagaimana mereka dapat menyambung hidup di saat mereka tak memiliki pekerjaan karena PSBB ini.

Dengan demikian, bila pemerintah hendak menerapkan larangan mudik secara menyeluruh dan konsisten demi tidak tersebarnya Covid-19, kelompok kedua ini harus mendapat bantuan segera. Cepat buat pemetaan, dan gelontorkan sembako dan sedikit uang untuk pegangan. Syukur-syukur juga dibantu keluarganya yang ada di desa. Tanpa itu, banyak di antara mereka yang akan terancam kelaparan.

Bila kini pemerintah tak terlihat sigap akan memberi bantuan, pasti mereka akan cari jalan sekuat tenaga untuk bisa pulang kampung demi kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Betapapun sulit hidup di kampung, di sana ada orang tua, ada mertua, ada kerabat yang bisa menjadi tempat bersandar mereka (social support) bila mereka mengalami krisis pangan.

Barangkali itulah masalah yang harus diatasi pemerintah agar larangan mudik dapat efektif berjalan, dan tidak mengorbankan rakyat. Tanpa itu, nonsense!

#iPras2020

***