Kasus Yudian, Perlunya Wartawan Memahami Konteks

Boleh jadi Kepala "BPIP Rasa Rektor" yang biasa bermain di tataran ilmiah masih melekat dalam diri Yudian dan tanpa disadarinya terbawa-bawa di ruang publik.

Kamis, 13 Februari 2020 | 08:30 WIB
0
2417
Kasus Yudian, Perlunya Wartawan Memahami Konteks
Yudian Wahyudi (Foto: vivanews.com)

Dalam bahasa Inggris, text bermakna apa yang tersurat, sedangkan context makna yang tersirat. Penting mana text atau context? Dua-duanya penting. Bukan untuk wartawan saja, tetapi untuk semua orang. Hanya saja karena wartawan messenger atau penyampai pesan, pesan itu haruslah benar. Tidak sekadar menulis tekstual, melainkan juga kontekstual. Tidak sekadar menyampaikan teks, tetapi memberi konteks.

Kasus terbaru pernyataan Kepala BPIP tentang "Pancasila dan Agama" menjadi contoh menarik. Akibatnya bisa sangat fatal jika hanya menyampaikan teks belaka. Maknanya bisa bergeser sangat jauh secara kontekstual. Pernyataan Profesor Yudian Wahyudi, kepala BPIP yang baru dilantik Presiden Jokowi itu, langsung disambut sekaligus disambit berbagai khalayak.

Bagi politikus yang berseberangan dengan pemerintah dalam berbagai kebijakan apapun, langsung menyambitnya, tidak lupa menghujatnya meminta Presiden mencopot Yudian. Bahkan mereka yang menamakan diri Ustad maupun Romo, tidak lupa menghujat pernyataan Yudian yang di sejumlah media pernyataannya digunakan sebagai judul bombastis, yaitu "Agama adalah musuh terbesar Pancasila".

Bayangkan, jika hanya dibaca teksnya saja tanpa memahami konteksnya berupa judul berita, jelaslah orang mengira Yudian sedang menistakan agama, enam agama yang diakui konstitusi, khususnya Islam karena ada pernyataan "radikalisme" di dalamnya, di mana kata itu identik dengan muslim. Tetapi jika memahami konteksnya, maka judul berita "Agama adalah musuh terbesar Pancasila",  tidak akan menjadi masalah karena tidak dipahami dipahami secara sepotong-sepotong.

Tetapi bayangkan bagi orang yang malas membaca dan hanya terpuaskan membaca judul berita semacam itu, sudah pasti langsung menghujatnya tanpa perlu repot-repot memahami konteksnya. Apalagi, kasus pernyataan Yudian yang meruyak ke permukaan ini bukan hasil "door stop" wartawan alias wawancara sambil mencegat narasumber, melainkan wawancara dalam sebuah video berita. Itu pun orang males mengikuti videonya, cukup membaca judul beritanya yang bombastis dan "misleading".

Sebaiknya, amati dulu pernyataan Yudian secara utuh sebagai berikut:

"Yang saya maksud adalah bahwa Pancasila sebagai konsensus tertinggi bangsa Indonesia harus kita jaga sebaik mungkin. Pancasila itu agamis karena ke-5 sila Pancasila dapat ditemukan dengan mudah dalam Kitab Suci ke enam agama yang diakui secara konstitusional oleh NKRI. Namun, pada kenyataannya, Pancasila sering dihadap-hadapkan dengan agama oleh orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman sempit dan ekstrim, padahal mereka itu minoritas (yang mengklaim mayoritas). Dalam konteks inilah, 'agama' dapat menjadi musuh terbesar karena mayoritas, bahkan setiap orang, beragama, padahal Pancasila dan Agama tidak bertentangan, bahkan saling mendukung."

Namun demikian, jangan juga serta-merta menyalahkan wartawan yang merekam pernyataan Yudian. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ada "slip of tongue" saat memberi pernyataan tersebut tanpa penjelasan yang cukup, tanpa memberi konteks yang diperlukan untuk lebih memahami pernyataan tekstualnya.

Harus diingat, Yudian adalah seorang rektor yang boleh jadi pernyataan ilmiahnya yang biasa ia sampaikan di ruang-ruang akademik, tidak akan mengandung sekaligus mengundang polemik. Civitas academia bisa langsung bertanya secara ilmiah mengenai apa yang dinyatakannya, tanpa takut kena sensor.

Boleh jadi "Kepala BPIP Rasa Rektor" yang biasa bermain di tataran ilmiah masih belum bisa melepaskan diri dari pikiran/pernyataan akademisnya, dalam arti masih melekat dalam diri Yudian dan tanpa disadarinya terbawa-bawa di ruang publik di mana sejumlah wartawan sudah menunggu dan merekam pernyataannya.

Sering saya ibaratkan wartawan itu bekerja seperti "burung nasar" (vulture), menunggu orang tidak berdaya  yang sebentar lagi akan menjadi "bangkai". 

Mungkin pernyataan terkstual saya ini juga terlalu ekstrem tanpa memahami konteksnya, bahwa intinya wartawan akan melahap setiap pernyataan narasumber yang diwawancarainya khususnya yang berbau kontroversi, aneh/janggal (weird), bombastis dan pakem "good news is a bad news". Saya bisa mempertanggungjawabkan pernyataan saya karena pernah berada di dunia itu selama lebih dari 20 tahun.

Ada banyak adagium di sana terkait kepentingan media masing-masing, bisa jadi karena punya nilai berita (news value) tinggi, karena akan mengundang klik yang masif (klikbait), atau secara politis media (dan wartawan di dalamnya) oposan terhadap narasumber yang kebetulan berasal dari pemerintah.

Jadi tujuan menggali berita dari narasumber dan menyampaikannya kepada publik pembaca sudah melenceng, yaitu mencari atau mencari-cari kesalahan narasumber. Ya kenanya seperti "burung nasar" menunggu "bangkai" itu tadi.

***