Penurunan Kualitas dan Etika Media Online

Jangankan untuk pelatihan reporter, gaji reporter pun ditekan habis. Gaji reporter baru (termasuk reporter TV) dalam 2 tahun pertama kerja, tidak lebih dari UMR.

Kamis, 5 Maret 2020 | 06:18 WIB
0
374
Penurunan Kualitas dan Etika Media Online
Media online )Foto: leifgarrettfans.com)

Terkait banyaknya media, khususnya online, yang menulis berita dengan salah atau tidak pantas. Secara umum, ada penurunan kualitas, etika, akurasi, dan kepatutan pada berita yang ditampilkan media massa. Beberapa teman bertanya, “Apa sebabnya?” Tepatnya saya gak tahu.

Tapi gini, pada zaman Orba media dalam pengawasan ketat Pemerintah, risiko akibat pelanggaran atas peraturan kemediamassaan bisa berarti bredel. Secara teknis, waktu itu pekerjaan jurnalistik lebih sulit dibanding sekarang, sarana telekomunikasi tidak seperti sekarang.

Karena itu manajemen media menganggap penting untuk mendapatkan SDM yang bagus melalui rekrutmen yang prosesnya tidak sederhana. Itu penting untuk meminimalisir kemungkinan salah tulis dsb.

Di sisi lain, waktu itu ‘kue iklan’ untuk media massa masih cukup besar. Perusahaan media punya budget untuk mengadakan pelatihan bagi reporter, sebelum diterjunkan ke lapangan. Karena pendapatan iklan media relatif masih besar, gaji reporter baru di zaman Orba jauh di atas UMR.

Tambahan, di zaman Orba, seseorang bisa jadi wartawan harus melalui screening di Deppen, harus bersih lingkungan, minimal harus sudah mengikuti penataran P4 100 jam. Sangat ketat. Dulu, untuk menjadi seorang jurnalis tidak semudah sekarang.

Pasca reformasi, semua restriksi dan peraturan yang 'memberatkan' media massa dihapus. Pengawasan atas media nyaris tak ada, tidak ada lagi yang ditakutkan. Setiap orang bebas mendirikan media, bahkan dengan kemajuan IT setiap orang bisa jadi lembaga media. Jumlah media tumbuh gila-gilaan.

Satu lagi, media internasional (termasuk media sosial) masuk ke Indonesia dan mengambil porsi sangat besar dari kue iklan nasional. Pendapatan media turun drastis. Jangankan untuk pelatihan reporter, gaji reporter pun ditekan habis. Gaji reporter baru (termasuk reporter TV) dalam 2 tahun pertama kerja, tidak lebih dari UMR. Dengan tawaran begitu, tidak mungkin media mendapatkan SDM grade A atau B. Itu pasti.

Dari gambaran ini sudah bisa ditarik hipotesis, reporter yang dihasilkan dari proses rekrutmen alakadarnya, pada tingkatan mana kapasitas, kompetensi dan integritas yang dihasilkannya. SDM yang bagus tak akan mungkin memilih jadi jurnalis, kecuali gila atau khilaf. Pasti mereka memilih kerja di perusahaan asing, di bidang migas, keuangan, IT, atau jadi pebisnis. Jadi, kenapa akhir-akhir ini integritas banyak jurnalis merosot? Kurang lebih itu jawabannya.

***