Trauma, Derita dan Kebebasan

Luka lama, atau trauma, tak perlu menjadi bekas yang menciptakan derita. Ia bisa menjadi guru kehidupan yang berharga, asalkan dikelola dengan bijaksana.

Selasa, 8 Oktober 2019 | 07:35 WIB
0
293
Trauma, Derita dan Kebebasan
Ilustrasi trauma (Foto: rumahfilsafat.com)

Setiap orang pasti punya pengalaman jelek di masa lalunya. Bentuknya beragam, mulai dari hal-hal kecil, seperti bertengkar dengan teman, sampai dengan hal-hal yang amat menyakitkan, seperti menjadi korban kekerasan seksual. Peristiwa itu mungkin sudah lama berlalu. Namun, bekasnya tetap terasa menyakitkan di saat ini.

Hal ini juga diteliti di dalam European Journal of Psychotraumatology. Data yang terkumpul menunjukkan, bahwa lebih dari 1,5 milyar orang mengalami perang dan konflik besar dari 1989 sampai 2015. 350 juta orang diantaranya mengalami trauma dan depresi berat. Mayoritas diantaranya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melampaui trauma dan depresi yang mereka alami.

Data tersebut hanya meliputi korban perang semata. Sampai saat ini, belum ada data yang dikumpulkan tentang penderita trauma yang lebih luas. Namun kiranya bisa dibuat kesimpulan yang masuk akal, bahwa jumlahnya jauh lebih banyak dari 350 juta orang di tingkat global. Luka lama yang masih membekas, yang disebut juga sebagai trauma, menjadi sumber penderitaan hidup bagi banyak orang.

Dampak Trauma

Ada banyak penelitian soal dampak trauma bagi hidup manusia. Lima hal kiranya bisa dijabarkan.

Pertama, trauma adalah bayang-bayang keseharian. Ia menempel pada diri seseorang, seperti bayangannya sendiri. Tanpa upaya yang memadai, trauma akan terus menempel, dan membuat hidup terasa berat.

Dua, bayang-bayang ini membuat orang tak mampu melihat dunia apa adanya. Ia selalu menambahkan atau mengurangi sesuatu dari apa yang ada. Ia hidup dalam mimpi terus menerus. Jika ini terus terjadi, orang bisa sungguh terpisah dari kenyataan, dan menjadi “gila”.

Tiga, hidup dalam mimpi berarti hidup dalam penderitaan. Orang menjadi begitu rapuh di hadapan perubahan kehidupan. Ketika keinginannya tak terpenuhi, derita kuat mencekam dirinya. Begitu banyak orang hidup dalam pola ini di dalam kesehariannya.

Baca Juga: Menyisati Trauma dan Kebencian

Empat, derita trauma juga muncul di dalam kesulitan mengampuni. Orang menyimpan kemarahan dan dendam bertahun-tahun, walaupun maaf sudah dipertukarkan. Orang juga tak mampu untuk melampaui kekecewaan yang ia alami. Hidupnya dipenuhi sampah masa lalu yang sebenarnya ia pilih sendiri.

Lima, semua ini akan membawa ketidakseimbangan di dalam hidup. Pengaruhnya terasa ke tubuh fisik. Berbagai penyakit kronis, yakni kelainan organ, akan muncul, mulai dari jantung, ginjal, diabetes dan sebagainya. Daya tahan tubuh pun akan melemah, sehingga orang akan mudah terserang infeksi bakteri ataupun virus.

Melampaui Luka Lama

Ada tujuh hal yang kiranya perlu untuk dipahami untuk mengelola trauma. Pertama, sumber utama semua penderitaan adalah pikiran, yakni pikiran yang terus bergerak dengan analisis. Pikiran juga kerap kembali ke masa lalu, atau membayangkan masa depan. Tanpa pemahaman yang jelas, orang bisa mengira, bahwa pikirannya nyata, dan terjebak dalam derita.

Dua, emosi sebenarnya adalah sebentuk pikiran. Namun, ia begitu kuat, sehingga terasa sampai ke badan. Bisa dikatakan, bahwa emosi adalah bentuk pikiran yang berbumbu pedas. Emosi mendorong orang untuk melakukan sesuatu, entah marah, sedih dan sebagainya.

Tiga, yang perlu disadari adalah, bahwa pikiran maupun emosi bukanlah diri sejati kita sebagai manusia. Keduanya merupakan cara kita bereaksi terhadap kehidupan. Ia dibentuk oleh pola asuh dari orang tua maupun lingkungan sekitar. Ia bisa diubah dengan upaya yang tepat.

Empat, dengan menyadari ini, orang akan menemukan ruang antara dirinya dan pikiran maupun emosinya. Ruang inilah ruang kebebasan. Intinya sederhana, jangan menganggap terlalu serius apapun yang muncul di dalam pikiran. Anggaplah pikiran-pikiran yang muncul sebagai hiburan yang seringkali menyeramkan, tetapi juga jenaka.

Lima, jauh lebih baik, jika kita tidak menyentuh pikiran ataupun emosi yang muncul. Biarkan semua itu datang dan pergi, tanpa campur tangan kita. Anggap saja pikiran dan emosi seperti motor atau mobil yang berlalu lalang di depan kita. Jika ini dilakukan, jarak antara diri kita dan pikiran serta emosi yang ada akan semakin besar.

Enam, ini semua dilakukan dari saat ke saat. Jika gagal, maka ada saat berikutnya untuk mencoba lagi. Lakukan terus, dan jangan berhenti, hanya karena satu dua kegagalan. Seorang Zen master asal Korea pernah berkata, coba terus, sampai seribu tahun lamanya.

Tujuh, ada saatnya, ketika pikiran dan emosi mengucur masuk begitu deras. Inilah saatnya untuk kembali ke saat ini. Panca indera bisa digunakan. Kita bisa mendengar, merasakan sensasi kulit dan badan, ataupun sekedar bernafas, supaya bisa kembali ke saat ini. Pada dasarnya inilah yang disebut sebagai meditasi.

Luka lama, atau trauma, tak perlu menjadi bekas yang menciptakan derita. Ia bisa menjadi guru kehidupan yang berharga, asalkan dikelola dengan bijaksana. Kita bisa banyak belajar dari berbagai peristiwa yang terjadi, terutama peristiwa yang menyakitkan. Setelah trauma dikelola, kehidupan yang sebenarnya pun bisa kembali tampil ke depan. Ia tidak hanya penuh kedamaian, tetapi juga penuh kebebasan untuk mewujudkan perubahan.

***