Debat Cawapres dan Tantangan Reformasi Pendidikan

Minggu, 17 Maret 2019 | 15:53 WIB
0
438
Debat Cawapres dan Tantangan Reformasi Pendidikan
Gambar: news.detik.com

Nanti malam pukul 20.00 WIB, berlokasi di Hotel Sultan Jakarta, dua calon wakil presiden yaitu Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno akan mengikuti kegiatan debat, di mana salah satu topik pembahasan yakni terkait pendidikan.

Semua orang tahu bahwa kedua capres adalah orang-orang berpendidikan, karena memang mereka memiliki gelar pendidikan, Ma'ruf Amin dengan label profesor dan Sandiaga dengan gelar master. Semoga mereka tampil menawan dan maksimal pada saat debat.

Bicara tentang pendidikan, tahukah kita apa itu pendidikan?

Ada banyak teori tentang pengertian pendidikan, baik pandangan yang disampaikan oleh para ahli maupun berdasarkan definisi tertentu. Namun menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan artikan sebagai:

"Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."

Melihat pengertian di atas, kiranya pendidikan tidak boleh dipandang hanya menjadi urusan satu pihak, dalam hal ini misalnya pemerintah. Pendidikan sejatinya adalah tanggungjawab seluruh pihak, baik keluarga, lingkungan, masyarakat serta negara. Sehingga pendidikan pun dikategorikan menjadi tiga jalur antara lain informal, non-formal, dan formal.

Jalur pendidikan informal dapat diperoleh dari keluarga dan lingkungan yang berbentuk bimbingan, arahan, nasihat, dan sebagainya oleh orang tua atau pun orang-orang yang lebih dewasa.

Untuk jalur pendidikan non-formal bisa didapatkan dari lembaga kursus, kegiatan pelatihan, organisasi, atau pusat kegiatan belajar lain yang ada di masyarakat.

Sedangkan jalur pendidikan formal dapat ditempuh melalui sekolah. Pendidikan formal di sekolah dimulai dari jenjang dasar, menengah dan tinggi. Pengelolaan pendidikan formal dilakukan kolaboratif antara pemerintah dan lembaga swasta.

Kita fokus pada lembaga pendidikan formal yang menjadi tanggungjawab pemerintah atau negara, karena memang yang akan diperdebatkan oleh kedua cawapres adalah peranan dan kontribusi mereka ke depan dalam bidang pendidikan jika kelak terpilih menjadi pemimpin baru di negeri ini.

Betul bahwa pendidikan kita dari waktu ke waktu menuju ke kondisi semakin baik, walaupun perubahannya tidak begitu drastis. Perhatian pemerintah dalam meningkatkan sektor pendidikan juga patut diapresiasi karena anggaran negara yang dikhususkan untuk itu terbilang cukup besar, 20 persen dari APBN.

Lalu bagaimana aktualisasi dari perhatian pemerintah dan sokongan anggaran memadai, apakah terwujud nyata dan tepat sasaran?

Tentu ada pihak yang menyebut sudah, sedangkan sebagian lagi lainnya pasti mengatakan belum atau bahkan tidak sama sekali. Biarkan pendapat-pendapat seperti itu berkembang dan dirasakan sendiri oleh mereka yang merasa punya kepentingan. Penilaian subjektif dan objektif memang kadang sulit dibedakan. Namun yang jelas, ikhtiar baiklah yang mesti dikedepankan.

Sebelum masuk ke persoalan yang lebih luas, sejauh mana kontribusi pendidikan dalam memberangus masalah buta huruf di Indonesia? Mengapa hal yang dianggap sepele ini penting dipersoalkan?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), penduduk Indonesia yang sudah melek huruf mencapai 97,93%, sedangkan yang masih belum sekitar 2,07%. Artinya dengan rentang usia yang ditetapkan yakni berkisar 15-59 tahun, ada sebanyak 3.387.035 jiwa lagi penduduk Indonesia yang berada pada kondisi buta huruf.

Walaupun persentase angka buta huruf tergolong kecil, namun kiranya perlu diberantas terus-menerus. Belum lagi bahwa pertambahan jumlah penduduk bisa saja menyalip pertumbuhan upaya-upaya yang saat ini sedang dilakukan, yang jika tidak diantisipasi maksimal akan menambah persentase angka buta huruf ke depan.

Patut diingat bahwa persoalan pendidikan bukan hanya masalah peningkatan angka melek huruf masyarakat, namun bagaimana pula kemampuan mereka dalam memaknai huruf, kata dan kalimat secara tepat. Kegiatan literasi adalah salah satu langkah sederhana.

Masyarakat difasilitasi agar tidak sebatas bisa membaca, tetapi juga mampu memaknai bacaan untuk dimanfaatkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Di samping persoalan buta huruf yang masih tersisa, apa lagi persoalan lain yang menjadi perhatian seluruh pihak terkait pendidikan?

Jika diurai panjang lebar tentu sangat banyak. Persoalan-persoalan yang harus dijawab dan butuh waktu lama. Beberapa uraian saya berikut barangkali mewakili di antaranya saja, yakni:

Pertama, Rendahnya Mutu Pendidikan.

Di atas sudah dijabarkan bahwa pendidikan sebaiknya tidak boleh dianggap selesai hanya dengan menekan angka buta huruf. Jika seluruh masyarakat sudah bisa membaca maka urusan pendidikan final. Tidak sesederhana itu. 

Undang-undang mengamanatkan bahwa pendidikan adalah persoalan luas dan utuh, menyasar seluruh aspek hidup manusia. Membaca dan kemudian berpengetahuan bukanlah indikator tunggal pendidikan. Atau berlatih dan selanjutnya terampil sesungguhnya tidak cukup menjadi ukuran bagi seseorang untuk dianggap terdidik.

Keprihatinan berikutnya berkaitan dengan mutu pendidikan yakni masalah pengangguran, kemiskinan, penyimpangan relasi sosial, dan lain-lain.

Bukankah ketika seseorang terdidik dan terlatih artinya sudah bisa menghidupi dirinya sendiri? Mengapa masih ada pengangguran, bahkan disumbang oleh mereka yang dianggap telah terdidik dan terlatih? Bagaimana mungkin jumlah pengangguran sebesar 6,87 juta jiwa di dalamnya termasuk orang-orang berpendidikan tinggi?

Mengapa kemiskinan di Indonesia masih berada pada angka 9,66%? Bukankah angka buta huruf 2,07% setidaknya turut menekan persentase kemiskinan?

Masih ingatkah kita peristiwa seorang siswa memukul gurunya di dalam kelas? Atau seorang siswa yang mempersekusi temannya hanya gara-gara beda pendapat atau pun status sosial?

Yang terbaru dan sedang hangat, mengapa seorang pejabat dengan pendidikan memadai bisa melakukan korupsi? Bukankah cara menjauhi sikap tamak dan rakus seharusnya sudah diajarkan di bangku sekolah atau di rumah?

Maka menurut saya, akan sangat baik bagi kedua cawapres nanti untuk membahas mutu pendidikan, yang mana rencana menambah jumlah sekolah atau menggaungkan program OK-OCE sesungguhnya jauh dari cukup untuk menjawab persoalan ini.

Kedua, Komersialisasi Pendidikan.

Harus diakui bahwa meski sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia cukup banyak, keadilan dalam mengenyam pendidikan layak belum dirasakan mayoritas warga. Mengapa? Karena akses dan biaya yang diperlukan tidak terjangkau. Belum lagi lembaga pendidikan "mediocre" malah lebih banyak ketimbang yang serius menjadi tempat pendidikan berkualitas.

Betul bahwa untuk lebih berkualitas, maka sekolah atau perguruan tinggi butuh fasilitas dan sarana dengan biaya besar. Oleh sebab itu tidaklah salah ketika beberapa lembaga pendidikan tertentu tampak eksklusif hanya menerima calon peserta didik yang berasal dari kalangan mampu. Ya meski hal ini juga wajib menjadi refleksi dan pertimbangan bagi mereka untuk memahami kembali bahwa pendidikan seharusnya berorientasi sosial, bukan profit.

Bukankah ketika anggaran 20% dari APBN kurang ampuh mengangkat status lembaga pendidikan formal (pemerintah) dari "mediocre" ke "excellence" dan terjangkau masyarakat bisa ditinjau ulang untuk ditambah lagi?

Saya pun berharap, mudah-mudahan kedua cawapres tidak menjawab masalah komersialisasi pendidikan ini dengan hanya menawarkan penambahan jumlah dana dan kuota penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP), atau sejenisnya.

Ketiga, Inkonsistensi Kurikulum.

Sejak Indonesia merdeka dari penjajahan, kurang lebih sudah sebelas kali terjadi perubahan kurikulum yang diterapkan di lembaga pendidikan. Antara lain, Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947), Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai 1952), Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 (CBSA) dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP), Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2015.

Bagi masyarakat awam, perubahan-perubahan kurikulum di atas sepertinya hanya mengganti tahun saja. Atau mungkin oleh masyarakat yang mengaku cerdas pasti menjawab karena menyesuaikan zaman. Apa pun alasannya, kadang fakta implementasinya jarang sesuai dengan apa yang seharusnya tercantum pada desain kurikulum.

Belum lagi pola yang diinginkan kurikulum bertolak belakang dengan apa yang sedang terjadi dan diinginkan masyarakat (orang tua, siswa dan guru).

Atau sedikit lebih realistis, terkadang memang betul konsep kurikulum baru yang disusun tampak modern dan aktual sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang tertera di kurikulum sebelumnya, persis pandangan masyarakat awam tadi.

Maka tidak mengherankan ketika sebagian pihak menilai bahwa perubahan kurikulum merupakan bagian dari proyek pemerintah semata, dalam hal ini oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Oleh sebab itu, kedua cawapres (dan juga kedua capres) seharusnya mampu menjawab persoalan kurikulum ini. Jangan sampai pandangan "beda presiden, beda kebijakan" dan "beda menteri, beda kurikulum" dibiarkan eksis selamanya di negeri ini.

Masih banyak persoalan lain, semoga pendidikan kita semakin baik.

***