Mengapa CEO Harus Memahami Dunia Jurnalistik?

Senin, 18 Februari 2019 | 21:18 WIB
0
780
Mengapa CEO Harus Memahami Dunia Jurnalistik?
CEO sebuah perusahaan IT Global (Foto: Pepih Nugraha)

Selama dua hari dalam sepekan ini, saya berinteraksi dengan pria yang menjabat sebagai CEO di salah satu perusahaan IT yang fokus pada keamanan cyber dan cloud computing, sebuah perusahaan global berbasis di Jakarta.

Teknik menulis hanyalah salah satu materi yang saya ajarkan seperti biasa, selebihnya saya sharing mengenai "Think Like Journalist" yang diperlukan oleh seorang CEO sebuah perusahaan.

Mengapa seorang CEO dan perusahaan yang dipimpinnya perlu paham apa yang dikerjakan wartawan umumnya dan khususnya pekerjaan Newsroom sebuah media? Sebab seorang CEO harus paham apa yang dikerjakan jurnalis, apa yang dimaui media, bagaimana framing dibuat, bagaimana wawancara dilancarkan, bagaimana narasumber dikejar dan bagaimana menuliskannya.

Sesungguhnya "Think Like Journalist" bukan saja harus dipahami seorang CEO, bahkan pejabat di sebuah departemen pun harus memahami proses bagaimana jurnalis/media bekerja. Tujuannya agar si CEO, Menteri atau pejabat lainnya selalu siap menghadapi jurnalis dari media apapun, khususnya menyangkut kasus besar yang dihadapi.

Sehingga, selama dua hari itu training dibagi dua bagian, hari pertama menyangkut dunia kewartawanan, wartawan itu sendiri dan media dengan karakteristiknya, sedangkan hari kedua berupa "role playing" (praktik) apa yang harus dilakukan seorang CEO saat menghadapi kasus besar baik dalam konferensi pers, door stop, mapun saat harus menyusun rilis berita.

Tentu saja contoh kasus dibuat seolah-olah peristiwa nyata terkait bidang usaha yang digeluti CEO tersebut, misalnya saya menyusun kasus “Data 10 Juta Pasien RS Pemerintah Jebol Diretas oleh Cyber Crime Rusia”. RS Pemerintah itu adalah salah satu klien yang menyewa jasa keamanan cyber.

Data yang diretas berupa nama pasien, jenis kelamin, alamat, dan nomor ponsel/fix phone. Sedangkan data sinsitif yang diretas berupa rekam medik pasien RS pemerintah tersebut, termasuk sejumlah pejabat penting dalam hal ini Presiden RI dan sejumlah menteri.

Tuntutan hukum terhadap penyedia jasa keamanan cyber yang menjadi tanggung jawab si CEO adalah pidana sekaligus perdata. Konsekuensi atas kasus ini jika pengadilan menyatakan perusahaan itu bersalah, maka akan menggerus reputasi perusahaan global tersebut dan saham akan segera hancur.

"Role play"-nya adalah, bagaimana si CEO menyikapi persoalan ini saat dia menggelar jumpa pers, membuat rilis pers, sampai "door stop".

Yang menarik dari proses training ini, sang CEO walaupun menjadi orang nomor satu di perusahaan itu, mengikuti dengan khidmat apa-apa (penekanannya pada pengalaman saya selaku jurnalis) yang saya sampaikan. Bahkan, secara antusias dia mengikuti "role play" saat harus menjelaskan persoalan ini kepada jurnalis/media saat konferensi pers dan door stop, sedangkan penulisan rilis berita pada sesi lain.

Karena telah mengikuti paparan "Think Like Journalist" di hari pertama dan memahami segala tetek-bengek di dalamnya, dengan mudah CEO mempraktikan kapan dia harus menjelaskan sambil membuat penekanan verbatim maupun gesture tubuh (tangan atau sorot mata) kepada wartawan yang dihadapinya, kepada kamera televisi yang menyorotnya.

Kapan dia harus mengatakan apa yang dijelaskannya sebagai "on background", "on deep background", "off the record", sampai jika terpaksa "no comment" ala Dessy Ratnasari. Sedangkan pemahaman mengenai "embargo" saya sampaikan saat mengajari PR di perusahaan itu membuat rilis dengan pendekatan "news" (berita).

Alhasil CEO menyatakan sangat puas atas training yang aya berikan ini dan diakhir sesi usai makan siang di sebuah restoran di Mall PI, dia berucap, "Sekarang saya lebih confident. Sekarang saya tahu apa yang dipikirkan dan dimaui wartawan. Sekarang yang tahu bagaimana menghadapi mereka."

Alhamdulillah...

***