Adakah Anak Pejabat dalam Perizinan Limbah B3 di Kawasan Militer?

Kamis, 7 Maret 2019 | 13:27 WIB
0
1614
Adakah Anak Pejabat dalam Perizinan Limbah B3 di Kawasan Militer?
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemprov Jatim Diah Susilowati. (Foto: Mediabidik.com).

Terungkapnya penimbunan Limbah B3 di 8 kawasan militer di Jawa Timur disikapi Koalisi Supremasi TOTAL B3 Indonesia yang terdiri dari Ecoton, Auriga, Kontras, ICW, WALHI, YLBHI, LBH Pers, dan Greenpeace.

“Pengelolaan limbah B3 dengan tata kelola yang sangat buruk,” ungkap Koalisi Supremasi TOTAL B3 Indonesia dalam rilisnya di Jakarta, Selasa (5/3/2019). Menurutnya, menimbun limbah B3 di kawasan markas militer adalah penghinaan pejuang.

Terungkapnya praktik open dumping (pembuangan ilegal) dan penimbunan limbah B3 oleh Tim Investigasi Supremasi TOTAL B3 menjadi bukti konkrit penghinaan itu. Kegiatan ilegal ini bertentangan dengan amanah Undang-Undang yang berlaku.

Yakni, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Peraturan Meneg LH Nomor 18 Tahun 2009 tentang Cara Perizinan Pengelolaan Limbah B3.

Dalam Peraturan Meneg LH tersebut, mestinya terdapat 4 perizinan penting yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Negara di bidang Pengelolaan Limbah B3 yaitu:

Pertama, izin untuk Penghasil Limbah B3 atas kegiatan Pengurangan Limbah B3 yang wajib dilaporkan secara tertulis dan disampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehuatan RI; Kedua, izin untuk kegiatan Pengangkutan Limbah B3 dari Penghasil Limbah B3;

Ketiga, izin untuk kegiatan Penyimpanan Sementara dan Pengumpulan Limbah B3 disertai kontrak kerja sama dengan pihak Pemanfaat, Pengolah, dan Penimbun Limbah B3; Keempat, izin untuk kegiatan Pemanfataan, Pengolahan, dan Penimbunan Limbah B3.

Dalam hal ini, ada 2 temuan pelanggaran Pengelolaan Limbah B3 di Jatim yaitu:

Pertama, sedikitnya ditemukan 8 kawasan TNI yang beralih fungsi menjadi tempat open dumping dan penimbunan Limbah B3, diantaranya Primkopau I Lanud, Primkopal Lanmar, Bhumi Marinir Karang Pilang, AURI Raci Pasuruan;

Pusat Pendidikan dan Latihan Pertahanan Udara Nasional, Pasukan Marinir 2, Gudang Pusat Senjata dan Optik II, dan Markas Komando Armada Kawasan Timur II.

Kedua, selain itu di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, teridentifikasi industri pengelolaan limbah B3, PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA), yang menimbun limbah B3 sejak 2010 di bawah lantai bangunan perusahaan.

Mengacu pada regulasi Tata Kelola Limbah B3 yang telah disebutkan diatas dan berdasarkan temuan tersebut, setidaknya ada beberapa persoalan di sektor lingkungan hidup yaitu:

Pertama, Pertanggungjawaban pemilik/penghasil limbah terkait dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh limbah B3 yang tidak dikelola sebagaimana mestinya; Kedua, Pembuangan ilegal (Open Dumping) dan Penimbunan Limbah B3 tanpa izin;

Ketiga, Minimnya pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab pengelola limbah B3 yang telah menimbulkan korban; Keempat, Adanya pencemaran tetapi tidak ada penindakan.

“Dampak dari kegiatan ilegal tersebut berujung tercemar dan rusaknya lingkungan hidup dan khsusunya masyarakat yang tinggal di sekitar markas TNI AURI Raci, Kabupaten Pasuruan,” ungkap Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi.

Selain lingkungannya sudah tercemar, telah memakan korban yang dialami warga sekitar markas yang mengalami luka akibat terperosok limbah panas batubara sebanyak 3 orang, salah satunya lumpuh sampai saat ini.

Di Lakardowo, penimbunan berbagai jenis limbah B3 dalam jumlah besar di lahan sekitar 3 ha mengakibatkan pencemaran tanah dan air. Sekitar 3.000 warga harus membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Bayi di sana terpaksa mandi dengan air isi ulang.

PT PRIA juga melakukan kegiatan pembakaran limbah medis melalui tungku pembakaran yang berdampak pada tanaman pertanian dan perkebunan warga serta pencemaran udara karena cerobongnya terlalu rendah.

Dalam kasus “Limbah B3 di Markas TNI” setidaknya dapat diidentifikasi limbah B3 tersebut merupakan milik PT Wilmar Nabati Indonesia, transporter utamanya adalah PT PRIA dan PT LEWIND.

Sedangkan pemilik izin pemanfaatan limbah B3 adalah CV Berkat Rahmat Jaya (rekanan PT LEWIND) dan PT PRIA, bagian dari PT Tenang Jaya Sejahtera (kedua perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang sama).

Diketahui, perusahaan yang terdaftar/memiliki izin untuk pengumpulan limbah B3 hanya 2 (dua) yaitu Primkopau I Lanud Surabaya dengan lokasi pengumpulan di markas AURI Raci. Untuk 6 lokasi pengumpulan lainnya tidak jelas dikelola oleh siapa, dengan kata lain illegal.

Asumsi lain, perusahaan transporter bekerjasama dengan pemilik lahan/lokasi sebagai tempat penimbunan limbah B3, jika pada kondisi kedua, maka transporter dapat dijatuhi sanksi baik pidana maupun sanksi administrasi.

“Prinsip kehati-hatian menjadi pilihan pertama dalam pengelolaan limbah B3, karena sifat limbah B3 yang bisa membahayakan lingkungan hidup dan manusia,” lanjut Prigi Arisandi kepada Pepnews.com.

Ancaman limbah B3 yang nyata adalah terjadinya pencemaran air dan tanah yang dalam waktu lama akan merubah air menjadi media penyebaran penyakit yang potensial (water borne deseasis). Setidaknya ancaman ini telah mulai terjadi di wilayah Jatim.

“Jika Pemerintah tidak segera melakukan tindakan, maka ancaman di atas dipastikan akan semakin nyata,” tegas Prigi Arisandi.

Selain ancaman limbah B3, katanya, ancaman yang berpotensi terjadi saat ini terkait dengan keselamatan pihak yang telah turut serta membantu Pemerintah membongkar praktik-praktik pengelolaan limbah B3 secara ilegal.

Untuk itu, Pemerintah termasuk institusi yang berwenang perlu memberikan perlindungan hukum kepada Tim Investigasi Supremasi TOTAL B3 yang diikuti agar segera melakukan penegakan hukum dan memproses temuan-temuan sesuai dengan ketentuan hukum.

“Bisnis” Perizinan

Yang menjadi pertanyaan, mengapa sepertinya limbah B3 ini begitu mudahnya dibuang dan ditimbun di kawasan militer tersebut? Adakah unsur bisnis di dalamnya? Termasuk “bisnis” perizinan? Laporan TEMPO mengungkap adanya “keterlibatan” anak pejabat.

Rantai bisnis pembuangan, penampungan, hingga penimbunan limbah B3 di Jatim terhubung karena nihilnya lahan pembuangan limbah industri, kebutuhan markas militer atas material
urukan, juga permainan perizinan dan ketiadaan pengawasan dari DLH Pemprov Jatim.

Rantai itu bertemu dalam nilai bisnis limbah yang besar selama bertahun-tahun. Limbah di Markas AURI Raci antara lain dari PT Wilmar Nabati Indonesia di Gresik. Pembawanya PT Lewind. Dalam akta, bidang usaha PT Lewind adalah pengelolaan limbah dan pertanian.

Karena bisnis itu menyimpang dari bidang usahanya, PT Lewind menugasi anak usahanya, CV Berkat Rahmat Jaya, sebagai pembuang limbah B3. CV Berkat ini yang menjalin kontrak dengan Markas AURI.

Makanya, PT Wilmar membantah jika disebut memasok limbah B3 ke kawasan AURI Raci. Johannes, dari Corporate Legal PT Wilmar, mengatakan mereka hanya membuang limbah satu truk melalui CV Berkat.

“Limbah kami tak berbahaya karena bentonite calcium, yang bernilai jual tinggi,” katanya, seperti dikutip Tempo edisi 24 Februari 2019. Menurutnya, limbah yang diproduksi oleh PT Wilmar Nabati harus diolah PT Lewind sebelum dibuang ke kawasan AURI Raci.

Mengutip Tempo, seorang makelar bisnis limbah di Jatim menyebut, perusahaan pemanfaat limbah seperti CV Berkat memberikan manifes bodong kepada perusahaan produsen limbah. Mereka bahkan menjualnya dengan harga Rp 200-500/kg limbah.

Karena itu, CV Berkat selalu melapor mengelola limbah 260 ton/hari yang diproduksi PT Wilmar Nabati sebelum dibuang. “Manifes itu dipakai berulang tiap pengiriman,” tutur makelar tersebut.

Karena truk PT Lewind tak cukup menampung limbah pabrik kliennya, mereka mengajak satu perusahaan besar lain yang menjadi transporter dan perusahaan pemanfaatan limbah untuk mengangkutnya, yaitu PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA).

Dinas Lingkungan Hidup Jatim memberinya izin mengelola limbah sampai 19 Juni 2019. Sebelum membuang limbah ke kawasan AURI Raci, dua perusahaan tersebut menjalin kerja sama dengan Markas Angkatan Laut Bhumi Marinir Karangpilang.

Seorang mantan operator lapangan PT Lewind menyebutkan staf CV Berkat yang mengurus semua izin pengumpulan limbah. Ia mengepul uang dari perusahaan transporter lain yang menjalin kerja sama dengannya untuk mengurus izin pengelolaan limbah B3 ke DLH.

“Saya ikut naungan orang saja,” ujar Antoni, Manajer PT Jaya Sakti Lingkungan Hidup, rekanan PT Lewind dalam mengangkut limbah PT Wilmar. “Jangan disalahkan, salahkan mereka dulu.”

DLH Pemprov Jaitm kemudian memberikan izin pengolahan dan pengiriman limbah kepada sejumlah perusahaan transporter dan markas militer itu karena proposalnya diajukan Geo-Enviro. Perusahaan konsultan ini milik anak Kepala DLH Jatim Diah Susilowati.

“Saya lupa, mungkin mereka hanya pinjam bendera,” tutur Manajer Geo-Enviro Ayu Kumala Novitasari, menantu Diah.

Ika Hanafi, staf administrasi Geo-Enviro, menyatakan, perusahaannya yang mengurus izin pembuangan limbah dua perusahaan transporter itu di Markas AURI Raci dan Karangpilang. Perwakilan CV Berkat yang datang kepada Geo-Enviro meminta bantuan pengurusan izin.

Diah pun tak membantah keterlibatan anaknya dalam pengurusan izin penimbunan limbah B3 di dua markas tentara itu. Dia menerangkan, TNI meminta bantuannya untuk membuat surat permohonan izin lingkungan.

“Tapi, meski melalui anak saya, kami profesional. Di lapangan kami awasi, kok,” tegas Diah.
Perusahaan-perusahaan transporter itu menerima Rp 3,5 juta/truk berkapasitas 10 ton dari produsen limbah seperti PT Wilmar Nabati.

Harga limbah untuk setiap truk dihitung berdasarkan jenisnya. Limbah pemurnian minyak goreng, misalnya, dihargai Rp 400/kg. Adapun harga limbah jenis lain bervariasi, antara Rp 350 dan Rp 700/kg.

Perusahaan transporter menyetorkan uang limbah itu ke markas tentara itu sesuai dengan kapasitas truk. Untuk volume 10 ton, mereka menyetorkan Rp 500 ribu/truk dan Rp 1 juta untuk 25 ton. Konon, “bisnis” limbah B3 ini menghasilkan duit Rp 60 juta/hari.  

Menurut Diah, awalnya penimbunan limbah B3 di markas tentara itu ilegal. Setelah timnya memergoki penimbunan tersebut pada 2014, markas militer mengajukan permohonan izin ke DLH Pemprov Jatim.

Pihak DLH memberikan izin dengan alasan markas tentara membutuhkan material untuk meratakan tanah buat lapangan tembak, landasan pacu pesawat, atau fondasi bangunan. “Berbisnis limbah boleh, asalkan sesuai dengan aturan,” ujar Diah.

Masalahnya, menimbun limbah B3 sebelum diolah sangat terlarang. Kementerian LHK hanya memberikan izin di Cileungsi, Jabar, untuk penimbunan limbah B3 secara langsung. Itu pun harus memakai teknologi membran yang mahal agar racunnya tak meresap.

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa sendiri sudah melihat lokasi penimbunan limbah B3 di Cileungsi tersebut.

***