Mengapa Orang Haus Kuasa padahal Sifatnya Sementara?

Jumat, 8 Februari 2019 | 07:17 WIB
1
571
Mengapa Orang Haus Kuasa padahal Sifatnya Sementara?
Ilustrasi kekuasaan (Foto: Dave Lebow)

2019 ini, banyak orang harus berpisah dengan kekuasaan. Anggota legislatif akan berakhir pada jabatannya. Kemungkinan besar, banyak yang tidak lagi terpilih. Pemilihan presiden masih tetap mengarah pada petahana. Namun, semua kemungkinan selalu terbuka.

Di tengah semua ini, banyak orang harus berpisah dari uang yang mereka punya. Para caleg yang akan mengalami depresi, karena gagal terpilih, walaupun sudah mengeluarkan uang banyak untuk kampanye. Para donor dan partai politik yang harus kalah, walaupun sudah mengeluarkan uang banyak juga untuk kampanye jagoan mereka. Kita mungkin kerap lupa, bahwa kekuasaan, seperti segala yang ada, akan berakhir.  

Zen Master Man Gong dari Korea pernah berkata, bahwa jika kita mendapat sesuatu berarti kita sedang kehilangan sesuatu. Ini terjadi, karena segala sesuatu berubah. Tak ada apapun yang bisa kita genggam dengan erat di dalam hidup ini, termasuk hidup kita. Mendapatkan atau kehilangan, keduanya adalah satu dan sama.

Dimensi Kekuasaan

Bagi sebagian orang, kekuasaan adalah kutukan. Kekuasaan mengubah kepribadian mereka menjadi rakus dan sombong. Hidup mereka pun dipenuhi tegangan penderitaan. Dengan pola berpikir ini, kekuasaan yang mereka pegang juga akan membuat banyak orang menderita.

Sayangnya, pola pikir inilah yang masih dianut oleh para penguasa politik dan ekonomi di Indonesia. Gejalanya dengan mudah dilihat. Kedudukan sebagai wakil rakyat ataupun pejabat publik digunakan untuk memperkaya diri dengan melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Ini telah menjadi budaya yang mengakar dalam, sehingga orang ingin menjadi pejabat publik justru karena ingin korupsi.

Namun, pada dirinya sendiri, kekuasaan tidaklah baik dan tidak buruk. Jika dipegang dengan kesadaran penuh, kekuasaan bisa menjadi berkah. Orang bisa membaktikan hidupnya untuk kebaikan bersama masyarakatnya. Ia bisa menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk banyak orang.

Anatomi Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi dunia. Dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, kekuasaan manusia kini menjadi amat besar. Alam fisik dibentuk sedemikian rupa, sehingga bisa sesuai dengan keinginan manusia. Beberapa peradaban bahkan mencoba mengembangkan teknologi pikiran, supaya bisa menciptakan kebahagiaan hidup yang tak terpengaruh oleh perubahan keadaan.

Akar dari kekuasaan adalah kehendak. Ini kiranya sejalan dengan pandangan Nietzsche yang melihat hidup sebagai kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht). Tentu saja, kehendak tidak muncul dari ruang kosong. Ia adalah hasil dari rangkaian sebab akibat yang melahirkan energi dan dorongan kehidupan itu sendiri.

Kekuasaan lalu terwujud melalui tindakan dan keputusan. Setiap tindakan dan keputusan selalu terjadi dalam kerangka sosial. Begitu pula setiap tindakan dan keputusan selalu memiliki dampak yang bersifat sosial.

Michel Foucault, pemikir Prancis, juga menegaskan, bahwa kekuasaan terdapat di dalam pengetahuan. Penentuan benar-salah, dan baik-buruk, juga merupakan sebentuk kekuasaan. Ia tidak baik, dan juga tidak buruk. Ia diperlukan untuk mencipta dan melestarikan tatanan yang terus berubah.

Satu hal yang tak boleh terlupa, bahwa kekuasaan itu sementara. Semakin lama, kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dunianya semakin kecil. Kekuasaan mesti siap untuk dilepas, ketika waktunya tiba. Jika gagal memahami hal ini, maka masalah dan derita sudah siap berkunjung di depan mata.

Kekuasaan yang Korup

Tanpa kesadaran akan kesementaraan, kekuasaan bisa menjadi korup. Ia menjadi ego sentrik, yakni hanya menjadi ajang pemenuhan kebutuhan diri dan kelompok sempit mata. Orang lain dan masyarakat luas dirugikan. Kebaikan bersama menjadi semakin jauh dari genggaman.

Tanpa kesadaran, kekuasaan akan berubah menjadi penindasan. Inilah yang kiranya terjadi di banyak negara sekarang ini. Kekuasaan menjadi ajang pamer, tanpa kesadaran akan pengabdian terhadap kepentingan bersama. Dalam arti ini, kekuasaan adalah sebuah kutukan, karena ia menyakiti banyak orang, dan bahkan orang yang memegangnya.

Penindasan terjadi tidak hanya di tataran politik dan ekonomi, tetapi juga di tataran simbolik. Pemikir Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut ini sebagai kekerasan simbolik. Ia berada di tingkat yang lebih halus dan tak terlihat, yakni di ranah pengetahuan dan penentuan baik-buruk ataupun benar-salah. Antonio Gramsci, pemikir asal Italia, menyebut ini sebagai hegemoni, yakni penindasan yang begitu halus, sehingga orang justru merasa puas, ketika ditindas.

Kekuasaan semacam ini dijalankan dengan kekerasan dan teror, baik fisik maupun simbolik. Sejarah bangsa-bangsa sudah menunjukkan, betapa kejamnya kekuasaan semacam ini. Begitu banyak korban jiwa dan harta benda, akibat kekerasan dan teror yang dijalankan. Ketika saatnya berlalu, kerusakan yang diakibatkan juga bisa dirasakan lintas generasi.

Kekuasaan adalah kesementaraan. Hal sederhana ini sekarang banyak terlupakan. Maka dari itu, ia harus memiliki arah yang jelas, yakni demi kebaikan bersama. Hanya dengan begitu, kekuasaan bisa menjadi bermakna, tidak hanya di waktu sekarang, tetapi juga di generasi mendatang. Ia bisa terus dikenang, tanpa sesal, namun dengan kekaguman.

***