Gaya Preman, Debt Collector FIF Fatmawati Salah Sasaran dan Sering Lakukan Perbuatan Pidana

Kamis, 11 Juli 2024 | 13:41 WIB
0
99
Gaya Preman, Debt Collector FIF Fatmawati Salah Sasaran dan Sering Lakukan Perbuatan Pidana
Oknum Debt Collector FIF bersama komplotannya yang mengaku tidak bisa dipenjara sama Polri.

PepNews – Debt Collector atau Mata Elang dari FIF Fatmawati yang merupakan anak perusahaan Lembaga Pembiayaan Leasing PT Federal International Finance (FIFGROUP) kembali melakukan perbuatan pidana.

Para Debt Collector yang berasal dari pihak ketiga FIF Fatmawati ini menagih customer yang sudah membayar tagihannya secara lunas di Bulan Mei 2024 lalu.

Selalu memakai sekaligus menerapkan gaya premanisme-nya, Debt Collector FIF Fatmawati menebar ancaman dengan mendatangi tempat kerja customernya yang dituding menunggak.

Dua oknum Debt Collector tersebut yang tidak pernah memakai identitas FIF atau tidak pernah membawa surat resmi itu menagih atau pernah pakai seragam resmi itu menagih ke customer yang sudah membayar tagihan di bulan Mei.

“Mereka (oknum Debt Collector) datang ke tempat kerja saya udah kayak maling nggak bawa surat apapun. Hanya bawa perintah WA dari bos penagihan FIF Fatmawati. Jalan udah sempoyongan, larang saya mau sholat Jumat. Semua aksinya terekam dalam CCTV kios saya. Padahal saya udah bayar telat 2 bulan,” kesal customer FIF bernama Maulana ini kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (11/7/2024).

Ia kembali mengatakan jika memang debt collector menagih customer yang sudah membayar dan ingin menarik paksa motornya, maka lebih bagusnya ia tidak membayar tepat waktu.

“Lebih bagus telat bayarnya, ampe bulan Juli ini saya sengaja nggak bayar lagi, nanti juga dia datang lagi sama pasukannya meneror dan menarik paksa motor saya. Wong mereka juga mengaku kebal hukum nggak bisa dipenjara,” keluhnya.

 

Sementara itu, Debt Collector FIF Fatmawati mengaku bahwa dirinya kebal hukum karena dilindungi oleh perusahaan FIF.

“Jika Tarik paksa motor, pihak FIF lindungi bukan dari divisinya, biasa itu,” ucap oknum Debt Collector FIF Fatmawati.

Tinjauan Hukum Yuridis

Keputusan Mahkamah Konsitusi

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 71/PUU-XIX/2021 memiliki dampak yang signifikan dalam melindungi hak-hak konsumen dan memastikan keadilan dalam kasus penarikan kendaraan bermotor oleh debt collector di Indonesia.

Isu penarikan paksa kendaraan bermotor telah menjadi perhatian serius, terutama ketika konsumen mengalami kesulitan membayar angsuran atau cicilan kendaraan mereka.

Situasinya seringkali memaksa, ketika konsumen gagal membayar utang atau cicilan kendaraan dalam waktu yang ditentukan, pihak perusahaan pembiayaan cenderung menggunakan layanan debt collector untuk menarik kendaraan dari konsumen. Praktik ini menciptakan kekhawatiran, karena seringkali dilakukan dengan cara yang tidak memperhatikan hak-hak konsumen.

Tetapi, dengan keputusan MK tersebut, ada penegasan bahwa penarikan kendaraan bermotor tidak boleh dilakukan secara semena-mena di jalan. Kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN), yang memiliki wewenang memutuskan mengenai penarikan kendaraan bermotor akibat kredit macet. Langkah ini memberikan perlindungan lebih besar bagi konsumen dan memastikan hak-hak mereka terlindungi.

Keputusan MK ini penting karena menunjukkan komitmen negara dalam melindungi konsumen dari praktik penarikan paksa yang tidak adil dan memberikan proses hukum yang adil. Dengan demikian, penarikan kendaraan bermotor tidak lagi menjadi ancaman bagi konsumen yang mengalami kesulitan keuangan, tetapi menjadi proses yang harus dijalani melalui prosedur hukum yang benar.

Namun, perlu dicatat bahwa langkah ini juga membutuhkan kesadaran dan tanggung jawab dari semua pihak. Konsumen harus tetap konsisten dalam membayar angsuran atau cicilan secara tepat waktu, sementara perusahaan pembiayaan dan debt collector harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan tidak menggunakan kekerasan dalam menagih hutang.

Etika Debt Collector Berdasarkan Peraturan BI

Etika penagihan hutang oleh debt collector diatur dalam Pasal 191 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/6/PBI Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP).

Dalam melakukan penagihan, debt collector harus mematuhi etika sesuai aturan yang berlaku.

Kemudian, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, dijelaskan larangan-larangan dalam penagihan.

Larangan tersebut yaitu mengancam, melakukan kekerasan yang bersifat mempermalukan, serta memberi tekanan secara fisik maupun verbal.

Aturan Hukum Debt Collector

Terdapat aturan hukum dalam penagihan utang yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) Nomor 14/17/DASP Tahun 2012 tentang Penagihan Utang Kartu Kredit.

Dalam aturan ini disebutkan jika debt collector hanya boleh menagih utang macet atau keterlambatan cicilan telah melewati 6 bulan.

Kedua, penagihan yang dilakukan oleh debt collector harus mengikuti standar kualitas yang berlaku di bank. Debt collector juga harus telah mempunyai pelatihan memadai, serta identitas debt collector harus jelas dan diadministrasikan oleh bank.

Debt Collector Bisa Langsung Dipidanakan

Penagih utang atau debt collector bisa dipidanakan apabila melakukan pelanggaran hukum. Jika debt collector menyita barang secara paksa maka dapat dijerat dengan Pasal 362 Kitab Undang-undang HUkum Pidana (KUHP).

Dalam pasal tersebut dijelaskan jika pelaku pelanggaran hukum, bisa diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.

Selanjutnya, apabila debt collector melakukan pelanggaran hukum seperti menggunakan kekerasan atau mengancam dalam proses penagihan, maka yang bersangkutan bisa dijerat dengan Pasal 365 ayat (1) KUHP. Pasal ini menegaskan ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun