Saya dan 3 Panglima TNI

Rabu, 28 November 2018 | 07:34 WIB
0
1118
Saya dan 3 Panglima TNI
Saya dan tiga panglima berbeda (Foto: FB Prayitno Ramelan)

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokwi (JKW), ada enam Panglima TNI. Dari enam, ada tiga yang saya kenal. Inilah sedikit tentang ketiganya.

Pertama, Marsekal Djoko Suyanto dari AU, waktu Seskoau-26 saya sama-sama satu kelas, bahkan satu sindikat selama 11 bulan. Pak Djoko ketua Senat, saya day by day makin mengenal alumnus 73 ini. Perwira yang smart, pengetahuannya luas, wise, baik dan bisa tegas. Pilot tempur handal yang lulus pendidikan tertinggi fighter pilot di AS, Top Gun.

Saya saat itu membuat prediksi intelijen, ini salah satu calon pimpinan TNI AU. Ternyata karirnya lancar, takdir membawanya tidak hanya menjadi KSAU, tapi jadi Panglima TNI dan bahkan Menkopolkam. Sekarang Pak Djoko menjadi Ketum PPAU.

Kedua, Jenderal Gatot Nurmantyo (GN), saya kenal saat pangkatnya Kolonel sebagai Dan Brigif-1, dikenalkan seorang konglomerat. Karirnya lancar dan bersinar. Saat menjabat KSAD, saya sempat makan siang di kantornya, para Asisten dan Waas diundang, untuk menyimak kita berdua berdiskusi soal ancaman nasional dan masalah geopolitik. Pengetahuannya luas, faham tentang proxy dan hybrid war serta masalah globalisasi. GN menyebut saya pengamat intelijen, karena sering jadi narsum di TV.

Takdir juga menjadikannya Panglima TNI. Saya heran kenapa GN tidak bisa jadi capres/cawapres. Jaringannya luas dan ia dekat dengan kekuatan Islam. Saat akan jadi Panglima GN saat berdiskusi menyebut penggantinya, jangan yang di bawah kontrol politik. Nampaknya GN tipe yang kurang dekat dengan politik. Pak Gatot ini tipe orang pasukan, kadang bicaranya keras bahkan agak-agak kotroversi.

Dia bebas buka front ke Polri. Saya pernah mengeritik di Kompas TV tentang ucapannya soal info intel A-1 pembelian 5.000 senjata. Menurut saya itu informasi bukan intelijen. Dari strategi intelijen, sebetulnya daripada Sandiaga, kenapa Prabowo (08) tdk sekalian ambil GN sebagai Cawapres, akan lebih menggigit.

Orang bilang pasangan TNI dengan TNI tidak laku, belum tentu juga. Publik itu sederhana, kalau kurang puas dengan pimpinan nasional sipil, mereka bisa dengan mudah pindah ke calon militer. Thn 2004, SBY menang karena rakyat tidak puas dengan kepemimpinan sipil yang dianggap lemah.

Posisi 08 dengan Sandi kok rasanya kurang kuat melawan Jokowi alone, kecuali ada momentum khusus. Tapi ya sudah, sepertinya GN hanya akan menjadi penggembira dalam pilpres nanti atau sebagai pejabat pada pemerintahan 2019-2024.

Ketiga, Marsekal Hadi Tjahyanto, alumnus 86 ini perwira AU sejati karena berkumis lebat. Saya sejak pak Hadi jadi Kadispenau selalu intensif berhubungan hingga kini. Takdir menjadikannya sebagai KSAU dari alumnus genap, sebelumnya ganjil/gasal terus.

Saya mendukung "The Blues" ini, info dan analisis intelijen. Pak Hadi ini smart, pengetahuannya luas, supel dalam bergaul, low profile tapi tegas. Makin mantap dalam memimpin TNI. Fasih berbahasa Perancis karena Seskonya di Perancis.

Tahun Tantangan Panglima

Akhir 2018 hingga TW-1 Tahun 2019 adalah tahun tantangan bagi Panglima TNI dan jajarannya. Bulan-bulan kritis menuju Pilpres dan Pileg yang sama-sama akan dilaksanakan pada 17 April 2019. Memang Polri sebagai ujung tombak keamanan, tetapi dalam kondisi darurat, seperti insurgency, TNI yang harus menyelesaikan. Konflik Syria hanya diawali karena kelirunya menangani demo, sehingga memunculkan martir.

Ada sebuah message intelijen dari luar, siapkan TNI sekarang juga, karena Indonesia akan menghadapi turbulance. Intelijen melihat turbulance bisa disebabkan instabilitas keamanan atau ekonomi.

Apa musuh Pilpres dan Pileg? Ancaman bisa dari eksternal maipun internal. Ancaman cyber bisa serius menyesatkan hasil pilpres dan memengaruhi konstituen untuk bertindak radikal .

Berita-berita Hoax bisa di setting oleh mereka yang profesional. Bukan tidak mungkin ada intervensi cyber canggih yang menyebabkan turbulensi dengan target stabilitas keamanan dan ekonomi. Saat Pilpres, negara sedigdaya AS saja bisa di intervensi, bagaimana kita?

Persaingan politik dalam sistem demokrasi itu biasa, tapi bila kebebasan dimanfaatkan untuk membenturkan emosional di grass root ini yang berbahaya. Kalau skenario ini yang akan dimainkn, di sinilah peran TNI untuk menetralisir terjadinya perpecahan dan konflik horizontal yang bisa bergeser ke konflik vertikal. Bukan tidak mungkin akan muncul ancaman insurgency. Target utamanya menjatuhkan Presiden.

Contoh jelas terlihat dari beberapa sisi, jatuhnya Pak Harto, dan juga kejatuhan Gus Dur. Perang dagang dan sulitnya ekonomi dunia, sudah menyentuh Indonesia, dan sangat mungkin kita bisa terjebak dalam perseteruan dua raksasa AS vs China.

Bila salah posisi, Indonesia bisa dinilai sebagai calon musuh ataupun musuh oleh raksasa yang berseteru. Mereka mencari mitra, China dengan BRI dan AS plus Indo Pacific. Konsep keduanya melalui Indonesia.

Turbulance terkait keamanan itu mungkin saja terjadi mengingat rentannya emosi dan kondisi psikologis penduduk pulau Jawa yg padat, cuaca yang mungkin panas dan disparitas kaya dan miskin. Gesekan, sangat mudah terjadi dan diciptakan.

Itulah sebagian potensi yang harus diwaspadai TNI dan juga Polri.... Jelas masih banyak lg ATHG apabila dianalisis, tapi inilah warning info intelijen luar yang perlu dicermati.

Semoga bermanfaat. 

***

Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen