Anak-anak muda di sepanjang Sudirman. Dengan pakaian seru. Mereka adalah pemilik syah sejarah Indonesia hari ini.
Jalan Sudirman, di Jakarta, jadi lebih meriah. Serombongan anak-anak muda. Dengan fashion seru tampil mengeksporesikan diri.
Mereka adalah anak-anak muda dari Jakarta coret, tepatnya Citayam, Bojong atau Depok. Beramai-ramai nongkrong. Memperlihatkan gaya pakaian, yang mungkin sedikit berbeda dengan anak Jaksel.
Anak-anak muda ini butuh ruang ekspresi. Ruang pengakuan. Bahwa mereka adalah bagian syah dari masyarakat yang sedang tumbuh. Anak-anak kandung Instagram, FB dan Youtube. Mereka dibesarkan oleh media yang mereka tuliskan sendiri. Yang mereka gambarkan sendiri. Ketika media mainstream mungkin saja tidak pernah menempatkan mereka sebagai pusat perhatian.
Saya selalu suka ekspresi budaya seperti ini. Anak-anak muda yang tampil dengan kemudaannya. Di tengah anak muda yang dicekoki doktrin agama over dosis yang membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai anak muda Indonesia.
Anak-anak ini lahir dari latar belakang sosio kultural yang khas. Mereka mengadopsi kemajuan dunia digital. Sementara budaya asalnya belum sepenuhnya berubah.
Satu kakinya mau menaiki anak tangga baru di atasnya. Tapi belum sempat menjejak. Sedangkan satu kakinya lagi belum sepenuhnya lepas dari pijakan anak tangga di bawahnya.
Hidup mereka serasa melayang dalam kebudayaan yang sama sekali baru.
Mungkin di sana ada semacam shock kultural. Ada kegagapan. Mereka berusaha menepisnya. Tapi tepisan itu justru memperkuat kewaguannya.
Menonton konten mereka, barangkali diantara kita ada yang mengernyitkan dahi. Ada yang berlebihan. Semisal cupang di dada cewek di bahas terbuka. Tapi justru karena terbuka itu, kita tahu, bagaimana interaksi mereka. Sebuah pemberontakan diantara dominasi kota dan budaya munafik orang tua.
Bagi saya, gaya mereka di sepanjang Sudirman adalah ekspresi sebuah generasi dari sebuah subkultur. Dibilang kultur metropolitan tapi rasanya masih belum sepenuhnya. Jika diketegorikan sebagai bagian dari kultur rural, nyatanya bukan juga.
Tapi sekali lagi, apapun gaya mereka. Tidak ada yang pantas melakukan penghakiman. Apalagi menghakimi tampilan pakaian atau mode rambut. Mungkin memang ada yang khas dan berbeda dari mereka. Tetapi bukankah setiap kultur punya kekhasannya sendiri?
Anak-anak ini. Diwakili Bonge. Jeje. Kurma. Roy atau semua sebutan nick name mereka. Sekali lagi punya dunia sendiri. Punya cara ekspresi dendiri. Dan mereka berhak menikmati hidupnya.
Hanya orang norak dan sok kota yang menertawakan mereka.
Adek-adek ini jauh lebih menarik ketimbang anak-anak muda yang sok suci, yang dikit-dikit mikirin kawin. Atau yang gayanya selangit sok, agamis. Padahal mereka cuma korban kuktur asing yang belum tentu dipahami sepenuhnya.
Anak-anak muda di sepanjang Sudirman. Dengan pakaian seru. Mereka adalah pemilik syah sejarah Indonesia hari ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews