Perjalanan Sang Guru

Pasti kota ini dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, dicintai rakyatnya, sehingga engkau mau tetap tinggal di sini sekalipun nyawamu terancam.

Selasa, 30 Juni 2020 | 06:07 WIB
0
221
Perjalanan Sang Guru
Formula e (Foto: indosport.com)

Setelah mengarungi lautan, di penghujung September kapal kayu besar yang berangkat dari Sungai Yang Tze, Tiongkok itu sampai di satu kota. Kapal itu merapat di sebuah pelabuhan dekat muara sungai. Sang Guru Kebijakan turun, diiringi oleh sejumlah murid-muridnya.

Mereka berjalan ke arah selatan. Di satu pemakaman yang beberapa bagiannya terendam air mereka melihat seorang perempuan yang sedang menangis dekat sebuah makam yang masih baru. Di samping makam itu, terdapat beberapa kuburan yang juga belum lama. Diiringi sejumlah muridnya, Sang Guru menghampiri perempuan yang sedang menangis itu, lalu bertanya.

“Apakah engkau menangis karena baru saja ditinggal mati oleh salah satu anggota keluargamu?”
“Ya. Ayahku,” jawab perempuan itu.
“Kalau boleh saya tahu, apa penyebab kematian ayahmu itu?”

Sambil mengusap airmatanya, dengan agak terbata perempuan itu menjawab.

“Ayahku meninggal karena diterkam harimau.”

Sambil menunjuk beberapa kuburan yang berjajar tak jauh dari situ, Sang Guru bertanya lagi.

“Lalu, kuburan siapa sajakah yang itu?”
“Yang itu kuburan ibuku, yang itu kakak laki-lakiku, yang sebelah sana kuburan adik perempuanku. Mereka juga meninggal karena diterkam harimau,” katanya sambil terisak.

Mendengar penjelasan dari perempuan itu, dia tertegun penuh keheranan. Sejenak kemudian Sang Guru dari negeri Tiongkok itu berkata.

“Ayahmu, kakak laki-lakimu, adik perempuanmu meninggal karena diterkam harimau. Kau tahu bahwa di kota ini ada harimau ganas yang telah membunuh beberapa orang keluargamu. Tidakkah kau berniat untuk pindah dari kota ini agar terhindar dari terkaman harimau itu?”
“Tidak ...!” jawab perempuan itu tegas.
“Ooohh… engkau tidak mau meninggalkan kota ini, padahal engkau telah kehilangan orang-orang yang kau cintai. Pasti ada sesuatu yang membuatmu nyaman tinggal di negeri ini. Pasti kota ini dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, dicintai rakyatnya, sehingga engkau mau tetap tinggal di sini sekalipun nyawamu terancam. Benarkah demikian?”

Mendengar kata-kata Sang Guru, perempuan itu berhenti menangis. Sambil menoleh dengan mata nyalang.

“Sama sekali tidak ...!” bentak perempuan itu.

Setelah sekali menarik napas dalam-dalam dia melanjutkan omongannya.

“Jangan sok tahu ...! Pemimpin kota ini, adil dan bijaksana apaan? APBD habis gak karuan, ngurus banjir gak becus,...! Nih kuburan babe aye aje ampe kebanjiran kayak gini.”
“Lalu kenapa engkau tidak mau meninggalkan kota ini? Padahal di sini ada harimau ganas.”
“Ape situ gak tau, enih masih PSBB?!”

Sang Guru terdiam, lalu bangkit. Ia berdiri lalu pergi diikuti pengiringnya.

“Eh ntar dulu. Engkong mau kemane?” tanya perempuan itu.
“Mau nonton balap Formula E,” jawab Sang Guru.
“Kagak jadi ...!”

***