Para Pelagak

Hingga pada titik tertentu, dalam dunia perlagakan, menjadi penurunan gradasi, antara yang emas dan loyang menjadi samar.

Rabu, 4 September 2019 | 07:09 WIB
0
271
Para Pelagak
Ilustrasi Spiderman (Foto: Facebook: Sunardian Wirodono)

Yang paling menyebalkan, adalah para pelagak. Dalam hal apapun. Mau politik, kesenian, aktivitas sosial dan berbagai profesi atau status yang sebenarnya hanya gagah dalam omongan atau pun sekedar lagak. Berpose. Sebagaimana acap kita jumpai dalam berbagai postingan di media-sosial.

Tidak dalam pengertian sebenarnya, sebagai sesuatu yang integrated dengan moralitas dan laku-jantranya. Terjebak dalam omong besar, glorifikasi, dan pemuliaan-pemuliaan yang lamis. Penuh kepura-puraan. Cilakanya, ciri lainnya, yang tak kalah khas, memang hanya cakap dalam lagak. Tidak sembada. Tidak termanifestasikan dalam kerja nyata.

Ada banyak contoh, tapi saya kira banyak orang sudah mengetahuinya. Tapi memang, dunia lagak adalah dunia yang nyata, juga makin menguat atau mendominasi. Hingga pada titik tertentu, dalam dunia perlagakan, menjadi penurunan gradasi, antara yang emas dan loyang menjadi samar.

Karena apakah? Karena nafsu besar tenaga kurang? Hanya sebagai penata kata, berhobi ga' bener? Jangan-jangan itu problem inferiority complex, atau kompleks rendah-diri (bedakan dengan rendah hati).

Apa yang terjadi pada Livi Zheng, misalnya. Adalah contoh bagaimana inferiority complex itu melanda semua kelas. Saking susahnya mencari hero, tiba-tiba ada tokoh muda, WNI Keturunan Cina pula, yang menembus Hollywood.

Berita itu diblow-up media mainstream, Tempo dan Kompas. Juga sampai ke Bupati, Gubernur, bahkan Menteri, mensubya-subya dirinya. Satu lapis KSP tembus, Jokowi pun mungkin bisa terkecoh. Untung tidak, ketika prestasi dan reputasi hoax itu terbongkar.

Membaca tulisan Goenawan Mohamad mengenai betapa tak bunyi-nya Sastra Indonesia di dunia, kita terperangah. Bagaimana dalam banyak hal, kita telanjur pongah untuk sesuatu yang sebenarnya blangsak.

Celakanya celaka, dalam adab seperti itu, yang loyang lebih menggejala. Sementara sang kesejatian, sebagaimana sikap dasarnya, membiarkan dunia berputar. Seperti kisah superhero yang selalu menyembunyikan identitasnya. Kecuali Gundala versi film, mungkin.

Meski pun para creator Spiderman juga mulai memunculkan sisi manusiawi Peter Parker, agar tampak realistis. Karena kita butuh bahasa verbal. Tak peka pada simbol-simbol. Padahal menyukai cerita-cerita fantastik.

***