Pujian juga patut diberikan kepada Ayu Ardianto, pemeran Ayu cilik, yang bermain sangat baik di usianya yang masih terbilang anak-anak.
Film Indonesia yang di saat dasarkan pada kisah nyata masih cukup langka. Padahal banyak pelajaran bisa dipetik dari kisah nyata kehidupan manusia itu. Langkah Lola Amaria mengangkat kisah hidup atlet panjat tebing Aries Susanti Rahayu karenanya patut diacungi dua jempol, karena film ini bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang ingin mengubah kehidupannya yang sulit menjadi prestasi yang membanggakan seluruh bangsa Indonesia.
Aries Susanti Rahayu atau lebih akrab dipanggil Ayu, saat ini masih menjadi salah satu atlet putri andalan Indonesia di nomor speed (kecepatan). Pada tahun 2018 lalu, atlet muda asal Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah ini menempati atlet peringkat kedua dunia di kelompk putri untuk nomor speed. Itu tentu sebuah prestasi yang sangat membanggakan setelah di Asian Games 2018, Ayu juga berhasil meraih medali emas di nomor speed.
Film garapan Lola Amaria dari naskah yang ditulis Sinar Ayu Massie itu terbilang sangat mengalir dengan kronologis peristiwa yang terus menyambung dari saat Ayu berusia sekitar 5 tahun sampai saat ini. Pendekatan itu diambil untuk menumbuhkan proses tumbuh kembang Ayu yang sejak kecil hidup dalam kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan, sehingganya ibunya harus bekerja sebagai tenaga kerja di Arab Saudi.
Ayu kecil yang kurang mendapatkan kasih sayang ibu, berkembang menjadi seorang anak yang “keras”, berani dan bersemangat tinggi untuk melawan siapapun yang merendahkannya. Untungnya, amarah atas kondisi yang dialaminya itu kemudian bisa diarahkan di bidang olah raga.
Dimulai dari prestasi olah raga lari di sekolah, Ayu kemudian ditantang untuk menjadi atlet panjat tebing di daerahnya.
Dengan kemauan keras dan kerja keras, serta arahan keras pelatih Hendra, Ayu melupakan semua rasa sakitnya dan menorehkan prestasi yang membanggakan sebagai atlet kelas dunia. Namun perjalanan Ayu masih cukup panjang untuk bisa menorehkan catatan waktu 6,9 detik.
Meski jalan cerita dan penggarapannya terbilang sederhana, film ini menarik karena dibintangi langsung oleh Ayu sendiri. Kehadiran Ayu sebagai pemeran utama di saat dia sudah menjadi atlet Pelatnas itu, justru membuat film itu semakin kuat. Umumnya, seorang atlet seringkali kesulitan ketika dia diminta berakting di depan kamera. Ayu justru sebaliknya. Dia bermain sangat natural, aktingnya tidak berlebihan tetapi masih mampu menunjukkan kekuatan emosinya.
Penulis yang cukup mengenal Ayu dalam kehidupannya sebagai atlet pelatnas, termasuk yang tidak menduga jika atlet kelahiran 21 Maret 1995 itu bisa berakting sebaik itu. Peran Lola Amaria sebagai sutradara pastilah sangat kuat dalam memunculkan kemampuan berakting Ayu. Di film ini pun beberapa atlet pelatnas panjat tebing ikut tampil, dan mereka pun bisa tampil sangat rileks dan natural.
Pujian juga patut diberikan kepada Ayu Ardianto, pemeran Ayu cilik, yang bermain sangat baik di usianya yang masih terbilang anak-anak.
Beberapa scene dalam film ini pun mengambil cuplikan saat-saat Ayu dan Puji Lestari bertanding di ajang Asian Games 2018 lalu, bahkan film ini pun menjadi salah satu dokumentasi gebyar Asian Games 2018, yang sukses dari sisi penyelenggaraan maupun prestasi.
Untuk industri perfilman Hollywood, film kisah-kisah sukses atlet itu menjadi salah bagian dari misi mereka untuk menunjukkan kehebatan Amerika Serikat. Maka sudah sepatutnya juga jika film seperti “69 Detik” ini diproduksi lebih banyak lagi, karena memiliki cukup banyak atlet berkelas dunia, para juara dunia di bidangnya masing-masing.
Oleh karenanya film “6,9 Detik” ini sudah seharusnya menjadi tontonan wajib bagi murid murid SD hingga SLTA, karena perjuangan Ayu bisa ditiru oleh siapapun yang ingin menjadi atlet Dunia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews