Cerpen | Rahasia Cinta Cebi dan Kupret

Sejak saat itu, mereka hidup bahagia dengan rahasià cintanya yang tetap terjaga. Dan berakhirlah perseteruan antara kodok dan kelelawar.

Senin, 30 November 2020 | 14:02 WIB
0
274
Cerpen | Rahasia Cinta Cebi dan Kupret
ilustrasi: pixabay.com

Di tengan hutan belantara tersebutlah sebuah desa bernama Kerta Raharja. Sebuah desa yang aman, damai, makmur dan hidup penuh tenggang rasa. Tinggallah di desa itu berbagai kawanan binatang. Mulai dari singa, gajah, burung, ular, kelelawar dan kodok.

Tetapi sejak awal proses pemilihan kepala desa, keadaan di desa Kerta Raharja berubah seratus delapan puluh derajat. Toleransi memudar, saling membanggakan kelompok, dan kehidupan sehari-hari dipenuhi berita buruk, fitnah dan pembunuhan karakter.

Tetapi berkebalikan dengan perjalanan dan kisah asmara Cebi si anak kodok dengan Kupret si anak kelelawar. Mereka selalu mesra, berdua di setiap ada kesempatan. Mereka saling memadu kasih dan berikrar sehidup semati melanjutkan perjalanan cintanya hingga ke pelaminan. Rasanya tak akan ada sesuatu pun yang boleh memisahkan keduanya.

"Mas Cebi, kapan mau melamarku?" suatu kali Kupret meminta ketegasan Cebi tentang janjinya.

Di bawah pohon jati yang rindang dan di pinggir sungai yang jernih, Cebi menenangkan hati Kupret bahwa ia pasti akan mempersuntingnya.

"Tak usah khawatir, Dik Kupret sayang.  Mas Cebi pasti akan segera menemui orang tuamu. Lalu kita akan hidup bahagia, bersama dalam suka dan duka.", wajah Kupret berbunga-bunga mendengar jawaban Cebi. Semakin membesarkan dan membuncah harapan di dada.

"Tapi mas..."

"Tapi apa?" Kupret seolah masih menyimpan segumpal keraguan. 

"Tapi bagaimana kalau rencana kita terhalangi oleh sesuatu hal sehingga tak pernah menjadi kenyataan?"

"Mengapa dirimu bertanya seperti itu? Kita harus optimis apapun yang akan terjadi. Yakinlah bahwa kekuatan cinta kita tak mungkin dipisahkan oleh apapun."

"Yah, kurasa kita sudah tahu. Orang tua kita sudah sekian lama berseteru. Mereka terbelah oleh dukung mendukung kepala desa sejak empat tahun yang lalu."

"Menurutku semua itu tak ada hubungannya dengan kita, Dik."

"Ada mas. Papaku mewanti-wanti, jangan sampai aku berhubungan dekat dengan anak kodok sepertimu. Apalagi menjadi pacar, apalagi mau menikah. Itu haram baginya. Aku juga tidak mengerti. Mengapa kelelawar seperti papa sangan antipati dengan pendukung rival kepala desa, kodok dan anak-anaknya. Padahal si kambing kepala desa kita yang terpilih sudah rukun dengan singa, yang dulu menjadi rivalnya. Bahkan singa itu kini ikut menjabat sebagai salah satu pejabat desa."

"Ketahuilah, Dik Kupret. Papaku si kodok pun demikian. Sama, ia sangat antipati dengan kelelawar dan anak-anaknya, para kupret. Tapi aku akan tetap menentang jika papa kita bersikukuh tidak mau merestui hubungan kita."

"Mas Cebi, tidak bisa begitu. Restu orang tua itu penting buatku. Kita harus mencari jalan agar mereka merelakan kita berjodoh."

"Kalau tidak, siapkah dirimu meninggalkan desa Kerta Raharja ini agar kita tetap bersama? Sesuai janji dan ikrar kita, Dik. Kita akan tetap bersama sampai mati."

"Entahlah, Mas."

Cebi tetiba meraih tangan Kupret. Meremasnya perlahan dan menggenggamnya erat. Sambil setengah berbisik Cebi berusaha menguatkan dan meyakinkan hati Kupret. "Kita akan melewati semua ini, Dik. Jangan menyerah. Kita harus bisa."

Nasib hubungan Cebi dan Kupret akan ditentukan malam ini. Saat Kupret memberitahukan pada papa Kelelawar bahwa sang kekasih Cebi hendak melamarnya. Belum selesai bicara, papa Kelelawar menggebrak meja dengan keras. Bagai petir di siang bolong suaranya memecah sunyi di rumah pohon tempat mereka bergelantungan.

"Apa? Papa tidak salah dengar, kan?" 

"Benar, Papa. Cebi hendak meminangku."

"Dengar sekali lagi, anakku. Papa tidak akan pernah mengijinkan seorang Cebi menjadi suami anakku. Haram."

"Mengapa papa sedemikian benci dengan Cebi? Bukankah ia juga makhluk ciptaan Tuhan seperti kita? Apa alasannya sehingga aku tak boleh menikah dengannya? Hik.. hik.. hik.." Kupret mulai berurai air mata.

"Karena ia dan para kawanan kodok itu jahat. Tukang bohong, selalu membela kepala desa yang hobi berhutang. Kepala desa yang tidak menyejahterakan warganya. Kepala desa yang tidak peduli rakyat kecil seperti kita."

"Tapi, Pa. Itu kan urusan kepala desa dan jajarannya. Pilkades sudah selesai. Sudah seharusnya perseteruan yang dulu disudahi. Toh nanti calon yang Papa dukung bisa maju lagi."

"Tidak, anakku. Ini bukan saja soal pilkades. Ini menyangkut nasib kita dunia akherat. Salah memilih akan dipertanggungjawabkan di akherat." Papa Kelelawar tetap bergeming. Sikap dan pendiriannya seperti benteng pertahanan yang kokoh.

"Ya, Allah Pa. Sampai begitu. Aku bingung, Pa. Aku pusiiiing......" Tiba-tiba Kupret lemas dan pucat. Harapannya mulai memudar mendengar jawaban-demi jawaban papanya yang tak terdengar tanda-tanda akan luluh.

Dan, beberapa detik kemudian Kupret pingsan. Badannya jatuh berdebum hingga mengagetkan papa Kelelawar.

"Kupret. Kupret, anakku. Kenapa kau?" Papa Kelelawar mulai panik. Dipeluknya Kupret. Ďitepuk-tepuknya pipinya dengan harapan tersadar dari pingsannya.

Akhirnya, digendongnya Kupret ke kamar. Dibuatkannya minuman hangat berisi ramuan untuk menyembuhkan Kupret. Saat aroma jahe dan daun mint tercium hidung Kupret, perlahan Kupret siuman. Papa Kelelawar tersenyum girang mendapati Kupret sudah mulai bergerak.

"Oooh... sakiit... Mas . mas Cebiii.." Kupret merintih sembari memanggil nama kekasihnya

"Anakku, Kupret. Ini Papa. Papa di sampingmu."

"Mas Cebi.. maafkan Kupret."

"Kupret, ini kamu minum dulu ramuan jahe ini ya. Kamu baru saja pingsan. Bangun ya, Nak." bujuk Papa Kelelawar dengan penuh kasih sayang. Amarahnya sudah mulai menurun, bahkan mungkin sudah sirna dari hatinya usai melihat si buah hati jatuh pingsan. Anaknya yang satu ini memang mudah pingsan jika menghadapi masalah besar atau tertekan.

"Mas Cebiii...aku gak kuaaat.. Lebih baik aku mati saja.." erangnya dengan masih memanggil nama sang kekasih.

"Nduk, anakku. Jangan berkata seperti itu. Tidak baik. Mengapa kamu masih saja berkeras dan tak mendengar nasehat Papa?"

"Jangan pikirkan aku lagi, Pa. Papa lebih mencintai calon Kades dari pada aku."

"Bukan begitu, Nduk. Jangan salah mengerti. Aku tetap mencintai dan menyayangi anakku. Ayolah, Nduk. Cepat diminum ini biar kamu cepat sembuh."

"Lebih baik aku mati, Pa. Dari pada Papa memisahkan aku dengan mas Cebi." Air mata kembali berderai membasahi pipi Kupret. Cintanya pada Cebi begitu tulus dan dalam. Sayang sekali, Papanya melarang keras dan tak merelakan percintaan anak semata wayangnya ini. 

Demi melihat bulir air bening yang mengalir di pipi Kupret, sebagai orang tua pertahanan kekuatan hatinya perlahan terkikis. Papa Kelelawar nampak menerawang ke atas langit-langit. Dalam dadanya berkecamuk perang batin. Antara idealisme, pendirian sikap melawan rasa sayang dan cintanya pada Kupret, putri satu-satunya.

Dengan langkah pelan dan sedikit gontai, didekatinya Kupret yang masih setengah sadar.

"Anakku. Baiklah, demi rasa sayangku padamu, minggu depan Cebi boleh datang ke mari melamarmu."

Mendengar sang Papa berbicara seperti itu, perlahan mata Kupret membuka. Ia tersenyum, lalu bangun dan memeluk Papanya dengan hati berbunga-bunga."

*

"Mas Cebi. Aku punya kejutan buatmu."

"Kejutan? Sepertinya aku tak akan terkejut."

"Yakin?" Cebi hanya tersenyum. Rasa tagu menyelimuti pikirannya. Ia menebak-nebak apa yang mau dikatakan Kupret. Ia siap-siap dikerjai seperti biasanya saat Kupret berulah nakal. Seperti pernah dilakukannya saat memberi hadiah Cebi berupa ular mainan yang sempat membuat Cebi berteriak kaget dan takut.

"Mas Cebi minggu depan boleh melamarku."

"Hah? Yang bener? Semudah itu Papamu memberi izin? Padahal aku sudah siap dengan segala penolakannya."

"Sekarang sudah enggak lagi."

"Hebat. Tapi, aku heran bagaimana kamu bisa secepat itu meluluhkan hatinya?"

"Kan kamu yang mengajari aku bermain drama di sekolah." Cebi mengernyitkan keningnya. 

"Drama? " Cebi masih belum ngeh. Lalu tak beberapa detik kemudian ia paham. "Ahahahaha, gila kamu Kupret." Cebi terbahak-bahak sekaligus hatinya merasa lega dan gembira. 

Sejak saat itu, mereka hidup bahagia dengan rahasià cintanya yang tetap terjaga. Dan berakhirlah perseteruan antara kodok dan kelelawar.

***