Cerpen | Parang Agus

Mince menggigil. Apa yang mesti ia urus lebih dulu: Anak-anaknya, stok makanan didapur, menolak tambang, atau parang suaminya?

Jumat, 29 Mei 2020 | 21:21 WIB
0
432
Cerpen | Parang Agus
Ilustrasi: Parang agus ( Aaa dari nausus )

Sejak berpacaran dengan Agus, Mince sudah yakin, parang lelaki itu terbuat dari besi pilihan. Mince mulai menyadarinya ketika mereka pergi ke semak-semak disekitar danau. Danau itulah yang kini telah menjadi salah satu obyek wisata kampungnya. Orang-orang menyebutnya Danau Nausus.

Dulunya, danau itu adalah tempat anak-anak muda menyelesaikan kegiatan berpacaran. Di sana ada hamparan padang rumput. Ada kuda-kuda liar milik warga. Ada pohon-pohon ampupu, beberapa pohon kelapa, dan batu marmer yang menjulang tinggi. Danau itu juga berada diantara perbukitan yang sangat indah. Suasana alamnya memang mendukung untuk mengungkapkan rasa dari hati ke hati.

Mereka berdua duduk ditepi danau sambil bercerita. Mince menyandarkan kepalanya pada bahu Agus, kekasihnya. Saat matahari mulai meninggi, Agus mengajak Mince membuat tempat berlindung dari beberapa dahan pohon. Disaat itulah, Agus mengeluarkan Parang tersebut. Pantulan cahaya dari parang itu seketika membuat dada Mince berdesir dan meletup. Ia sangat ketakutan. Ketajaaman parang itu membuatnya membayangkan luka menganga dan lelehan darah segar. Mince mulai merasa tenang, ketika parang itu digunakan oleh Agus untuk memotong beberapa cabang pohon yang hendak dijadikan sebagai tempat berlindung.

Parang itu sangat tajam. Agus memang mengasahnya setiap hari. Banyak orang dikampung mengagumi parang tersebut. Parang yang tak hanya tajam, tapi juga unik. Lantaran itu, Agus menggunakan parang itu untuk apa saja. Mulai dari mengupas tebu, mengupas ubi, hingga mengupas kelapa. Dengan parang itu juga, Agus memotong ranting kering untuk kayu bakar. Dan dengan parang itu pula, Agus mengukir nama mereka berdua disebatang pohon Ampupu. "Mycas": Mince & Agus.

Jika parang itu tak lagi digunakan, Mince akan meminta parang tersebut. Ia lalu menggunakan matanya yang tajam untuk memotong beberapa daun pisang yang ia gunakan untuk dijadikan atap untuk tempat berlindung.

Sudah lebih setengah hari Mince diajak berkelana keluar-masuk belukar dan naik-turun bukit. Ada-ada saja yang mereka lakukan. Bertukar cubit, bertukar pipi, dan kadang-kadang bertukar air liur.

“Sebilah parang mampu menghidupi satu keluarga, Sayang,” Agus berkata-kata seperti sedang berkhotbah.

“Parang juga lambang sikap kita. Parang biasa, tajamnya hanya bagian bawah. Bagian atas, tumpul. Parang ini berbeda, ia tajam di kedua sisinya.” Mince tidak mengerti betul maksudnya, tetapi cara Agus berkata-kata mirip Simson Hauteas, seorang pendeta lulusan Unkris Kupang yang sangat ia sukai. Mince selalu merasa dirinya mendapat kekuatan bila sedang berada di sisi Agus.

Setelah menikah dengan Agus, Mince baru tahu kalau suaminya itu ternyata jatuh cinta bukan kepadanya, melainkan kepada parang tersebut. Ia seakan tak bisa hidup tanpa parang. Setiap ke mana pun ia pergi, parang itu tetap bergantung dipinggangnya. Di malam pertama mereka menikah saja, misalnya, Agus terlebih dahulu menaruh parangnya di bawah kolong tempat tidur. Kadang, karena tergesa, Agus menaruhnya di bawah bantal.

Mince pernah protes soal itu. Menurutnya, menaruh parang di dekat tempat tidur itu tidak baik. Bagaimana kalau kita tiba-tiba kita bermimpi sedang berkelahi, dan parang itu secara tidak sadar kita cabut dari sarungnya lalu ditusukkan kepada orang yang tidur di sebelah kita?

Tapi protes Mince itu hanya ditanggapi dengan tawa oleh Agus. Agus menyarankan kepada Mince agar realistis saja. Mana ada orang bermimpi bisa mencari parang dan membunuh. Itu mustahil.

Parang itu, parang bermata dua. Lumayan panjang, kira-kira sepanjang tangan orang dewasa. Pegangannya terbuat dari kayu Akasia. Sedangkan sarungnya terbuat dari kulit Sapi.

Parang itu adalah pemberian kakeknya Agus yang telah menunggal 14 tahun lalu. Sebelum meninggal, kekeknya berpesan agar parang tersebut harus diberikan kepada Agus, cucu kesayangannya. Hal itulah yang membuat Agus sangat menjaga dan membanggakan parang itu. Kemana pun ia pergi, ia senang memasangnya di pinggang layaknya seorang TNI yang memakai sangkur.

Lintasan ingatan-ingatan manis tentang Agus dan parangnya itulah yang hingga kini menjadi pelipur risau bagi Mince. Terutama ketika kabar tentang penangkapan suaminya belum juga jelas.

Kejadian siang itu, memang agak aneh. Agus tiba-tiba menitipkan parangnya kepada Mince ketika mereka hendak menemui Pak Bupati.

“Bertemu Bupati tidak baik kalau membawa parang,” katanya pada Mince sambil tertawa kecil, sebagaimana kebiasaannya. Mereka menemui Bupati terkait tuntutan mereka untuk menolak tambang marmer disekitar desa mereka.

Menurut Agus dan kawan-kawan, lebih baik aktivitas pertambangan itu dihentikan saja. Alasannya, sejak tambang itu beroperasi, pohon-pohon disekitar danau itu selalu ditebang. Dampaknya adalah mata air yang dulu menghidupi desa tersebut kian menyusut. Sudah 4 tahun terakhir masyarakat didesa mereka mulai mengalami kekeringan.

Saat parang itu dititipkan kepada Mince, Agus langsung memintanya agar segera pulang dan menyimpan parang itu di tempat biasa, di bawah kasur dalam kamar mereka.

Saat itu, suasana di kampung mereka sudah mulai tidak aman. Di mana-mana terlihat masyrakat berkumpul dan orang bersorak, meneriaki pejabat pemerintah yang datang untuk menghentikan aksi masyrakat yang menolak pertambangan tersebut.

Mince pulang dengan tenang. Ia simpan parang suaminya itu baik-baik di bawah kasur. Ia memang tak punya firasat apa-apa kalau sejak saat itu, suaminya tidak bisa pulang lagi ke rumah. Ia hanya mendengar kabar burung bahwa suaminya sudah ditangkap oleh aparat keamanan. Sebelum ditangkap, suaminya dipukul oleh beberapa preman bayaran.

Ia lalu bertanya kepada setiap keluarga dan kenalan di kampung, tapi belum ada kejelasan tentang alasan suaminya ditangkap.

Tiga hari sejak kejadian tersebut, Mince akhirnya pergi kantor polisi untuk menjenguk suaminya. Tapi kata beberapa orang polisi, Agus belum bisa ditemui karna masih dalam pemeriksaan. Ia akhirnya pulang dengan dada penuh kerinduan dan kegelisahan.

Sudah lebih seminggu berlalu, Mince belum juga bisa bertemu suaminya. Sebetulnya, ia sangat rindu pada Agus. Sejak mereka menikah, itu adalah pertama kali ia tak bersama Agus selama seminggu. Selain itu, dia juga bingung ketika anak-anaknya menangis sambil memanggil-manggil Agus.

Keesokan harinya, Mince bersama beberapa masyrakat berinisiatif membuka pita berwarna kuning dipintu masuk menuju tambang itu. Saat hendak membuka, sempat terjadi cekcok dan pengusiran oleh beberapa aparat keamanan.

Belakangan ini mereka memang sering diusir jika mendekati tempat itu. Tempat yang dulunya mereka gunakan untuk bermain, mencari kayu bakar dan berpacaran.

Sejak pengusiran itu, Mince merasa selalu saja ada orang yang mengikutinya. Ia mulai menaruh curiga ada beberapa orang baru yang selalu mondar-mandir di dekat rumahnya. Kadang orang-orang itu pura-pura bertanya tentang sesuatu yang tak masuk akal. Ia pernah ditanya tentang status tanah dimana ia dan Agus tinggal. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berakhir dengan pertanyaan "siapa yang menyuruh mereka menolak tambang?"

Sejak saat itu, ia teringat suaminya yang ke mana-mana membawa parang. Parang yang dianggapnya bisa mewakili perasaannya. Mince pun bertindak demikian. Di saat teman-temannya berunjuk rasa menolak tambang di kantor Bupati, ia sengaja membawa parang suaminya. Di tengah kerumunan pengunjuk rasa, Mince terlihat digiring beberapa orang petugas keamanan. Mince diamankan karena sepanjang unjuk rasa terlihat mengancung-ancungkan parang sambil bertelanjang dada.

“Lepaskan suami saya dan kembalikan tanah kami. Jangan sampai parang ini bertindak tidak baik!” teriak Mince sambil sesekali menyunyah pinang.

Meskipun akhirnya Mince diperbolehkan pulang, parang suaminya itu disita aparat keamanan.

Beberapa minggu setelah itu, Mince melihat dirinya semakin tak bisa dipahami. Tubuhnya semakin kurus. Ia memang rindu pada suaminya. ia juga banyak pikiran. Ia juga berpikir soal tiga orang anaknya yag masih kecil. Ia juga berpikir soal stok jagung didapur yang kian menipis. Beberapa masalah itu menghantamnya sekaligus. Tapi yang paling berat adalah pertanyaan temtang kenapa suaminya ditahan.

Kemarin, Mince mendapatkan kabar mengejutkan. Pada siaran yang ia dengar lewat radio, diberitakan bahwa beberapa orang yang waktu itu ikut bertemu Bupati dan ikut berdemo sudah bisa ditemui. Mereka juga sudah bisa dikunjungi oleh keluarganya. Diberitakan juga, salah seorang dari orang yang ditangkap pada waktu itu sedang jatuh sakit.

Seusai mendengar berita itu, Mince buru-buru berangkat ke tempat penahanan Agus. Ia bawa beberapa helai selimut dan pakaian suaminya. Ia juga bawakan makanan, minuman, serta beberapa pinang dan obat demam untuk Agus. Ia bawa juga segenap kerinduan bertemu laki yang sudah beberapa minggu lebih tidak ia temui.

Apa yang diterima Mince saat bertemu Agus sungguh di luar dugaannya. Belum sempat ia berkata-kata, Agus lebih dulu menghardiknya dengan makian dan amarah yang entah dia pendam sejak kapan.

“Apa yang kau lakukan dengan polisi itu, Mince?”

“Polisi yang mana?” Mince bingung.

“Polisi yang mengambil parangnya saya!”

“Hmm..Oh,tenang dulu biar saya jelaskan...”

“Tidak mungkin dia bisa mengambil parang itu kalau tidak datang ke rumah, dan masuk ke dalam kamar...dan...!” Agus tercekik.

Ia ceritakan kalau sehari sebelumnya ia sempat melihat polisi itu membawa parangnya.

Mince pun mencoba menjelaskan. Ia tidak terima dituduh macam-macam. Tapi penjelasannya tidak ditanggapi dengan baik oleh Agus.

“Anak kita sudah tiga, Mince. Tega sekali kau selingkuh. Belum sampai satu bulan saya tidak di rumah, kau sudah berani bawa laki-laki lain masuk ke kamar!” Agus semakin tidak mampu menahan amarahnya.

“Sekarang lebih baik kau pulang. Ambil parang itu kembali. Kalau saya pulang dan parang itu belum ada di rumah, saya akan ceraikan kau,” Agus membalikkan badannya dan berlalu ke ruang penahanannya dengan menjinjing bawaan Mince.

Mince menggigil. Apa yang mesti ia urus lebih dulu: Anak-anaknya, stok makanan didapur, menolak tambang, atau parang suaminya?

Kalau parang itu tidak ia dapatkan, entah apa yang akan terjadi dengan rumah tangganya.

Selama ini Mince selalu berprasangka baik terhadap masa depannya. Ia tidak pernah mengira kalau akan mengalami keadaan sesulit ini.

Rumah biru, Mey 2021.

***

Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe - Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Pokja OAT Nausus dan Pemuda GBKN. Ia sama seperti banyak orang yang kau temui dipersimpangan jalan.