Cerpen | Perempuan dalam Taksi

Dan saat pandanganku tertuju pada nama pengirimnya, jantungku tiba-tiba berdegub kencang dan terlempar jauh di lorong waktu.

Kamis, 9 Juli 2020 | 05:51 WIB
0
283
Cerpen | Perempuan dalam Taksi
pic: pixabay.com

"Posisi di mana, Pak?” suara seorang wanita dari whatsapp call.

“Jalan Raya Bogor, sebentar lagi sampai.”

“Ditunggu ya, Pak. Tidak usah masuk Cafe, saya di pinggir jalan.”

“Baik, Bu”

5 menit berlalu, aku mendapati seorang perempuan paruh baya dengan gestur tubuh mengamati mobil-mobil yang melintas di depannya, di pinggir jalan depan Cafe OTW, Margonda.

Tiba giliran ia menatap ke arahku,  sambil sesekali menatap layar HP di genggamannya lalu pandangan matanya tertuju pada bagian depan mobil yang kukemudikan. Kurasa ia sedang mencocokkan plat nomor mobil ini apakah sesuai dengan aplikasi.

Perlahan ia mendekat dan aku meminggirkan mobil. Kubuka kaca jendela depan.

“Dengan ibu Wini?”

“Betul.”

Setengah tergesa ia membuka pintu belakang, lalu masuk ke dalam mobil. Ia mengambil posisi duduk dengan sedikit menghempaskan tubuhnya.

“Selamat malam, Bu.” sapaku berusaha ramah, sebagaimana protokol yang biasa dilakukan driver taksi daring.

Ia membalas dengan salam yang sama. Namun nada suaranya sedikit tertahan dan bergetar. Dikendorkannya setelan tempat duduk hingga sandarannya sedikit landai, tetapi seperti tak cukup untuk membuatnya santai.

Dari kaca spion aku melihat tatapan matanya yang kosong. Seperti ada kilau bening di kelopak matanya. Ia menarik nafas cukup dalam untuk kemudian mengeluarkannya perlahan, seperti hendak melepas beban super berat. Entah beban apa yang sedang memberatkan perempuan itu.

Pukul 23.00 WIB menjelang larut malam, aku off-kan tombol penerimaan order di sisi kanan bawah aplikasi driver.  Kupastikan ini penumpang terakhirku untuk hari ini. 

Baru satu kilometer perjalanan,  sayup-sayup terdengar suara lirih. Kupikir suara itu berasal dari radio. Aku cek dashboard, posisi radio off. Aku bingung mencari-cari sumber suara itu. Kulirik kaca spion belakang.  Dalam cahaya remang aku masih bisa melihat perempuan itu menutup sebagian mukanya dengan sapu tangan biru. Tapi masih terlihat  di bagian yang lain. Rona wajah memerah dan mata yang sembab. Perlahan buliran bening mengalir di pipinya.

“Bu..” setengah ragu aku mencoba menyapa.

Suaraku tercekat. Ia pun tak menyahut, seperti tak mendengar sapaan orang di dekatnya. Setelah itu ia terisak kembali. Sesekali tangisnya pecah. Kedua tangannya ditutupkan kembali ke wajahnya.

Aku serba salah. Jika membiarkannya kok kasihan. Tapi jika ingin menolong, pertolongan apa yang pantas kulakukan? Posisiku hanyalah driver yang bertugas menjemput dan mengantar pelanggan ke sebuah tujuan. Sampai di tujuan selesai sudah urusan. Penumpang perlu waktu, aku perlu uang. Itu saja.

Tapi jika melihat perempuan berurai air mata, bagaimana aku bisa diam saja melihatnya?

Perempuan itu membuka tas Gucci warna coklat keemasan yang ditenteng di lengannya. Selembar tisu terangkat, lalu diusapkan ke pipinya yang basah.

“Maaf, ya Pak. Aku tak bisa menahan diri.” Tiba-tiba suaranya memecah kebisuan dan pekatnya malam.

“Oh, gak papa  Bu. ” jawabku singkat meskipun ingin melanjutkan pertanyaan lebih jauh lagi.

Padahal dadaku bergemuruh pertanyaan. Ada apa? Apa yang terjadi? Mengapa sampai pulang larut seorang diri? Kenapa tidak telpon suami? Tapi lidah ini kelu dan merasa tak pantas mengutarakannya.

“Ibu sakit?” Ah pertanyaan apa pula ini. Aku benar-benar bingung mau mulai dari mana atau harus tetap diam saja menyaksikan perempuan yang tak kukenal sesenggukan di dekatku?

Perempuan itu menggeleng. Ia tetap enggan berkata-kata. 

Sekali waktu cahaya lampu jalan merasuk ke dalam mobil. Sekilas menerpa wajah perempuan itu. Sekelebat aku sempat melihatnya dari kaca spion. Rambutnya sebahu dan model wajahya eksotis tapi bersih seperti wajah-wajah umum orang Indonesia. Wajah yang mengingatkan masa lalu. Ia sempat pula memperhatikan aku, entahlah apa yang dipikirkannya. Tapi buru-buru ia mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Melalui aplikasi driver, google map menunjukkan bahwa 3 menit lagi perjalanan akan sampai di titik tujuan. Waktu sudah menginjak pukul 23.30 WIB. 

Sudah saatnya perempuan itu istirahat dan melepas seluruh kekalutannya di rumah sendiri. Karena aku juga harus segera pulang ke rumah, melepas lelah dan seribu tanya yang ingin aku lupakan pada perempuan itu.

“Pak… ” Lagi-lagi ia menyapaku, dengan tekanan kata yang sengaja ia tahan. Seolah menunggu responku sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Tolong putar balik saja. Saya tak ingin cepat pulang.”  Aku dibuat tercengang mendengar kalimat susulannya. Sebab malam sudah larut, sebentar  lagi hari akan berganti. 

“Hah? Ibu mau ke mana? Malam sudah larut. “

“Saya mohon, Pak.  Antar saya menghabiskan waktu malam ini." aku terkesiap mendengar permintaannya.

"Ke mana?" 

"Entahlah, mutar-mutar saja di seputaran Jakarta."

“Waduhh... Tapi. Bu... “

“Tolong, Pak. Nanti saya bayar.”

“Bu, mohon maaf. Ini bukan soal biaya. Tapi malam sudah larut, sangat tidak tepat untuk menghabiskan malam di luar sana. Kurasa Ibu lebih baik beristirahat di rumah.“

“Saya mengerti, Pak. Tetapi saya sedang tidak ingin pulang.”

“Maafkan saya. Saya tak bisa mengantar Ibu. Saya harus pulang, karena besuk pagi-pagi saya harus berangkat bekerja lagi.” perempuan itu terdiam. Dan aku masih belum paham tentang apa yang terjadi dengannya. Semoga ia masih memiliki kaki yang berpijak ke tanah, bukan perempuan yang selalu menggoda tukang sate di malam yang larut sambil minta dibuatkan sate 200 tusuk.

Duh...bulu kudukku langsung berdiri membayangkannya. Apalagi saat melewati taman makam Pondok Rangon dan memandang deretan batu nisan berjajar ditemani keremangan cahaya lampu di sekitarnya. Aku berdoa semoga dia tidak minta diturunkan di area pemakaman itu.

“Ya, baiklah... aku pulang saja." ia luluh. Atau galau?  Tapi aku lega meski kalimatnya menyiratkan kekecewaan. Karena ia berubah pikiran dan bukan makhluk seperti yang kutakutkan.

Rasanya seperti terlepas dari sandera, atau tali yang menyesakkan dada. Akhirnya tuntas sudah order terakhirku dan kelelahan ini harus mendapatkan obatnya.

Beberapa hari setelah itu. Setelah aku menyelesaikan order dari penumpang perempun paruh baya itu. Di saat aku berbenah arsip dan dokumen. Dengan tanpa sengaja aku menemukan sepucuk surat yang terselip di antara lembaran-lembaran file. Surat dengan amplop motif daun waru yang tersimpan lama di rak bukuku. Entah sudah berapa puluh tahun tak tersentuh kecuali debu.

Dan saat pandanganku tertuju pada nama pengirimnya, jantungku tetiba berdegub kencang. Terlempar jauh ke lorong waktu. 

Astaga, aku tak percaya!

***