Apapun kejadiannya, yang pasti konser di Gelora Senayan itu merupakan konser musik rock terbesar yang pernah digelar di Jakarta, bahkan sampai saat ini.
Peralatan musik super grup Inggris Deep Purple itu semestinya sudah harus ditata di panggung Gelora Senayan sejak jam 12 siang. Tetapi sampai siang hari Kamis (4/12/1975) peralatan masih ditahan di pabean Tanjungpriok. Pabean mencurigai peralatan panggung yang jumlahnya sangat besar itu diselundupkan untuk dijual ke Indonesia.
“Urusan baru beres sekitar jam 3 siang,” kata Denny Sabri pada saya. Denny adalah wartawan majalah musik Aktuil yang mendatangkan grup musik super dari Inggris itu, bersama promotor pertunjukan Buena Ventura. Padahal malam hari itu adalah hari pertama konser Deep Purple di Jakarta.
Sekitar pukul 18.00 peralatan musik, sistem suara, tata panggung dan lampu-lampu pentas baru selesai ditata. Bagian samping kiri-kanan dan belakang panggung berukuran hanya 15x30 meter itu dipenuhi tumplek-blek perlengkapan musik dan sistem suara Deep Purple. Ada kalau cuma tiga meter tingginya, menjulang seperti pencakar langit di panggung. Bagian alas tumpukan di kiri-kanan panggung itu dipakai pijakan lampu spot. Sementara di deretan atas kepala, berjajar memanjang dua baris lampu hijau, kuning, merah dan biru. Ada kalau cuma seratus buah lampunya. Disangga tiang-tiang tinggi menara lampu.
Di bagian terdepan bibir panggung? Berjajar lampu kaki dan juga mesin-mesin dry ice, penghembus asap kering untuk atraksi panggung. (Peralatan-peralatan panggung yang berjumlah besar dan beragam ini menjadi pelajaran tersendiri bagi penata-penata panggung di Jakarta, untuk sebuah konser terbesar yang pernah diselenggarakan di Tamah Air). Mepetnya waktu menata panggung super grup ini membuat aksi pentas band kebanggaan Tanah Air, God Bless, batal tampil membuka konser Deep Purple di hari pertama. Mereka hanya tampil di pembuka konser hari kedua, 5 Desember 1975.
Formasi Mark IV
Sehari sebelumnya, Rabu siang 3 Desember 1975, rombongan besar grup musik rock Deep Purple ini tiba di Bandara Kemayoran Jakarta dari Australia, sebelum meneruskan perjalanan konser mereka ke Jepang dalam rangkaian tur Australia, Asia dan Amerika mempromosikan album terbaru mereka, Come Taste the Band. Merupakan album ketiga Deep Purple, yang tak mengikutkan personel lama mereka vokalis Ian Gillan, serta gitaris Ritchie Blackmore.
Pesawat Boeing 707 TransAir itu membawa personel mutakhir Deep Purple – yang mereka sebut sebagai formasi Mark IV – yang terdiri dari gitaris baru Tommy Bolin pengganti Ritchie Blackmore – serta vokalis David Coverdale, pengganti Ian Gillan. Formasi lain masih diisi pemain yang sama sebelumnya, drummer Ian Paice, keyboards Jon Lord, serta pemain bass Glenn Hughes. Tommy Bolin gitaris asal James Gang juga mengisi vokal latar, seperti juga Jon Lord dan Glenn Hughes.Mereka langsung menuju tempat press conference (lihat foto) di Hotel Sahid Jaya di Jalan Sudirman Jakarta, meluncur menggunakan enam mobil.
Deep Purple berhasil digaet singgah berkonser di Jakarta oleh Denny Sabri, yang mengenal dekat manajer tour, Rob Cooksey. (Versi DeepPurpleNet, sempat terjadi renegosiasi dari semula satu kali konser di depan sekitar 8.000 penonton, menjadi dua kali konser selama dua hari di depan penonton, dua kali 75.000-an). Denny Sabri mengakui, pihak tour Deep Purple sempat kecewa dan meminta tambahan dari semula bayaran manggung Rp 15 juta, menjadi sekitar Rp 45 juta. Sementara band pembuka, God Bless dari Indonesia, mendapat honor Rp 3 juta. Dari dua hari pentas, pihak penyelenggara Buena Ventura berhasil meraup sekitar Rp 150 juta.
(Saya menulis reportase konser ini, harus bersaing dengan berita-berita dalam negeri yang sedang hangat-hangatnya memberitakan Operasi Seroja, pasukan Indonesia ke Timor Timur yang mulai dilaksanakan 7 Desember 1975, atau dua hari setelah pentas Deep Purple. Reportase baru dimuat Kompas hari Rabu 8 Desember 1975. Sebagai bandingan nilai dollar terhadap rupiah, pada hari yang sama dimuat iklan bioskop di Jakarta yang termahal di Garden Hall – kini Blok M Plaza. Karcis rata-rata bioskop Garden Hall Rp 1.300. Bandingkan dengan sinema XXI kini yang rata-rata Rp 50.000).
Super keras
Jika dibanding musik Deep Purple ketika formasi masih Ian Gillan dan gitaris Ritchie Blackmore, maka musik yang dibawakan vokalis David Coverdale dan gitaris Tommy Bolin ini jauh lebih kers. Meski demikian, mereka tak menampilkan aksi-aksi panggung yang aneh-aneh, selain bermain musik dengan tata panggung, tata lampu dan asap es kering. Tommy Bolin bahkan terkesan seperti orang mabuk.
Hari pertama masih teratur. Tetapi pada hari kedua? Keindahan musik hampir-hampir tidak bisa dinikmati oleh sebagian publik Gelora, lantaran suasana kacau. Pengamanan ekstra keras – maklum suasana batin Republik sedang genting menghadapi gejolak di Timor Timur – tak heran jika pengamanan di sekitar panggung pun ekstra keras. Lengkap dengan anjing-anjing pelacak dan anjing dobberman.
Bassist Glenn Hughes bahkan mengaku sempat menyaksikan dengan mata kepalanya, seorang remaja digigit anjing penjaga berdarah-darah. Sementara di antara penonton juga pada waswas terkena benda melayang, yang dilontarkan orang-orang yang memang mencari kerusuhan.
Malam kedua, Deep Purple mengakhiri pentasnya dengan “Highway Star” dan asap dry ice, lalu mereka bergegas turun panggung, melihat situasi penonton konser yang makin kacau.
Insiden di Sahid
Selain insiden kerusuhan di sekitar pentas hari kedua, Jumat 5 Desember 1975, sehari sebelumnya sebenarnya sudah terjadi insiden yang makan korban jiwa pengawal grup musik Deep Purple sendiri, Patrick Collins (31) yang terjatuh dari lubang lift setinggi 7 meter lebih. Sempat merangkak keluar lubang lift, namun kemudian meninggal di RS Cipto Mangunkusumo. (Berita tentang insiden ini saya tulis di Kompas Senin 8 Desember 1975 di halaman III).
Bermula selepas konser hari pertama, Kamis, Patrick (Patsy) Collins tengah bercumbu dengan seorang perempuan. Tiba-tiba mendapat gangguan dari body guard Deep Purple yang lain, Patrick Callaghan (35). Merasa tersinggung dan dalam keadaan mabuk, Patsy Collins menjotos Patrick Callaghan. Menurut keterangan yang diperoleh kepolisian, di antara kedua pengawal ini sudah sering terjadi perselisihan. Dikabarkan, meski sering bertengkar, kedua orang ini memiliki hubungan keluarga.
Perkelahian antara keduanya malam itu berlangsung sengit dan keras. Sialnya, Patsy Collins terpeleset ke lantai yang licin dan kepalanya terbentur tembok. Namun versi lain mengatakan, Patsy Collins menabrak pintu darurat khusus untuk saluran pipa air di tingkat 3 Hotel Sahid Jaya, dan kemudian terjungkal jatuh dari tingkat 8.
(Tentang insiden ini, bassist Glenn Hughes pernah mengungkapkan dalam wawancara, dan secara hiperbolik mengatakan “konser di Jakarta ini bagaikan sebuah neraka, dan bersyukur ia bisa keluar dari Indonesia hidup-hidup,” sehingga cukup mencoreng nama Indonesia di mata grup-grup musik yang akan berkonser di Indonesia di kemudian hari. Dalam wawancara lain terungkap, bahwa selepas konser hari pertama, manajer tour Rob Cooksey sempat ditahan otoritas kepolisian karena insiden kematian Patsy Collins ini. Juga sempat ditahan Patrick Callaghan. Masing-masing harus membayar US 2.000 dollar untuk mendapatkan paspor mereka kembali.)
Apapun kejadiannya, yang pasti konser di Gelora Senayan itu merupakan konser musik rock terbesar yang pernah digelar di Jakarta, bahkan sampai saat ini. Konser Deep Purple berikut di tahun 1984, tidak seheboh 1975. *
(JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas 1975-2012)
***
NB: Lumayan, sempat berfoto dengan gitaris Deep Purple Tommy Bolin setelah jumpa pers di Hotel Sahid Jaya, Jakarta (3/12/1975). David Coverdale cuma kelihatan bajunya berlengan kembang di kanan.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews