Cerpen | Pagi dan Lelaki Tua

Tak kukira anak dan bapak bisa berbeda jauh karakternya. Bagai gunung dan lembah. Atau bumi dan langit.

Rabu, 8 Juli 2020 | 08:51 WIB
0
255
Cerpen | Pagi dan Lelaki Tua
ilustrasi: pixabay.com

Pukul 7.40 AM. Di suatu pagi di awal tahun.

Menjelang pukul 08.00 AM , suasana pagi masih menyisakan rasa sejuk yang menenangkan. Belum terdengar bising oleh lalu lalang kendaraan. Tetapi ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Pecah oleh suara pemilik apotek yang tak berkenan menerima kehadiranku.

“Kenapa datang pagi-pagi? Aku tidak ada urusan dengan kiriman barang!” Nada meninggi terlontar oleh seorang lelaki berumur kisaran 65 tahun.

Aku memang baru pertama kali berkomunikasi dengan pemilik apotek ini. Biasanya kedatanganku dilayani oleh mbak Popi atau asistennya yang sangat ramah. Tak pernah aku mendapat pelayanan seperti halnya yang dilakukan oleh lelaki tua yang selama ini aku perhatikan tak pernah sekali pun tersenyum.

Lelaki itu sering kulihat berjaga-jaga di apotek. Tak pernah terlihat olehku ia terjun langsung melayani pengunjung. Setiap kali melihat lelaki itu aku seolah melihat sebongkah salju di kutub utara yang tak pernah mencair. Kokoh, dingin. Tetapi mampu membuat ciut nyali.

“Lain kali jangan ke sini pagi-pagi!”

“Maaf, Pak. Saya pikir bisa mengirim barang kapan saja.” Aku mencoba tetap tenang dan mengalah. Berharap bisa menurunkan suhu panas gunung berapi di wajah lelaki tua itu.

“Ini apa?” tanyanya setelah kusodorkan seberkas tanda terima barang berikut kopiannya.

“Ini bukti penerimaan barangnya pak. Lembar kopinya untuk Bapak, lembar aslinya untuk saya.”

“Apa-apaan? Ini kopian semua!” lelaki tua itu tak juga menyurutkan volume suaranya. Tatapan kedua bola matanya semakin menajam, seperti ingin memakan apa saja yang dilihat di depannya. Aku berusaha menyembunyikan helaan nafas agar tak terlihat betapa dadaku pun sesak dibuatnya.

“Maaf, Pak. Ini memang kertasnya fotokopian semua. Tapi saya kasih tanda angka 1. Slip asli dan angka 2. Slip copy untuk Pelanggan. Ini saya buat sendiri, karena belum sempat membuatnya di percetakan.” jawabku menjelaskan.

Lelaki itu akhirnya mau menandatangani berkas penerimaan barang. Masih dengan pancaran mata yang tak bersahabat. Kurasakan pagi ini tak secerah biasanya.

“Stempelnya, Pak” lanjutku mengingatkan.

“Apa lagi? Kamu ini benar-benar ngerjain orang ya? Lain kali kamu datang siang. Ini bukan pekerjaan saya!” lagi-lagi lahar panas menyembur dari kawah berapi seorang lelaki tua di depanku. Di pagi yang pastinya akan kuhindari andaikan waktu bisa kuputar kembali.

“Baik, Pak. Terima kasih.” ucapku sembari berusaha tersenyum walau agak dipaksakan. Mungkin ini senyum paling hambar yang pernah kusunggingkan seumur hidupku.

Duh. Mimpi apa aku semalam? Tak kukira anak dan bapak bisa berbeda jauh karakternya. Bagai gunung dan lembah. Atau bumi dan langit? Kalau bukan pelanggan, mungkin sudah aku keluarkan jurus Wingchunnya IP Man.

Bah!