Indonesia Terburuk Medali Emas Perkapita

Bagaimana mau memikirkan pembinaan prestasi berkesinambungan, jika posisi seorang menteri pun tidak berdurasi lama?

Minggu, 8 Agustus 2021 | 12:52 WIB
0
248
Indonesia Terburuk Medali Emas Perkapita
Kontingén Indonesia di Olimpiade Tokyo (Foto: bolasport.com)

Jika dihitung dari jumlah penduduknya, maka capaian prestasi Indonesia diukur dari sisi rasio perolehan medali emas Olimpiade Tokyo 2020, ada di kategori terburuk di dunia. Paling buntut di urutan 63 dari 63 negara peraih emas Olimpiade Tokyo 2020 di bawah Kenya, Afrika Selatan, Thailand, Turki, Filipina dan Etiopia. (2021@MedalsPerCapita)

Masih kalah dengan negeri-negeri berpenduduk mini dan relatif kecil seperti Bermuda (rasio tertinggi), Bahamas, Selandia Baru, Fiji, Kosovo, Jamaika, Slovenia, Estonia, Kroasia, Qatar... sepuluh besar terbaik urutan teratas menurut perhitungan rasio ‘Medali emas Per Kapita’.

Bermuda misalnya. Negeri berpenduduk 63.918 jiwa ini hanya mengirim dua orang atletnya, Flora Duffy di cabang Triatlon, serta Dara Alizadeh di dayung. Mereka memperoleh satu emas lewat Duffy di Olimpiade Tokyo 2020 kali ini. Negara terkecil di Olimpiade Tokyo 2020 yang bisa meraih medali emas. Rasio satu medali emas bagi Bermuda adalah 63.918. (Angka terakhir ini berasal dari jumlah penduduk negeri tersebut).

Bandingkan dengan Indonesia, yang mengirimkan 28 atlet terdiri dari 16 pria dan 12 wanita yang bertanding di 8 cabang. Dapat satu emas, maka rasio satu medali emas Indonesia adalah 269.603.400 (jumlah penduduk versi mutakhir Badan Pusat Statistik Indonesia) atau 273.523,615 menurut perhitungan jumlah penduduk Indonesia versi (2021@MedalsPerCapita).

Emas Triatlon yang diraih Bermuda melalui atlet Duffy Ini merupakan emas pertama dalam sejarah 85 tahun keikutsertaan Bermuda di Olimpiade. Bermuda sejak pertama kali ikut Olimpiade 1936 Berlin hanya pernah mendapat medali perunggu tinju kelas berat (81 kg) melalui petinjunya, Clarence Hill pada Olimpiade 1976 Montreal. 

Sementara Indonesia – meski dalam rasio medali emas perkapita kalah sama Bermuda – namun dalam hal catatan sejarah emas di Olimpiade, sebenarnya lebih bersinar dari Bermuda. Lantaran, sejak keikutsertaan Indonesia di Olimpiade 1952 Helsinki, Finlandia, Indonesia sudah mendapat delapan (8) medali emas. Semuanya di cabang bulu tangkis. Yang pertama kali, Indonesia mendapat dua emas sekaligus di Olimpiade Barcelona 1992 melalui Alan Budikusuma di tunggal putra dan Susi Susanti di tunggal putri. Di Olimpiade 1996 Atlanta satu emas dari Ricky Subagja/Rexy Mainaky di ganda putra. Olimpiade Sydney 2000 satu emas dari ganda putra Tony Gunawan/Candra Wijaya. Olimpiade Athena 2004 satu emas tunggal putra Taufik Hidayat. Olimpiade Beijing 2008 juga dari nomor ganda putra, kali itu Hendra Setiawan/Markis Kido. Olimpiade London 2012 nggak dapat emas. Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dapat emas ganda campuran Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir. Dan barusan, Olimpiade Tokyo 2020 Greysia Polii/Apriyani Rahayu untuk pertama kalinya di nomor ganda putri.

China, Korea dan Jamaika

China yang berpenduduk nyaris 1,5 milyar (1.439.323.776 jiwa) di Tokyo kali ini meraih 38 medali emas. Meski penduduk China seabreg, hampir satu setengah em, ternyata rasio medali emas perkapitanya jauh lebih baik dari Indonesia. Rasio medali emas China perkapita 37.876.941 (Indonesia 273.523.615). Dalam urutan medali emas perkapita pun terpaut sepuluh peringkat, China urutan 53, Indonesia urutan 63.

Korea Selatan, jika dibanding China memang kalah dalam total perolehan medali emas. Meski demikian, Korea memiliki rasio medali emas perkapita yang jauh lebih baik dari China. Perhitungannya, dengan total penduduk Korea Selatan kini mencapai 51.269.185 jiwa, dan perolehan 6 (enam) medali emas di Tokyo 2020 kali ini, maka rasio medali emas perkapita Korea 8.544.864. (Jumlah penduduk Korea 51.269.185 dibagi 6). Dalam jajaran rasio medali emas perkapita, Korea berada di urutan 32, lumayan jauh di atas China.

Negara Asia yang lebih baik rasio medali emas perkapitanya di atas Korea, hanyalah Jepang di urutan 28 (22 emas, perkapita satu emas 5.748.930 dari total penduduk Jepang 126.476.461 jiwa), dan Hongkong urutan 30 (1 emas, perkapita satu emas 7.496.981 dari total penduduk Hongkong 7.496.981 jiwa).

Negeri kecil namun rasio medali emas perkapitanya tinggi, adalah Jamaika, gudang pelari jarak pendek dan menengah. Namun, di Tokyo 2020 kali ini memang Jamaika cukup jeblok, hanya mendapat tiga emas – salah satu akibat dari sudah tidak bertandingnya superstar mereka, pelari top dunia dengan total raihan sembilan (9) medali emas di Olimpiade Beijing 2008, London 2012 dan Rio de Janeiro 2016 Usain Bolt. Bolt meraih tiga medali emas lari jarak pendek 100 meter, 200 meter dan estafet 4x100 meter pria, tiga kali olimpiade berturut-turut.

Di Tokyo kali ini tanpa Bolt, Jamaika meraih 6 medali emas. Merosot jika dibandingkan empat tahun lalu di Olimpiade 2016 Rio yang 6 (enam) emas dibandingkan kini 3 (tiga) emas saja. Berpenduduk hanya 2.961,167 jiwa atau hampir seperlima dari penduduk DKI Jakarta yang 10.562.088 jiwa, Jamaika di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro mengirimkan jumlah atlet terbanyak dalam sejarah keikutsertaan mereka dengan total 56 atlet (dua kali lipat atlet yang dikirim Indonesia ke Tokyo kali ini) namun hanya bertanding fokus di empat cabang utama, atletik, renang, loncat indah dan senam artistik.

Mencapai Asia Meraih Dunia

Capaian medali emas di Olimpiade bisa menjadi cerminan upaya setiap negara di dunia dalam membangun semangat sportivitas, sebuah semangat yang sangat diperlukan bangsa manapun untuk maju di kawasannya. 

Coba tengok balik untuk capaian prestasi olahraga di tingkat Asia dulu saja. Lantaran di percaturan dunia, Indonesia sempat melejit dengan emas pertamanya di Olimpiade 1992 Barcelona. Akan tetapi setelah 1992, Indonesia praktis hampir tidak beranjak maju kalau tak boleh dikatakan berjalan di tempat atau bahkan mundur. Indonesia hanya mengandalkan emas dari bulu tangkis.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dengan ‘politik mercusuar’nya, pernah membangun prestasi olahraga nasional secara sistematis. Mengirim teknokrat olahraga menimba ilmu di luar negeri, serta membina atlet-atletnya di cabang-cabang utama seperti atletik dan renang, sehingga muncul pelari jarak pendek yang berkelas Asia, seperti Moh Sarengat. Dan juga atlet atletik di nomor yang lain, seperti Carolina Rieuwpasa dan lain-lain. Juga peloncat indah Asian Games IV Lanny Gumulya. Soekarno ingin menunjukkan pada negara-negara tetangga di Asia, dan juga negara di luar Asia bahwa Indonesia negara besar yang tak hanya mampu menggelar Asian Games IV di Jakarta tahun 1962. Akan tetapi juga mengisi prestasinya. Persiapan untuk gelaran akbar di Asia itu tidak mendadak, atau tanpa persiapan apa-apa.

Setelah Indonesia terpilih oleh Asian Games Federation sebagai tuan rumah Asian Games IV dalam sidang tahun 1958, maka Soekarno pun mempersiapkan sarana dan prasarana olahraga untuk gelaran Asian Games 1962 Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, dengan bantuan Uni Soviet – negara terbesar di samping Amerika Serikat serta sekutu Eropa kala itu – Soekarno membangun stadion terbesar di kawasannya, Gelora Bung Karno berkapasitas 100.000 penonton. Juga, dibangun sarana dan prasarana bersatandar internasional kala itu untuk 15 cabang yang dipertandingkan Asian Games 1962, termasuk pula hall Istora Senayan untuk bulu tangkis andalan Indonesia. Dan pada saat digelarnya pesta olahraga Asia itu pada 24 Agustus s/d 4 September 1962, ikut serta sekitar 1.460 atlet dari 17 negara Asia. Belum termasuk Republik Rakyat China, yang belum bangun sebagai kekuatan olahraga Asia, apalagi dunia.

“Saya kagum sekali pada Indonesia pada waktu itu. Salah satu negara Asia paling maju, dengan prestasi olahraga terhebat di Asia,” ungkap seorang kenalan saya, seorang profesional muda bernama depan Kim, saat saya meliput Asian Games 1986 Seoul. Orang Korea, kata Kim, sungguh menengadah melihat Indonesia pada waktu itu (1962). Indonesia adalah raksasa Asia di samping Jepang.

Capaian prestasi Indonesia di Asian Games IV Jakarta? Juga tidak main-main. Indonesia di peringkat kedua dalam total perolehan medali Asian Games 1962 di bawah raksasa olahraga Asia waktu itu, Jepang. Indonesia meraih total 11 emas, 12 perak, 28 perunggu. Jepang tak terkejar siapapun dengan total 73-56-23 berupa medali emas, perak, perunggu.

Bandingkan dengan Korea Selatan, yang di Asian Games IV Jakarta 1962 itu hanya di urutan ke-6 dengan 4-9-10 emas, perak, perunggu. Tetapi berkat terpicu prestasi Indonesia di Asia yang menguntit di bawah Jepang di peringkat kedua? Korea Selatan di Asian Games XVIII tahun 2018 di Jakarta-Palembang, menyalip tuan rumah Indonesia cukup jauh. Pimpinan teratas klasemen medali dipegang China dengan total 132 emas, 92 perak, 65 perunggu. Disusul Jepang 75-56-74 emas, perak, perunggu. Kemudian Korea Selatan dengan total 49-58-70 emas, perak, perunggu. Tuan rumah Indonesia? Hanya di peringkat ke-4 dengan total 31-24-43 emas, perak, perunggu...

Indonesia di arena Olimpiade? Perak dan perunggu bertambah. Tetapi capaian emas tidak lebih tinggi dari Olimpiade 1992 Barcelona yang meraih dua emas. Selebihnya, di Olimpiade 1996 Atlanta, Olimpiade 2000 Sydney, Olimpiade 2004, Olimpiade Athena 2008, Olimpiade 2016 Rio de Janeiro dan terakhir di Olimpiade 2020 Tokyo cukup satu emas, satu emas, satu emas. Bahkan di Olimpiade 2012 London Indonesia tak dapat satu emas pun.

Cabang yang selalu mendapatkan medali emas? Dari Barcelona 1992, sampai sekarang medali emas melulu dari bulu tangkis. Justru sebenarnya, terlihat potensi Indonesia di cabang olahraga terukur, seperti yang dicapai Eko Yuli Irawan (angkat besi kelas 61 kg putra) yang menyabet satu perak, dua perunggu dari Windy Cantika Aisah (49 kg putri) serta Rahmat Erwin Abdullah (73 kg putra). Angkat Besi merupakan salah satu cabang potensial yang sudah semestinya diprioritaskan Indonesia, di samping cabang bulu tangkis yang menjadi tradisi emas olimpiade.

Akan tetapi olahraga-olahraga utama olimpiade, seperti Atletik, Renang, Senam, atau bahkan di olahraga permainan yang utama – seperti sepak bola? Indonesia masih jauh panggang dari api. Masih mimpi bisa mengejar ketertinggalan dari Korea, apalagi China yang sudah jauh terbang di awan. 

Di cabang olahraga terukur, olahraga utama olimpiade, harapan Indonesia di Tokyo 2020 memang hanya tertumpu pada pelari terbaik Indonesia, Lalu Moh Zohri yang pernah mengejutkan sebagai juara di Tampere Finlandia, di kejuaraan dunia yunior. Tetapi di olimpiade? Masih cukup jauh rupanya perjalanan Zohri, jika dibanding pelari terbaik Asia, Su Bing Tian yang catatan waktu larinya sudah konstan di bawah angka 10 detik. 

Itupun, Su Bingtian di final nomor 100 meter Olimpiade Tokyo, ia harus puas di urutan ke-6 dari total 8 pelari babak final. Padahal kurang apa? Catatan waktunya sudah dibawah 10 detik, yakni 9,98 detik (terbaik Su Bingtian justru di semifinal Tokyo 9,83 detik rekor baru Asia). Bandingkan catatan waktu Zohri yang masih di atas 10 detik 10,26 detik di heat 4 round 1 Tokyo dan gagal melangkah ke semifinal nomor paling bergengsi olimpiade, seperti yang pernah dicapai Purnomo Moh Yudhi di Olimpiade Atlanta (1996) serta Mardi Lestari di Olimpiade Seoul (1988). Meski demikian, usia Zohri masih muda, 21 tahun, jalan masih terbentang untuk memecahkan prestasi di bawah 10 detik di masa datang. Catatan waktu di sebuah kejuaraan atletik di Osaka dua tahun sebelum olimpiade Tokyo, Zohri pernah mencatat 10,03 detik. Cukup menjanjikan, dan tinggal selangkah untuk memecahkan pembatas waktu 10 detik di 100 meter.

Untuk bisa terpacu maju di cabang atletik, utamanya lari jarak pendek 100 dan 200 meter, setidaknya Indonesia memang harus memiliki 4 pelari sekelas Zohri, agar Zohri terpacu maju di nomor estafet 4x100 meter. Di cabang renang? Pernah berjaya di kolam Asia Tenggara di era Lukman Niode, Nanik Juliati Suwadji dan juga penerusnya Elfira Rosa Nasution. Tetapi sekarang tinggal impian, untuk bisa menandingi Singapura, bahkan Thailand di Asia Tenggara. Apalagi Australia jagoan dunia di kolam renang saat ini.

Indonesia memang pernah berjaya di Asia Tenggara, selau tampil sebagai juara umum sejak 1977-1997. Hanya sempat tak juara umum di Thailand 1985 dan 1995. Selebihnya, juara umum terus...

Indonesia pernah berjaya di olahraga Asia Tenggara, ketika seluruh pembinaan prestasinya ada di bawah lembaga yang tidak terlalu diguncang birokrasi, dan kepentingan politik sesaat seperti yang terjadi setidaknya pada satu dekade terakhir. Pembinaan olahraga berjalan melambat, setelah pucuk pimpinan tertinggi olahraga ada di tangan kementerian olahraga. 

Olahraga Indonesia mencapai puncak kejayaan di Asia Tenggara dalam rentang panjang, 1977-1997 ketika pembinaan olahraga prestasi masih ditangani lembaga yang relatif independen, KONI Pusat di masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Dadang Suprajogi, dengan melibatkan teknokrat-teknokrat olahraga macam MF Siregar, Harsuki dkk yang khusus dikirim untuk studi pembinaan olahraga ke AS di era Soekarno. Hirarki KONI (Komite Olimpiade Nasional Indonesia) waktu itu lebih ke Komite Olimpiade Internasional (IOC) ketimbang pada birokrasi pemerintahan.

Pada periode kementerian, ketika olahraga dipegang birokrasi pemerintahan, pembinaan prestasi surut. Itu bisa terjadi lantaran kebijakan pembinaan olahraga berubah-ubah, tergantung siapa menteri olahraganya.

Apalagi seorang menteri lebih terikat kepentingan politik partainya, ketimbang pembinaan prestasi dalam arti sesungguhnya. Dan durasi kepemimpinan pun lima tahun, sangat sarat dengan tarik-menarik kepentingan elit politik yang menguasai negeri. Sangat sering terjadi justru prestasi hebat atletnya, dimanfaatkan untuk popularitas politik birokrat di pemerintahan. 

Bagaimana mau memikirkan pembinaan prestasi berkesinambungan, jika posisi seorang menteri pun tidak berdurasi lama? Rentang waktu kekuasaan seorang menteri pun paling lama lima tahun, itupun penuh dengan gesekan kepentingan politik sesaat, yang tentu saja tidak memikirkan kepentingan bagi atlet untuk bisa berprestasi maksimal. Apalagi memikirkan masa depannya. 

Prestasi emas yang dibawa Greysia Polii dan Apriyani Rahayu semoga saja memicu pemikiran, bahwa prestasi olahraga itu juga bisa menyatukan bangsa, mencairkan sekat-sekat perbedaan, membangkitkan semangat kebangsaan, membikin setiap penonton Indonesia tersentuh dan sesenggukan untuk menggelorkan semangat Indonesia!

Semoga bonus mengalir yang bergelindingan untuk Greysia Polii, Apriyani Rahayu dan juga tentunya jangan lupa, Eko Yuli Irawan, Windy Cantika Aisah dan Rahmat Erwin Abdullah dan para pelatihnya juga diikuti dengan langkah konkret membangun prioritas pembinaan cabang-cabang olahraga yang menjanjikan masa depan prestasi Indonesia.

Terima kasih, Greysia dan Apriyani emasnya. Merdeka!

JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas 1975-2012)/

***