Kylian "Pele" Mbappe, Pesepakbola Perancis yang Humanis

di luar sistem mapan dalam industri olahraga yang kompetitif dan mahal itu, selalu ada nuansa-nuansa lain yang bisa diamati mencakup aspek-aspek historis, kultural, politik, juga sisi humanis.

Senin, 12 Agustus 2019 | 07:22 WIB
0
397
Kylian "Pele" Mbappe, Pesepakbola Perancis yang Humanis
Kylian & Wilfried Mbappe (Foto: facebook/Manuel Kaisiepo)

Ketika Perancis menaklukan Brazil 3-0 pada final Piala Dunia di Stade de France, 12 Juli 1998, Fayza Lamari, tengah hamil. 

Perempuan berdarah Aljazair ini bersama suaminya asal Kamerun, Wilfried Mbappe, adalah warga imigran di Perancis.

Sebagai penggila bola, pasangan suami-istri ini pasti ikut larut dalam perayaan kemenangan Perancis. Lima bulan sesudah itu, 20 Desember 1998, sang ibu melahirkan seorang putra: Kylian Mbappe !

Dua puluh tahun setelah kemenangan bersejarah di Stade de France, dalam pentas Piala Dunia 2018 yang berlangsung di Russia, Kylian Mbappe muncul sebagai bintang baru yang paling banyak menyita perhatian penonton, jurnalis, dan analis bola internasional.

Sebagai pemain termuda (19 tahun) dalam Piala Dunia kali ini, dan telah mencetak 2 gol, para jurnalis dan pengamat bola mulai menyebut Mbappe sebagai "Pele" baru! (sebenarnya Pele lebih "hebat" karena tampil dan mencetak gol di Piala Dunia pada usia 17 tahun !).

Tapi Kylian Mbappe, seperti juga semua bintang olahraga dunia, tidak muncul mendadak begitu saja! 
Mereka adalah produk dari suatu sistem yang secara ketat menerapkan etos kerja keras, disiplin, berlatih dengan memanfaatkan metode-metode ilmiah, dan terencana secara sistemik dalam suatu industri olahraga bernilai milyaran dollar!

Sekedar diketahui, setelah 3 industri potensial masa depan yakni industri media, industri kreatif, dan industri digital, diyakini yang ke-4 adalah industri olahraga yang akan semakin berkembang.

Nilai pasar dari tim-tim yang berlaga dalam Piala Dunia 2018 sungguh menggiurkan. Brazil dan Spanyol misalnya, masing-masing nilai pasarnya sekitar Rp16,5 trilyun, dan yang tertinggi Perancis dengan nilai Rp18 trilyun!

Saat Piala Dunia 2018 belum usai pun perundingan di bursa transfer pemain sudah dijajagi. Ketika Ronaldo pindah dari Manchester United ke Real Madrid tahun 2009, dia memecahkan rekor dengan nilai transfer 105, 65 juta dollar AS atau setara Rp1,5 trilyun. Konon seusai Piala Dunia kali ini Ronaldo sudah ditawar Juventus, tentu dengan nilai jauh lebih tinggi.

Belum lagi nilai transfer Neymar. Ketika pindah dari Barcelona ke PSG, nilainya 222 juta dollar AS atau setara Rp3,2 trilyun!

Berembus kabar Real Madrid tengah "menawar" Neymar dengan nilai transfer 360 juta dollar AS atau setara Rp 5, 1 trilyun. Fantastis!

Namun di luar sistem mapan dalam industri olahraga yang kompetitif dan mahal itu, selalu ada nuansa-nuansa lain yang bisa diamati mencakup aspek-aspek historis, kultural, politik, juga sisi humanis.

Mbappe senior, sang ayah, adalah imigran dari Afrika, seperti juga ibunya, Fayza Lamari, imigran asal Aljazair. Sejak dulu, tim Les Bleus selalu didominasi para migran. Sebut saja sang legenda, Zidane. Lalu ada Abidal, Dessaily, Malouda, Thiery, atau Thuram, imigran asal Karibia yang sudah 119 kali memperkuat timnas Perancis.

Dalam 23 orang anggota tim Perancis pada Piala Dunia 2018, selain Mbappe, ada 12 pemain keturunan imigran (Pogba, Kante, dkk).  Kenyataan ini membuat tim Les Blues ini tidak saja colourful, namun juga tim yang meyakini dan mewujudkan prinsip multikulturalisme!

Kita semua tahu, dan selalu trenyuh, membaca kisah perjuangan para migran dari "Dunia Ketiga", yang bermigrasi ke berbagai negara Eropa dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.  Ternyata tidak mudah. Diskriminasi dan rasialisme masih menjadi ancaman utama! Mereka harus berjuang keras menghadapi ancaman itu.

Tapi sebagian kecil di antara para migran itu bisa juga berhasil menembus sekat-sekat rasialisme dan diskriminasi tersebut. Salah satu sarana yang bisa membawa generasi migran ini ke jenjang sosial ekonomi lebih baik adalah olahraga terutama sepakbola.

Kylian Mbappe adalah salah satu contoh keberhasilan itu. Dia beruntung lahir dalam keluarga bola. Ayahnya adalah pelatih klub sepakbola lokal, tempat pertama Kylian kecil mulai dilatih secara profesional. Ibunya mantan atlit bolatangan. 

Dalam usia kanak-kanak Kylian diterima masuk akademi nasional sepakbola Perancis. Sejak itu kariernya terus melejit, dan pada usia 16 tahun sudah menjadi pesepakbola profesional!

Baru setahun lalu, Agustus 2017, Kylian Mbappe pindah dari AS Monaco ke Paris Saint-Germain (PSG) dengan nilai transfer Rp2,8 trilyun. Saat ini, di tengah riuhnya Piala Dunia 2018 di Russia, beredar kabar Mbappe sedang "dirayu" untuk pindah ke Real Madrid dengan nilai transfer 272 Euro atau setara Rp4, 5 trilyun. Fenomenal!

Tetapi barangkali yang fenomenal dari seorang pemuda 19 tahun Kylian Mbappe bukan terletak pada kelincahan kaki dan pergerakannya di lapangan hijau. Yang paling fenomenal adalah "hati"-nya, pribadi matang seorang bintang muda yang humanis.

Terlahir sebagai anak imigran yang hidup di kawasan kumuh dan miskin di pinggiran kota, Mbappe menghayati sepenuhnya makna kehidupan yang sulit. Maka tidaklah mengherankan, bonus Rp5 milyar dan gaji yang diterimanya pada Piala Dunia 2018 lalu diserahkannya seluruhnya kepada sebuah yayasan olahraga anak disabilitas di Perancis.

Itulah fenomenalnya Kylian Mbappe!

Tentu kepada kedua orangtuanya yang telah membentuk karakter luar biasa dalam pribadi sang anak, kita ikut ucapkan Selamat!

"Felicitations pour avoir gagne le match......Monsieur & Madame Mbappe......!"

***