Etika (Bisnis) Memotret Artis

Foto yang dihasilkan dari wartawan yang diundang, sungguh-sungguh tidak boleh dipakai untuk keperluan apa pun lagi, apalagi diperjualbelikan.

Rabu, 26 Januari 2022 | 08:49 WIB
0
383
Etika (Bisnis) Memotret Artis
Foto artis (Foto: Arbain Rambey)

Walau Anda wartawan resmi dan membawa undangan dari penyelenggara, memotret pertunjukan artis terkenal tidak bisa untuk seluruh pertunjukan. Biasanya pemotretan diizinkan hanya untuk tiga lagu pertama, bahkan pada artis super besar pemotretan hanya diizinkan untuk lagu pertama saja.

Memotret pertunjukan artis besar menyangkut uang dalam jumlah besar. Foto sang artis masuk dalam lingkaran “merchandise” atau barang tentang sang bintang yang bisa diperjualbelikan.

Suatu hari pada tahun 1995, satu hari setelah saya memotret seorang artis terkenal dan foto itu dimuat di harian Kompas, serombongan siswa SMU datang ke laboratorium cuci cetak foto Harian Kompas di Jalan Palmerah. Mereka minta izin untuk mencetak foto dari artis yang saya potret itu.

Waktu itu, negatif film dipinjamkan dengan cuma-cuma, dan para remaja itu mencetak foto-foto dalam jumlah sangat banyak.

Dan, beberapa hari kemudian salah satu anggota panitia penyelenggara pertunjukan menelepon saya dan mengatakan bahwa saya dan Harian Kompas sebenarnya tidak boleh mengkomersialkan foto-foto sang artis. Namun karena saya bisa membuktikan bahwa Harian Kompas tidak menjualnya, persoalan tidak melebar lagi.

Dalam pertunjukan-pertunjukan besar, udangan untuk memotret biasanya disertai perjanjian bahwa foto yang dibuat sang wartawan hanya dipakai untuk publikasi di media tempatnya bekerja saja.

Foto yang dihasilkan dari wartawan yang diundang, sungguh-sungguh tidak boleh dipakai untuk keperluan apa pun lagi, apalagi diperjualbelikan.

Foto-foto pertunjukan Michael Jackson di masa lalu yang diedarkan kantor-kantor berita, umumnya ada pemberitahuan batas tanggal pemuatannya.

Pada tanggal 1 November 2007 saat berlansung konser Beyonce di Jakarta, sempat terjadi kehebohan. Lebih dari seratus wartawan ingin masuk meliput dan memotret sementara undangan resmi panitia hanya kepada sedikit wartawan berkamera saja. Waktu itu akhirnya kompromi dilakukan, yaitu semua wartawan boleh masuk tetapi berdiri di deret paling belakang.

Demikian pula saat Thalia tampil di Jakarta 27 Agustus 1996.

***