Setelah Menyaksikan "Bumi Manusia"

Selain Ine, pujian layak juga diberikan pada penulis skenario Salman Aristo. Alur yang dibangunnya gak terlalu meleset dari novelnya.

Minggu, 18 Agustus 2019 | 22:37 WIB
0
748
Setelah Menyaksikan "Bumi Manusia"
Film Bumi Manusia (Foto: Facebook/Eko Kuntadhi)

Film itu ditutup dengan petikan dialog yang begitu saya hafal. "Kita kalah, Ma. Kita kalah," tangis Minke di hadapan mertua perempuanya yang luar hiasa.

Wajah Nyai Ontosoroh, yang begitu apik diperankan Ine Febriyanti, mengeras. "Kita sudah melawan, Nyo. Sekeras-kerasnya. Sehormat-hormatnya."

Petikan itu sama seperti paragraf terakhir dalam novel fenonemal karya Pramudya Ananta Toer. Saya ingat, ketika pertama kali menamatkan novel Bumi Manusia saat masih SMA, ada rasa perih yang menghujam. Bukan karena Minke harus melepaskan Annelis, istrinya, yang dirampas hukum kolonial. Tetapi juga membayangkan betapa nistanya hidup sebagai anak jajahan. Betapa tidak berartinya harga diri.

Dulu membaca novel Pram bisa dikategorikan subversi. Soeharto membenci segala sesuatu yang bersemangat revolusioner. Saya mendapatkan buku itu dari pedagang loakkan di terminal Senen. Seminggu saya puasa jajan hanya untuk membelinya. Membeli secara diam-diam.

Dan sehari penuh saya gak keluar kamar menghabiskan novel itu. Ketika mama menyuruh saya sekolah, saya beralasan sakit perut. Saya rasa mama tahu, bahwa saya sehat-sehat saja. Kebiasaan saya sejak lama, kalau sudah mendapat buku baru, saya mengunci diri di kamar. Kadang berbohong untuk bolos sekolah.

Sama seperti saat saya menghabiskan 'Di Bawah Bendera Revolusi' Soekarno yang tebal itu ketika SMP kelas satu. Saya juga dua hari bolos sekolah.

Ketika saya mendengar film "Bumi Manusia" diproduksi, saya degdegan. Ada kekhawatiran, film itu akan meruntuhkan segala imajinasi saya tentang sosok Minke. Yang paling saya takutkan adalah luruhnya sosok Nyai Ontosoroh. Bayangan Nyai Ontosoroh di kepala saya agak susah dilukiskan. Bayangan tentang keagungan perjuangan seorang perempuan. Untuk hidupnya. Untuk bangsanya.

Ada iklan novel dari sebuah penerbit di AS. "Bacalah novel ini sebelum Hollywood merusaknya."

Nyai Ontosoroh adalah perempuan desa, yang dijual ayahnya sendiri menjadi gundik Belanda, lalu tumbuh menjadi manusia mandiri. Ia belajar menyerap ilmu Eropa dari tuan Belandanya yang tiap malam menidurinya. Dan ketika kemunafikan Eropa merengut kehidupannya, ia melawan dengan keras. Kepalanya tegak. Ia, yang harga dirinya telah habis dicabik-cabik masa lalu, tidak mau menyerah begitu saja.

Akting Ine Febriyanti menyelamatkan imajinasi saya. Dari Ine, saya menemukan keindahan seorang perempuan kampung yang menjelma menjadi Singa. Dulu saya pernah menyaksikan monolog Nyai Ontosoroh yang dipentaskan Hepi Salma. Tapi saat itu Hepi terlalu revolusioner rasanya. Karakter perempuan biasa tenggelam dalam dialog-dialog cerdas dan filosofis. Juga pada ledakan semangat pembelaannya pada ketertindasan.

Selain Ine, pujian layak juga diberikan pada penulis skenario Salman Aristo. Alur yang dibangunnya gak terlalu meleset dari novelnya. Film berdurasi 3 jam ini berhasil mensesapkan hampir seluruh potongan kisah dari novel itu.

Hanya saja, wajah dan tubuh Iqbal Ramadhan, terlihat terlalu resik untuk tampil sebagai Minke. Wajahnya terlalu lembut untuk menggambarkan lelaki muda yang dalam darahnya mengalir semangat besar. Bahkan potongan badannya kurang ndeso. Iya, Minke anak Bupati yang sekolah di HBS. Tapi tetap saja ia anak Bupati di pelosok Jawa abad 19. Tubuhnya dibentuk dari alam agrikultur. Nah, guratan itu yang kurang menancap dalam potongan Iqbal.

Harus diakui, akting Iqbal cukup bagus. Tapi entah kenapa, dalam beberapa sekuel, saya masih melihat sosok Dilan berada di sana.

Apalagi plot-plot gambar yang dihadirkan Hanung Bramantyo agak kurang menggambarkan Indonesia abab 19. Saya berharap menemukan lelaki dan perempuan berwajah keras dan memanggul penderitaan di tanah jajahan. Tapi, saya hanya menemukan banyak perempuan desa berkebaya bagus. Dan berwajah bersih. Terlalu bagus dan terlalu indah untuk rakyat Indonesia di jaman itu.

Singkatnya : gambar dalam film ini kurang kumel.

Sebagai sebuah film yang diangkat dari kisah novel fenomenal, saya rasa beban berat dirasakan semua orang yang terlibat. Mereka pasti sadar. Gak mungkin memuaskan orang-orang seperti saya yang telah berkali-kali membaca Bumi Manusia. Tentu saya punya ruang imajinasi sendiri yang gak mau dirusak oleh sebuah film.

Bukan karena film Bumi Manusia yang semalam saya tonton kurang bagus. Tapi karena novelnya terlalu indah sehingga ada jeda imajinatif disana.

Jujur. Saya menikmati film itu. Saya terhanyut oleh ceritanya. Penggabungan imajinasi saya ketika membaca novel dengan adegan dalam film, membuat setiap dialog dan adegan jadi begitu meresap.

Setelah nonton film Bumi Manusia semalam. Saya kembali rindu membaca lagi novel tetralogi Pramudya : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Dan ketika membacanya lagi, saya tahu, imajinasi saya tidak seliar dulu. Film yang saya saksikan semalam telah berhasil memagarinya.

Saya memang gak mau nulis soal jalan cerita film atau novelnya. Sebab Anda adalah orang yang paling merugi jika mendapati kisah luar biasa itu hanya dari sumber kedua.

***