Pelajaran dari (Bakal) Hengkangnya Messi

Sejarah panjang suksesnya tiba-tiba dipenggal oleh seorang Londo. Seorang fatalis yang bahkan rela begitu saja meninggalkan tugasnya sebagai pelatih nasional negaranya.

Kamis, 27 Agustus 2020 | 10:15 WIB
0
352
Pelajaran dari (Bakal) Hengkangnya Messi
Lionel Messi (Foto: bola.net)

Akhir-akhir ini saya tak terlalu tertarik dengan berita politik lokal, nasional, maupun internasional. Membosankan, kalau tidak bisa dibilang makin gak puguh! Saya merasa lebih asyik mengikuti berita tentang super-star sepakbola favorit saya: Lionel Messi.

Terlalu banyak hal yang bisa saya pelajari daripadanya, sangat banyak. Ini adalah cara bagaimana kita memandang tatacara hidup pada hari ini. Bagaimana perubahan yang super-cepat itu bisa terjadi, tanpa pernah kita duga. Bahwa yang namanya sukses itu bisa sangat pendek dan bersifat relatif sekali. Bahwa uang itu juga bisa tidak memiliki arti sama sekali, pun ketika itu adalah bayaran termahal di dunia. Bahwa loyalitas itu adalah prett....

Dalam konteks ini-- sepakbola modern-- minimal ada empat hal yang berbeda, yang kadang dianggap satu. Semuanya saling tumpang tidih, seolah kawan pada saat tertentu. Padahal bisa menjadi saling melawan pada kali yang lain.

Pertama, klub itu sendiri. Di sini padanannya bisa apa saja, perusahaan, negara, oraganisasi atau apa pun itu. Pada manajemen modern, klub selalu dianggap superioritas. Ia adalah elemen tertinggi, terpenting melebihi apa pun. Dia adalah sejarah itu sendiri. Padahal dalam banyak kasus, klub, negara, atau apa pun itu format organisasinya bisa juga lumpuh, tak berdaya, bahkan mati dan dilupakan. Ia bisa saja tiba-tiba dianggap tidak penting, dicaci maki, bahkan dibunuh karena dianggap mengecewakan.

Pengamat akan selalu berjarak dengan mengatakan demikian, ia adalah pihak pertama yang akan menyalahkan siapa pun yang dianggap pantas disalahkan. Tapi tidak dengan klub, karena sekalipun ia seolah hidup, tetaplah ia yang paling mudah dibunuh.

Kedua, di bawah organisasi terdapat manajemen, atau dalam bahasa terkucluk-nya pengurus. Dalam kasus Liga Spanyol dan Jerman, pada umumnya klub adalah milik publik. Tidak seperti di Inggris, Perancis dan Itali, dimana klub bisa saja dikendalikan oleh perseorangan atau sebuah kongsi. Ia bebas diperjual-belikan, baik saat dianggap menguntungkan atau sebaliknya terus merugi.

Karena itu, sebenarnya yang suka ngefans klub2 tiga liga di atas. Satu2nya alasan mereka tetap ngefans, tentu melulu karena melihat si manajemen bisa jor-joran beli pemain untuk mendongkrak prestasi. Di sini duit berbicara, tak ada cua pasti klub akan begitu-begitu saja.

Sesuatu, yang anehnya justru diikuti oleh klub-klub besar di Liga Spanyol dan Jerman, yang sesungguhnya sangat populis dan demokratis. Sekalipun punya Tim Muda yang menjanjikan, memproduksi atau mengumpulkan pemaian-pemain yunior yang dipersiapkan sebagai pelapis senior. Mereka akhir-akhir ini, lebih suka beli pemain jadi sekedar memunuhi syarat publikasi. Tak ada pembelian, tak ada transfer pasti minim pemberitaan. Karena spekulasi dan rumor adalah komoditi itu sendiri!

Ketiga, para pekerja yang terdiri dari pemain, pelatih, official, dokter, tukang pijat, dsb-nya. Mereka ini dikontrak dan dibayar sesuai kapabilitas, popularitas, dan tentu saja kontribusinya bagi klub. Kontribusi bisa bermakna dua: memberi gelar atau sekedar tambahan pemasukan.

Dalam konteks Lionel Messi, ia berarti segalanya, ia telah memberi semuanya. Sehingga ia bisa bertindak sebagai apa saja: simbol klub, supplier gelar, mendatangkan cuan. Dalam konteks inilah, ketika roda berputar, setelah ia bergelimang dengan nyaris semua gelar yang bisa diperoleh klub. Mencetak rekor-rekor yang tak mungkin diperbaiki dalam waktu panjang. Ketika makin menua dan tiba-tiba pada titik nadirnya. Ia sangat mudah jatuh kecewa, lalu tiba-tiba berencana kuat meninggalkan tempat tumbuh, dimana semua hal luar biasa yang telah ia capai. Ia tiba2 juga menjadi a-historis!

Dan pada lapis keempat adalah fans-club. Kelompok paling besar yang menghidupi klub. Yang tahunya, klub harus selalu menang dan sukses. Tak peduli bagaimana prosesnya dan kadang mengabaikan intrik politik di dalamnya. Bila ingin disebut faktor kelima adalah pers, yang selalu menjadi "kompor" justru ketika sebuah klub sedang dalam kondisi turun. Ia adalah hakim yang sedemikian rupa, yang menjadikan posisi semua pihak di atas menjadi serba salah dan saling mencurigai.

Dan pada titik nadir inilah, posisi Lionel Messi hari ini!

Realitasnya Ia memang makin menua, tapi masih sangat dibutuhkan. Ia yang lagi marah, lelah, dan geram. Dicela sekaligus dibela. Dirayu, tapi sekaligus merasa dirinya akan dibuang. Segala kecamuk, yang membuatnya menjadi santapan media yang ternyata dimana-mana sama saja: paling merasa benar. Ia makhluk berwatak setan, yang sesungguhnya dibela hanyalah suaranya sendiri.

Klub-klub baik besar, menengah atau kecil sesungguhnya menunjukkan dirinya juga sebuah negara dalam bentuk lain. Ia juga bisa dikelola melampaui sekat-sekat negara. Ia bisa membuat olahraga yang sebanarnya tak lebih permainan olahraga itu sebuah agama, para pemainnya adalah para nabi, dan stadion tempat pertandingan dilakukan adalah rumah ibadah. Ia berhasil mengharu-biru, bahkan membawa Tuhan dalam setiap geraknya. Menjunjung tangan ketika melakukan selebrasi gol. Bersujud atas kemenangan. Dan menangis haru meminta ampun, ketika terpuruk kalah.

Ujung dari kisah Lionel Messi bagi saya adalah seorang algojo bernama Ronald Koeman. Kenapa RK yang dipilih? Ia adalah seorang yang typical orang Belanda-Kolot yang kaku, tegaan, dan sangat abai terhadap perasaan orang. Ia sedang berbicara tetang masa depannya sendiri. Ia adalah serorang algojo yang alih-alih menenangkan perang, ia adalah ia taka akan peduli tentang sejarah panjang kesuksesan dan kontribusi Messi. Ia akan fokus pada bahwa Messi adalah pembawa masalah yang tapi seolah ingin terus berkuasa. Hingga dilewati begitu saja, tak dianggap penting.

Dalam konteks ini: saya kok tiba-tiba bisa memahami perasaan seorang Soekarno yang seolah "kebencian"-nya terhadap orang Belanda kepati-pati. Nyaris di sepanjang hidup, hingga akhir usianya ia adalah penentang Belanda sejati. Ia tak pernah melihat sisi baik kolonialisme Belanda, semua harus dilibas habis tanpa ampun. Bahkan Papua yang tak tercatat dalam agenda awalnyapun, dilibas habis.

Sedemikian kesumat hubungan emosional keduanya. Tak heran jika banyak tokoh di bawah dirinya, namanya diabadikan sebagai nama jalan di Negeri Belanda. Nama Soekarno juga tidak pernah dianggap penting dan dirasa perlu dihormati. Sedemikian tegang dan kaku-nyakah keduanya?

Hal mana yang saya anggap salah satu legacy terburuk Sukarno bagi bangsa ini. Ia selalu mengisyaratkan jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi dalam realitanya sangat gigih menghapus jejak orang Belanda di tanah airnya....

Di sisi lain, membuktikan bahwa kekakuan orang Belanda, nggugu karepe dewe, dan rendahnya sikap respek kepada orang lain. Hal mana barangkali membuat Messi justru makin teguh ingin hengkang. Tapi kok saya mikirnya malah, jangan-jangan karena itu juga Belanda selalu gagal menjadi Juara Dunia. Biar pun selalu dipenuhi bakat besar yang nyaris tak pernah habis. Sekalpun selalu menghasilkan pelatih dan pemikir teori sepakbola yang makin modern. Tapi selalu dihinggapi nasib sial tak berkesudahan....

Messi, oh Messi. Sejarah panjang suksesnya tiba-tiba dipenggal oleh seorang Londo. Seorang fatalis yang bahkan rela begitu saja meninggalkan tugasnya sebagai pelatih nasional negaranya. Di mata Koeman, Messi itu tak lebih seekor kambing yang bisa disembelih ketika ia danggap tak diperlukan lagi. Dianggap masanya telah kedaluwarsa. Tak ada silih asah, asuh, asah lagi di dalamnya.

Dunia yang makin absurd, yang tak mudah dipahami. Kecuali mereka yang seolah selalu gampang paham...

***