Tapi sekali lagi, sambil torop pe bintang dilangit, saya berharap VCSI tidak berakhir di virtual atau angan-angan. Tapi kenyataan.
Diam-diam saya mengikuti perkembangan proyek raksasa bang Sahat Siagian yang ingin mengumpulkan 17.000 suara menyanyikan satu lagu "Sebelum Jagad Tercipta" bersama-sama.
Sebagaimana dijelaskan dalam laman SEMESTA INDONESIA yang merupakan paduan suara virtual pertama di Indonesia yang memiliki visi untuk menghubungkan 17 ribu orang di seluruh pelosok Nusantara untuk bersatu memuja Indonesia.
Lagu “Jauh Sebelum Jagad Raya Tercipta” sebagai kredo orang Indonesia: sebelum Tuhan menciptakan jagad raya, Dia terlebih dahulu merancang Indonesia.
Hiperbolik memang. Indonesia dirancang Tuhan sebelum Dia menciptakan jagad raya. Hingga mengundang senyum simpul.
Itu ketertarikan saya yang pertama.
Yang kedua, lagu tersebut genrenya Gregorian. Bukan pop atau dangdut. Yang susah untuk dibuat acapella ngasal. Jadi hanya yang bersuara emas saja dan menguasai teknik vokal yang bisa menyanyikan lagu itu.
Tapi tentunya bukan masalah, untuk mengumpulkan 17 ribu orang Indonesia yang mampu menyanyikan lagu itu dengan indah dan "grandeur".
Ketertarikan ketiga, adalah bagaimana teknik mixing 17 ribu suara itu. Sebagai orang yang mendalami sound engineering dan penikmat musik, saya sedemikian tertarik pada bagaimana memadukan 17 ribu suara dalam durasi lagu yang hanya 3.45 menit.
Masalahnya, saya mixing 6 track saja sudah ampun-ampun. Itupun dengan penyanyi tunggal dengan 3 penyanyi latar.
Saya membayangkan berapa ratus track yang digunakan untuk memasukkan 17 ribu suara? Remixingnya berapa kali? Sound editingnya seperti apa hingga 17 ribu suara itu berangkum semuanya.
Kemudian jika di remixing bagaimana menyetarakan kualitas audio dari microphone yang berbeda. Belum lagi menjaga kualitas audio yang di compress dan di compress lagi. Karena berapapun bit-ratenya, kualitas audio yang terus di compress akan turun. Terutama di suara tengahnya. Jika naikkan, bass dan treble nya bakal " lari".
Saya bicara begini karena bang Sahat mengumpulkan kelompok paduan suara dari berbagai daerah untuk disatukan. Dan dari berbagai rekaman video, suara itu direkam di Laptop. Bukan di studio yang kedap suara.
Lain halnya jika 17 ribu itu dikumpulkan dan dibagi menjadi 3 atau 4 group. Baru bisa di mixing dalam beberapa track. Tapi jika itu dilaksanakan berapa ratus microphone yang harus disediakan.
Tentu menelan biaya besar dan membutuhkan pengaturan yang luar biasa rumit. Karena tentunya VSCI tidak hadir hanya sebagai file audio tapi juga video. Berapa ratus juta yang harus dikeluarkan untuk menyewa slot satelit untuk merekam VCSI secara live. Berapa puluh kamera dan drone yang harus dipasang.
Kabarnya proyek Virtual Choir Semesta Indonesia terus tertunda. Tadinya virtual Choir itu akan diluncurkan tepat pada pelantikan Pak Jokowi. Namun sampai sekarang belum juga tayang.
Sebagai audiophile yang mempunyai minat besar dalam sound engineering, saya menduga bang Sahat menghadapi kendala besar dalam segi teknik mixingnya.
Jika berhasil, maka software yang dipakai bakal laku keras karena berhasil memadukan 17 ribu suara untuk menyanyikan lagu yang durasinya cuma 3 menit 45 detik. Sound engineernya bakal masuk Guiness Book of Record karena sangat jenius, mampu melakukan mixing sebuah komposisi dengan jumlah suara yang gigantik.
Tapi jika tidak berhasilpun saya maklum. Bahwa gagasan besar kadang gagal akibat kendala teknis yang tak terpikirkan sebelumnya.
Ini disebabkan karena gagasan besar dan kolosal itu langsung ingin diwujudkan atas dasar emosional yang membawa efek "Waw" tanpa sadar diujung ide ada efek "Waduh". Jadi tidak bisa dilaksanakan.
Tapi sekali lagi, sambil torop pe bintang dilangit, saya berharap VCSI tidak berakhir di virtual atau angan-angan. Tapi kenyataan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews