Mereka yang menyukai wayang acap terpesona. Pertarungan dua keluarga, keluarga Pandawa melawan keluarga Kurawa penuh drama dan pesan moral.
Dua keluarga itu memperebutkan kerajaan Hastinapura. Drama wayang tersebut berasal dari kitab Mahabrata. Itu kisah yang sangat heroik, dan penuh petuah filsafat hidup.
Apapun agama penggemar wayang: Islam, Kristen, Budha, Kong Hu Chu, bahkan tak beragama sekalipun, mereka larut dalam drama dan pesan moral kitab Mahabrata.
Bagi penganut agama Hindu, Mahabrata itu kitab suci. Mahabrata diyakini memang ditulis oleh Vyasa sekitar abad ke tiga sebelum masehi. Tapi penganut Hindu percaya Vyasa mampu menulis kitab tersebut karena dibantu oleh Dewa Ganesha.
Selalu ada keyakinan keterlibatan alam gaib, mahluk supernatural, di balik lahirnya kitab suci agama.
Dalam dunia modern, semakin banyak yang tak meyakini hadirnya alam supernatural dibalik kitab suci. Toh untuk kasus Mahabrata, mereka yang tak percaya Dewa Ganesha, bahkan yang tak meyakini agama Hindu, tetap dapat menikmati Mahabrata, mendapat inspirasi dari kitab itu.
Mengapa? Karena mereka menganggap dan memperlakukan Mahabrata sebagai karya sastra belaka.
Persepsi berbeda atas kitab suci menjadi realitas kunci masa kini dan masa depan agama. Bagi yang tak meyakini sebagian atau keseluruhan agama, tak meyakini dunia supernatural dibalik kitab suci, itu tak membuat agama mati. Agama hanya berubah bentuk menjadi sastra.
Indonesia, tepatnya Sulawesi Selatan, memiliki kasus agama dan kitab suci serupa.
Bagi penganutnya, itu kitab suci. Ia berasal dari sentuhan alam gaib. Tapi bagi yang tak percaya, apa yang dianggap kitab suci itu tetap memberikan inspirasi.
Kitab itu tetap menarik dipelajari. Mereka memberlakukannya tidak sebagai kitab suci, namun sebagai karya sastra belaka.
Itu adalah kasus La Galigo.
UNESCO di tahun 2011 menetapkan La Galigo sebagai Memory of the World. Ini satu hal yang luar biasa. Di mata dunia, di mata PBB yang diwakili oleh UNESCO, mereka mengakui La Galigo satu kekayaan dunia. Itu kisah yang berharga secara peradaban, yang perlu dilindungi. (1)
Tidak hanya dilindungi, UNESCO juga mengupayakan agar dokumen ini bisa diakses secara universal, salah satunya dengan dibuatkan versi digitalnya.
Memory of the World dimulai UNESCO di tahun 1992. Saat itu banyak sekali pemikir dan budayawan, juga pemimpin dunia menyatakan prihatin atas begitu banyak dokumen-dokumen tua yang berharga di luar sana, namun rusak ditelan masa.
Terjadi pula collective amnesia. Pelan-pelan peradaban baru, manusia di zaman ini melupakan apa yang pernah dibuat, karya-karya besar di masa silam. Padahal banyak inspirasi dan lesson to learn dari dokumen dan properti besar masa silam itu.
Maka diciptakan satu badan baru yang mengurus Memory of the World. Ini proyek yang mencoba melindungi dan memberikan akses universial kepada dokumen-dokumen berharga yang tua itu.
Hingga tahun ini, sudah lebih dari 381 proyek dari seluruh dunia, dari Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Australia, dikumpulkan oleh UNESCO.
Kita merasa tersanjung karena La Galigo salah satu dari Indonesia, salah satu dari Sulawesi Selatan yang ikut ditetapkan sebagai bagian dari Memory of the World.
Ini hal pertama yang membuat La galigo istimewa.
Hal kedua yang tak kita duga juga ternyata La Galigo dari Sulawesi Selatan ini, ia dianggap sebagai sastra terpanjang dalam sejarah. (2)
Sebelumnya kita menduga Mahabrata dari India sana, yang terpanjang karena Mahabrata terdiri dari 150 ribu bait. Begitu tebal kitab sastra Mahabrata ini.
Ternyata yang kita punya dari Sulawesi Selatan, La Galigo, itu terdiri 360 ribu bait. Ini berarti panjangnya dua kali lipat lebih dibandingkan panjangnya Mahabrata. Total dokumen yang tersisa saat ini sekitar 6.000 halaman.
Ketiga, yang membuat kita merasa istimewa, karena La Galigo dipentaskan dalam teater modern oleh sutradara Amerika Serikat bernama Robert Wilson. Kisah ini sudah dipentaskan ke berbagai negara di dunia, tidak hanya di Asia, tapi juga di Amerika dan Eropa. (3)
Yang membuat lebih istimewa lagi, bukan hanya karena ia dipentaskan di berbagai pentas yang sangat prestisius di dunia. Yang membuat kita lebih bangga ucapan dari Robert Wilson sendiri.
Menurut Wilson, La Galigo ini kisah mitologi tapi ia menyampaikan nilai-nilai yang sangat modern. Itu adalah nilai-nilai mengenai demokrasi, kesetaraan gender.
Misalnya kisah penciptaan manusia pertama di Bumi. Dalam kitab La Galigo, manusia pertama tidak diputuskan secara tunggal oleh satu kekuatan Dewa. Proses penciptaan manusia pertama diputuskan melalui musyawarah alam langit sana secara sangat demokratis.
Wanita dalam sastra ini juga tergambarkan sebagai tokoh-tokoh yang mandiri. Mereka seperti tokoh-tokoh yang sekarang kita kenal mewakili figur emansipasi wanita.
Kita pun kembali terpana. Di abad ke-14 di Sulawesi Selatan, sastrawan besar di sana sudah menggambarkan dan mengidamkan, juga mempopulerkan munculnya karakter wanita yang mandiri.
Menurut Robert Wilson, La Galigo itu ledakan kreativitas yang begitu dahsyat. Sehingga wilson hanya bisa mengekspresikan kitab itu melalui gabungan gambar, musik, dan tarian.
Menurut Robert Wilson, kata-kata modern tak cukup kuat untuk bisa menangkap kekayaan batin dan dinamika yang ada dalam novel itu.
Yang paling istimewa, La Galigo itu ternyata pernah dan masih menjadi kitab suci bagi sebagian masyarakat.
La Galigo, di samping Mahabrata, menjadi contoh nyata. Apa yang bisa dinikmati masyarakat umum sebagai karya sastra, ternyata ia adalah kitab suci dan agama bagi komunitas lain. Atau karya sastra itu pernah diyakini sebagai kitab suci dan agama dalam kurun waktu yang berbeda.
La Galigo menyampaikan kandungan moral, panduan hidup begitu dahsyat bagi kesadaran penganutnya.
Betapa Karya sastra masa kini ternyata kitab suci agama di masa lalu. Betapa kitab suci bagi sebagian orang ternyata karya sastra bagi orang lain.
La Galigo pernah dan masih menjadi kitab suci agama lokal Tolotang, yang berada di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. (4)
Acapkali komunitas di wilayah ini, mereka melakukan ritual-ritual dan menyampaikan panduan hidup, pedoman hidup dalam dan melalui kisah-kisah dalam La Galigo.
Uniknya, La Galigo memperkenalkan lima jenis gender. Kita sekarang memahami hanya dua jenis gender.
Kita mewarisi dari agama-agama Ibrahim, Kristen dan Islam, hanyab dua jenis gender saja. Yaknin lelaki dan perempuan.
Tapi kitab La Galigo memperkenalkan ada lima jenis gender. Di samping perempuan dan laki-laki, ada yang disebut calalai. Calalai ini manusia yang tubuhnya perempuan, tapi gendernya laki-laki. (5)
Ada juga calabai. Calabai ini tubuhnya laki-laki, tapi gendernya perempuan.Ada lagi bissu. Bissu ini gabungan dari semua gender. Ia tidak bergender, dan ini dianggap sebagai makhluk yang suci.
Bissu hampir sama posisinya dengan Biksu. Ia dianggap satu kelas yang dihormati. Banyak sekali kisah raja yang disahkan oleh para bissu.
Sama situasinya seperti raja di Eropa abad pertengahan yang disahkan oleh kepala gereja pada masa itu. Kepala gereja di Eropa sama seperti bissu di Sulawesi Selatan.
Perbedaannya adalah bissu ini bukan perempuan, bukan laki-laki. Bissu rangkuman dari semua gender.
Fenomena yang sekarang kita kenal dengan LGBT, itu sudah diangkat oleh naskah La Galigo. LGBT juga sudah diapresiasi sebagai variasi gender yang sama derajatnya.
Memang melalui tradisi agama Ibrahim, kita mewarisi pandangan yang negatif kepada LGBT. Namun hak asasi manusia di abad ke-21 menyatakan hak semua orang memilih hidup dengan LGBT.
Sekarang sudah lebih dari 22 negara di seluruh dunia yang melegalkan pernikahan LGBT di abad ke-21.
Kita terpana sekali lagi, sastra lisan di Indonesia, di Sulawesi Selatan. Di abad ke-14, 700 tahun sebelum lahirnya hak asasi manusia, sastra ini sudah mengapresiasi keragaman gender, termasuk apa yang sekarang dikenal dengan LGBT.
Apa isi kitab La Galigo? Ini sastra abad ke-14 yang panjang sekali, terdiri dari 12 jilid.
Ada kisah soal penciptaan manusia. Novel ini mengisahkan para dewa bermusyawarah untuk menurunkan manusia pertama ke bumi.
Akhirnya mereka bersepakat. Putra tertua mereka yang diberi gelar Batara Guru dipilih menjadi manusia pertama yang diturunkan ke bumi. Ia diturunkan di Ussu.
Ussu adalah wilayah yang kini berada di Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Tak heran, mengapa komunitas di sana sangat membanggakan kitab ini. Karena kitab ini mengajari mereka manusia pertama itu turun di wilayah sekitar Teluk Bone.
La Galigo juga drama cinta dari keturunan Batara Guru, dari keturunan manusia pertama.
Aneka novel besar, sastra-sastra besar di semua zaman berkurang daya pikatnya jika tidak berisi kisah cinta. Apalagi jika tak ada kisah cinta yang berakhir dengan tragedi.
La Galigo berkisah soal cinta Sawerigading. Ia salah satu keturunan Batara Guru yang juga menjadi pahlawan dari novel ini.
Saweri Gading sangat mencintai seorang wanita bernama We Tenri Abeng.
Namun ternyata We Tenri Abeng itu saudara kembarnya sendiri. Dua anak ini, Sawerigading yang laki-laki dan We Tenri Abeng yang perempuan, saling tak mengenal karena mereka dibesarkan di wilayah yang terpisah.
Ketika besar, Sawerigading mencintai We Tenri Abeng. Tapi We Tenri Abeng menolak cinta Saweri Gading.
We Tanri Abeng merupakan figur wanita yang mandiri. Ia merasa setara dengan laki-laki. Ia bebas untuk menerima atau menolak lelaki seperkasa apapun.
Sawerigading yang patah hati merantau jauh sekali dengan kapalnya ke Tiongkok, ke Malaka, Ternate, hingga Pulau Jawa.
Ia taklukan begitu banyak tokoh-tokoh dari negeri seberang sana, dengan hati yang patah.
La Galigo juga memberikan imajinasi kepada penduduk di Sulawesi Selatan, betapa nenek moyang mereka ini adalah pelaut yang gagah perkasa. Penakluk yang sukses.
La Galigo juga berisi panduan hidup dan rekaman masyarakat lokal era pertanian dan perdagangan di pesisir di abad ke-14. Ini era Sulawesi Selatan, sebelum masuknya Islam.
Aneka kisah dalam La Galigo dinarasikan melalui gabungan antara realitas dan mitologi, gabungan antara peristiwa bumi dan langit.
La Galigo ini masuk dalam jenis genre sastra apa?
Dari yang kita telusuri, ia termasuk dalam genre epic poetry. Ini memang satu jenis novel yang banyak mengilhami cara menulis sastra kuno di zaman dulu.
Ini genre yang berupa puisi naratif yang sangat panjang sekali, ratusan halaman. Ia genre kisah kepahlawanan yang luar biasa, tokoh-tokoh yang maha perkasa, yang menaklukkan banyak hal, yang melindungi banyak hal.
Epic Poetry juga menyampaikan banyak sekali pesan-pesan moral yang menjadi panduan publiknya.
Dalam genre ini, tokoh pahlawan itu dikisahkan acapkali memiliki hubungan dengan dunia dewa-dewi. Itu karena memang umumnya sastra di era ini ditulis ketika level kesadaran manusia berada pada level mitologi.
Epic poetry umumnya menceritakan narasi, asal-usul manusia. Ia juga menceritakan identitas awal dari lahirnya sebuah bangsa.
Contoh besar epic poetry adalah "Epic of Gilgamesh". Ia dianggap sastra tertua yang pernah ditemukan. Gilgamesh berasal dari Mesopotamia, 4000 tahun yang lalu.
Di dalam Epic of Gilgamesh ada banyak kisah yang juga mitologi. Misalnya kisah manusia pertama, dan kisah banjir besar.
Epic of Gilgamesh sastra yang sudah hadir jauh sebelum lahirnya kitab-kitab suci agama Ibrahim. Ia sudah ada jauh sebelum Qur’an, jauh sebelum Bible, bahkan jauh sebelum Taurat.
Taurat yang paling tua sekali pun lahir 3.000 tahun yang lalu. Sementara Gilgamesh sudah ada 1.000 tahun sebelum Taurat itu ditulis.
Banyak kisah di Epic of Gilgamesh dianggap mengilhami kisah Adam dan Hawa, kisah Nabi Nuh. Kenapa dianggap mengilhami?
Banyak sekali kesamaan antara kisah-kisah Adam dan Hawa, dan kisah Nabi Nuh dengan kisah-kisah yang ada dalam Epic of Gilgamesh.
Dan kita tahu Epic of Gilgamesh ini sudah hadir 1000 tahun sebelum datangnya Taurat, 1.500 tahun sebelum datangnya Bible, dan 2.000 tahun lebih sebelum datangnya Al Qur’an.
Ke depan, apa yang akan kita lihat dari La Galigo ini? Naskah ini akan bertahan sebagai pertunjukan seni, sebagai teater. Hal yang kuno sekali pun, yang mitologi sekalipun tetap digemari untuk dikemas menjadi pertunjukkan seni modern.
La Galigo pun tetap bertahan sebagai sastra kuno. Ia akan memperkaya dunia. Sastra kuno tak hanya memilki Mahabharata, tak hanya menyimpan Ramayana. Tapi juga ada dalam koleksi itu ada La Galigo, naskah dari ujung timur Sulawesi Selatan.
La Galigo pun akan bertahan sebagai dokumen sejarah untuk memahami kesadaran masyarakat lokal Sulawesi Selatan tempo dulu.
Namun ada juga yang akan memudar dari La Galigo. Ia akan memudar sebagai narasi kisah manusia pertama. La Galigo dikalahkan oleh narasi agama Ibrahim yang mengisahkan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama.
Juga kisah manusia pertama La Galigo akan dikalahkan oleh narasi ilmu pengetahuan. Teori evolusi mengisahkan datangnya manusia sebagai proses evolusi dari hewan yang lebih rendah.
La Galigo juga akan memudar sebagai agama lokal dan panduan hidup.
Zaman terus berubah. Datang pengetahuan baru. Hadir narasi baru. Tercipta teknologi baru. Semua melahirkan kebutuhan baru yang tak bisa diakomodasi lagi oleh ajaran-ajaran La Galigo.
Kisah dalam kitab La Galigo yang pada masanya dianggap mencerahkan kini sebagian darinya menjadi sangat kuno.
Kita bersyukur kitab La Galigo sudah menjadi bagian dari heritage yang diawetkan oleh UNESCO.
Lebih bersyukur lagi karena kita Indonesia memiliki kasus nyata. Itu sebuah buku yang sangat penting, yang pada awalnya dijadikan kitab suci. Agama pun lahir dari kitab suci itu.
Namun zaman berubah. Aneka penemuan baru ilmu pengetahuan menjadi narasi yang lebih meyakinkan untuk kisah penciptaan manusia dan jalannya sejarah.
Toh kitab suci La Galigo itu tak ditinggalkan. Toh agama dari La Galigo itu tak hilang. Ia hanya berubah bentuk menjadi sastra.
Beberapa agama yang kini berjaya pada waktunya dapat pula hanya diapresiasi sebagai sastra seperti kasus La Galigo.
Denny JA
***
CATATAN
1. La Galigo diresmikan PBB menjadi The Memory of The World di tahun 2011
2. Ternyata La Galiho kitab terpanjang dunia mengalahkan Mahabrata
3. Robert Wilson mengangkat kisah La Galigo untuk pentas dunia teater modern
4. La Galigo pernah dan masih menjadi agama bagi penduduk tertentu di Sulawesi selatan.
5. La Galigo memperkenalkan lima jenis gender
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews