Bagi yang merasa pikirannya sempit ternyata mudah: jangan takut menggeser ufuk. Bagi yang merasa kemampuannya mentok, jangan takut ikut Bebi.
Apakah menjebol tembok sama dengan menggeser ufuk?
Saya merasa beruntung. Bisa akses Indosiar di mana pun. Saya bisa ikut senang melihat Fildan lolos empat besar --karena memang sangat pantas. Saya ikut sedih Weni tersisih --tidak pantas tersisih.
Saya juga bisa mendapat pelajaran penting: soal menjebol tembok. Dari Bebi Romeo. Salah satu juri acara D'Star di Indonesia itu.
Fildan juara dangdut Indonesia. Asal Bau-Bau, Buton. Lalu juara dangdut Asia. Dan kini masuk empat besar lomba antar juara.
Weni juara dangdut Indonesia. Asal Pontianak. Lalu juara dangdut Asia. Kemarin tersisih di enam besar. Hanya karena kalah SMS.
Bebi adalah penyanyi top Indonesia. Pencipta lagu. Jarang bicara. Sebagian ciptaannya dinyanyikan sendiri. Sebagian lagi dinyanyikan Krisdayanti (Mencintaimu), Chrisye (Andai Aku Bisa) atau Ari Lasso (Perbedaan).
Di arena dangdut pun ternyata ada ajaran filsafatnya.
Selama ini saya penganut filsafat 'geser ufuk'. Tapi lebih pada cara berpikir. Atau cara pandang.
Ajaran jebol tembok dari Bebi Romeo itu penting untuk siapa saja. Untuk orang tua bagi anaknya. Untuk anak itu sendiri. Agar tidak mudah mapan.
Awalnya Bebi harus memberi komentar pada Reza. Peserta asal Bandung itu. Yang secara teknis apa pun sudah sempurna.
Bebi mengibaratkan perjalanan dangdut Reza sudah sampai batas akhir. Tidak ada lagi yang bisa ditingkatkan.
Pilihannya tinggal dua: Jalan di tempat di dekat tembok itu, atau bahkan jalan mundur.
Ternyata, kata Bebi, ada pilihan lain: tabrak tembok itu! Jebol dinding itu!
Hasilnya bisa dua kemungkinan: temboknya jebol atau badannya sakit.
Kalau temboknya yang jebol, kata Bebi, Anda bisa mendapatkan jalan yang lapang. Ke mana pun terserah Anda. Tidak ada lagi tembok penghalang.
Kalau ternyata tidak mampu menjebol tembok memang berisiko. Dicaci maki. Dianggap eksperinmental. Tidak konsisten. Tidak taat asas.
Pesan Bebi itu rasanya tidak hanya untuk Reza. Juga untuk saya --dengan penuh penyesalan karena terlanjur tua.
Indosiar sendiri sudah menjebol tembok itu. Setelah punya banyak jenis juara, juara-juara itu yang dicarikan juara ya juara.
Semua orang melakukan perjalanan. Di kehidupan. Ada yang tidak kunjung sampai. Ada pula yang cepat sampai. Lalu merasa sudah sampai. Ada yang masih mempertanyakan 'apa arti sampai'. Di mana itu 'batas sampai'.
Pikiran, kadang mengendalikan badan. Tapi, kadang, badan mengendalikan pikiran. Ada juga yang mengatur diri dan pikiran. Antara badan dan pikiran berbagi sama rata.
Kian besar pikiran mengendalikan badan itulah kreativitas. Kian besar badan mengendalikan pikiran itulah belenggu.
Maka diperlukan teori 'menggeser ufuk'.
Orang Surabaya mengira matahari tenggelam di Semarang. Ia berjalan ke Semarang. Ingin melihat matahari tenggelam di sana.
Ternyata matahari tenggelam di Tegal. Ia pun berjalan ke Tegal. Ternyata matahari tenggelam di Cirebon. Dan seterusnya.
Pikiran ternyata tak terbatas. Seluas cakrawala. Hanya saja banyak orang yang tidak mau memperluas pandangannya.
Ada yang tetap berpikiran matahari tenggelam di Semarang. Tidak peduli dengan pandapat lain. Bahkan diajak ke Semarang pun tidak mau.
Hanya orang yang mampu menggeser ufuk bisa memperoleh cakrawala pikiran yang lebih luas.
Bagi yang merasa pikirannya sempit ternyata mudah: jangan takut menggeser ufuk.
Bagi yang merasa kemampuannya mentok, jangan takut ikut Bebi.
Dahlan Iskan
***
Keterangan: judul asli tulisan ini "Jebol Tembok", disesuaikan dengan kaidah Google Friendly dan karakter pembaca PepNews.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews