Juara-juara Pencetak Juara

Olahraga itu memang sebuah aktivitas sportif, yang mengasah seseorang untuk menjadi tajam, menjadi lebih kuat, lebih tinggi, lebih cepat

Kamis, 5 Agustus 2021 | 19:39 WIB
0
280
Juara-juara Pencetak Juara
Eng Hian dan anak latihnya (Foto: ayosemarang.com)

Fenomena juara mencetak juara sebenarnya sudah marak terjadi sejak era 1990-an setelah Olimpiade Barcelona 1992. Bahkan jauh sebelum itu. Dan seiring makin cairnya hubungan pemain serta pelatih antarnegara di bulu tangkis, membuat fenomena ini semakin marak melanda mantan pemain juara asal Indonesia.

Flandy Limpele (47) yang ikut berjasa melatih serta mematangkan permainan pasangan Malaysia, Aaron Chia/Soh Woi Yik untuk meraih medali di Olimpiade Tokyo 2020 adalah contoh mutakhirnya. Flandy adalah peraih medali perunggu Olimpiade 2004 Athena bersama pasangannya Eng Hian (44). Sedangkan Eng Hian dialah yang mengantar pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu meraih medali emas di Tokyo kali ini.

Di perebutan medali perunggu ganda putra bahkan lebih seru lagi. Diam-diam, terjadi adu strategi antara sesama Indonesia, meskipun yang bertanding di lapangan adalah pasangan Malaysia, Aaron Chia/Soh Woi Yik melawan pasangan Indonesia yang di atas kertas semestinya menang, Hendra Setiawan/Moh Ahsan. Kita tahu, Hendra Setiawan/Moh Ahsan bukan pasangan kemaren sore, apalagi mereka juara All England 2014 dan 2019.

Di pinggir lapangan, pelatih yang ikut mengatur strategi permainan Aaron Chia/Soh Woi Yik vs Hendra Setiawan/Moh Ahsan ternyata sesama pelatih Indonesia. Flandy Limpele di kubu pasangan Malaysia, dan di kubu Indonesia Herry Iman Pierngadi (58 tahun, lebih di kenal di lapangan dari sejak dulu sebagai Herry IP) adalah seniornya Flandy. Hasilnya, kita semua tahu, pasangan Indonesia Hendra Setiawan/Moh Ahsan digagalkan langkahnya untuk meraih medali perunggu Olimpiade Tokyo.

Sebelas Negara

Fenomena “Indonesia melawan Indonesia” di pinggir lapangan itu sebenarnya bukan hal yang tak jamak terjadi. Sudah lama terjadi, dan ke depan bahkan akan lebih sering terjadi. Bagaimana tidak? Menurut catatan terakhir, pelatih-pelatih yang berasal dari mantan pemain Indonesia, atau pelatih berkebangsaan Indonesia kini tersebar di setidaknya 11 negara di dunia. Terbanyak malah di Malaysia. Negara lainnya adalah Luksemburg, Italia, Finlandia, Belgia, Perancis, Swiss, Kanada, Jepang, Thailand, dan Guatemala.

Berikut ini adalah catatan nama yang saya dapat dari Hariyanto Arbi, juara All England 1993, 1994 serta juara dunia 1995. Menurut Hariyanto Arbi (49), negeri yang paling banyak mempekerjakan pelatih asal Indonesia saat ini adalah Malaysia. Ini juga dibenarkan oleh abangnya Eddy Hartono -- juara ganda All England 1992 bersama Rudy Gunawan – yang saya hubungi Rabu (4/8) petang.

Hariyanto Arbi (biasa dipanggil Hari di kalangan bulu tangkis) banyak mengetahui soal pemain negeri mana saja yang membayar pelatih Indonesia untuk mendampingi permainan mereka di berbagai pertandingan internasional. Sebab, sejak 2003, dari prestasi juaranya Haryanto Arbi mendapat lisensi khusus dari perusahaan alat olahraga Taipei untuk menggunakan merek khusus miliknya, Fly Power.

Dan lantaran kudu menawarkan produknya ke berbagai penjuru dunia, maka Haryanto Arbi sering bertemu mereka di berbagai kesempatan internasional. (Fly Power milik Hari ini malah memakai ‘brand ambassador’ peraih medali emas ganda campuran Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, Tontowi Ahmad).

Menurut Hariyanto Arbi, pelatih asal Indonesia yang kini melatih di Malaysia ada empat orang, Hendrawan, Flandy Limpele, Indra Wijaya dan Paulus Firman. Hendrawan (49) – peraih perak Olimpiade 2000 Sydney dan juara dunia 2001 – ia pelatih ‘pelatnas’ (pemusatan latihan nasional) pemain tunggal Malaysia. Hendrawan adalah kakak ipar pemain ganda Indonesia di Olimpiade Tokyo, Hendra Setiawan. Flandy Limpele peraih perunggu Olimpiade 2004 Athena melatih khusus ganda Malaysia.

Juga melatih di Malaysia, Indra Wijaya (47) abang kandung dari pemain nasional, Candra Wijaya (Candra Wijaya adalah juara ganda All England 2001 bersama Tony Gunawan, dan juara All England 2003 bersama Sigit Budiarto). Indra Wijaya adalah pemain asal Cirebon yang di era 1995-2000-an seangkatan dengan jagoan All England, Ardy B Wiranata (1991) dan Hariyanto Arbi (1993, 1994). Sebelum melatih di Malaysia, Indra Wijaya pernah tinggal dan bermain untuk Singapura di berbagai pertandingan internasional.

Paulus Firman (53) mantan pelatih Indonesia di pelatnas Cipayung – sudah melatih Malaysia sejak 2018. Pernah memegang ganda putra Malaysia, namun sejak 2020 ini ia mendapat tugas khusus menangani sektor ganda campuran Negeri Jiran ini. Ia ditunjuk sejak tahun lalu sebagai pelatih kepala di sektor Ganda Campuran.

Juara Melatih Juara

Rexy Mainaky (53) juga termasuk di antara pelatih juara yang mencetak juara. Ia kini pelatih kepala di Thailand. Ia didampingi Nunung Subandoro. Sebelum ini Rexy Mainaky juga pernah melatih pemain-pemain Malaysia terutama menghadapi kejuaraan-kejuaraan beregu Piala Sudirman, Piala Thomas dan Piala Uber. Sehingga tidak jarang ketika tim Piala Thomas Indonesia bertemu Malaysia? Ya di sisi pinggir lapangan, pelatihnya sesama Indonesia.

Ketika masih aktif di lapangan, Rexy Mainaky dan pasangan terbaiknya, Ricky Subagja tidak hanya pernah meraih gelar terhormat di percaturan bulu tangkis, All England pada 1995 dan 1996. Akan tetapi juga Rexy Mainaky/Ricky Subagja pernah mengharumkan nama Indonesia ketika meraih medali emas bulu tangkis ganda putra di Olimpiade Atlanta (1996).

Rexy sejak 5 Januari 2017 resmi direkrut oleh Persatuan Bulu Tangkis Thailand (BAT) sebagai Pelatih Kepala Bulu Tangkis di Negeri Gajah Putih tersebut. Sebelum ini, reputasi Rexy sebagai pelatih bulu tangkis di Malaysia pernah mengantarkan salah satu pasangan ganda putra terbaik dunia mereka, Koo Kien Keat/Tan Boon Heong untuk menjadi juara Asian Games 2006 dan juara ganda putra All England 2007.

Keluarga Mainaky memang keluarga bulu tangkis. Tidak hanya Rexy saja yang berkiprah di bulu tangkis. Juga bisa dibayangkan, jika lima dari tujuh bersaudara Mainaky hidup dan berprestasi di bulu tangkis. Setidaknya pernah berprestasi nasional atau yunior internasional. Atau malah bergelar juara senior seperti halnya Rexy. Lima dari tujuh bersaudara Mainaky yang pada berbulutangkis adalah Richard Mainaky, Rionny Mainaky, Rexy Mainaky, Marleve Mainaky dan Karel Mainaky. Ayah mereka, Rudolf Mainaky adalah pebulutangkis tahun 60-an.

Karel Mainaky adik Rexy, kini melatih di Jepang. Memang tidak secemerlang abang-abangnya Mainaky bersaudara prestasinya di kejuaraan bulu tangkis dunia. Ia hanya juara di turnamen-turnamen junior internasional Dutch Open, German Open. Namun Karel kini malah berhasil menjadi pelatih di Jepang bersama Harmono Yuwono. Karel Mainaky banyak mengantar pemain-pemain Jepang naik prestasinya.

Pelatih asal Indonesia lainnya yang berkelana di belahan dunia lain, adalah Hargiono. Pemain asal klub Djarum di Indonesia ini sudah sejak 1990-an menetap di Jerman, dan bahkan pernah menjadi juara di Saarbrucken Badminton Open tiga tahun berturut-turut dari 1993-1995. Dari prestasi di lokal Jerman ini, ia pernah terpilih sebagai salah satu olahragawan terbaik di Neunkircher, sebuah wilayah di Jerman sebelum akhirnya kini melatih di Luksemburg – negeri tetangga Belanda dan Belgia.

Nama-nama pelatih asal Indonesia lainnya yang melatih di luar negeri, dalam catatan Hariyanto Arbi, adalah Wisnu Haryo Saputra (Italia), Teguh Santoso (Finlandia), Indra Bagus (Belgia), Vidre Wibowo dan Agus Miming (Perancis), Tinton Gustaman (Swiss), Teddy Setiadi, Sandiarto dan Ronni Rontolalu (Kanada) serta Muammar Qadafi (Guatemala).

Tentang Muammar Qadafi ini juga hebat. Sebagai pemain, ketika masih di klub Djarum, prestasi biasa-biasa saja. Ketika menjadi pelatih di Guatemala? Ia mampu mengantar salah satu pemainnya, yang tiba-tiba bisa menyeruak sampai semifinal Olimpiade Tokyo 2020, Kevin Cordon. Kevin bahkan sampai menangis – bener-bener ‘mewek’ sangking tak percaya, bisa berhasil mengalahkan Heo Kwang-Hee dari Korea dan lolos ke semifinal olimpiade!

Meskipun di perebutan perunggu, upaya Kevin Cordon digagalkan pemain Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting untuk meraih medali olimpiade.

Fenomena nyata

Pelatih Indonesia membesarkan pemain dari belahan dunia lain, sungguh merupakan fenomena yang nyata-nyata terjadi di depan mata kita. Sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa tidak membesarkan saja pemain-pemain kita sendiri?

“Nggak bisa dihindari fenomena seperti itu. Di Indonesia sendiri, lapangan latihan sudah penuh. Mereka juga perlu berkarir, demi masa depan mereka...,” ungkap pelatih senior nasional, Christian Hadinata (71) yang saya hubungi Kamis (5/8) pagi. Mantan pelatih di pelatnas Cilangkap yang kini masih melatih di PB Djarum Jakarta ini menyodorkan analogi di dunia sepak bola.

“Morinho mantan pemain Portugal, melatih di Inggris. Dan banyak pemain sepak bola lain yang melatih di negara yang lain. Fenomena global seperti ini terjadi di manapun, tanpa bisa dicegah,” kata Christian, yang ketika masih aktif di lapangan pernah menjuarai ganda putra All England (1972, 1973). Hebatnya lagi, di 1973, Christian tampil di dua nomor final, tunggal putra dan ganda putra. Di tunggal putra (1973) kalah lawan Rudy Hartono.

Christian juga mengingatkan peristiwa maraknya prestasi bulu tangkis Republik Rakyat China pada era 1980-an, yang kemudian memunculkan sebuah kekuatan raksasa di bulu tangkis dunia sejak 1990-an.

“Prestasi bulu tangkis China juga tidak lepas dari tangan-tangan pelatih yang mantan pemain Indonesia,” ungkap Christian Hadinata pula. Indonesia masih dinina-bobokkan prestasi hebat pemain bulu tangkisnya pada rentang 1960-1970-an, sehingga sampai sempat memiliki “tujuh jagoan” yang di kalangan bulu tangkis dunia dijuluki The Magnificent Seven (Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat, Tjuntjun, Johan Wahyudi, Christian Hadinata, Ade Chandra), bawaannya Indonesia menang terus.

Ternyata di China, muncul pemain-pemain eks Indonesia – yang hijrah ke Tiongkok akibat krisis politik di Indonesia setelah era 1965 – seperti Wang Wenjiao, Chen Fushou seniornya, menyusul kemudian jago-jago dunia Hou Zhiachang, Tang Xienhu, Fang Kaixiang asal Jawa Tengah. Di putrinya juga punya jago-jago dunia asal Indonesia seperti Liang Chiushia, Chen Yuniang. Rata-rata mereka memang asal Jawa Tengah, kalau tidak Solo ya sekitar Semarang. Liang Chiushia bahkan adik kandung dari salah satu The Magnificent Seven Indonesia, Tjuntjun dari Jakarta.

Dari tangan dingin eks pemain Indonesia itu, kemudian muncul gelombang pertama jago-jago bulu tangkis dunia, seperti Yang Yang (juara All England 1989), Zhao Jianhua (juara All England 1990), dan ganda mereka yang merajai dunia di akhir 1980-an dan awal 1990-an Li Yongbo/Tian Bingyi. Tidak hanya juara di All England (1987, 1988, 1991) tetapi juga berbagai gelar dunia, dan membawa Piala Thomas ke China.

Christian Hadinata juga mengingatkan, ketika Indonesia harum dengan prestasi dunia melalui Rudy Hartono, Liem Swie King, Tjuntjun, Johan Wahyudi dan juga Christian, Ade Chandra, maka Senayan menjadi semacam kiblat bulu tangkis. Banyak pemain yang pengen berlatih lebih awal datang ke Jakarta, menjelang kejuaraan, untuk ber-sparing di Senayan. Mereka di antaranya pemain-pemain Denmark, Svend Pri – juara All England (1975) dan juga Morten Frost Hansen juara All England (1982, 1984, 1986, 1987). Sehingga mereka setelah bersparing, menjadi jago-jago bermain di udara panas seperti Istora Jakarta.

Salah satu pemain fenomenal yang lahirnya berkat sparring di Senayan ini adalah Prakash Padukone. Tahun 1976, Persatuan Bulu Tangkis India (BAI) mengirim surat pada Indonesia agar membolehkan pemain muda mereka Prakash Padukone (21 tahun waktu itu) untuk ikut berlatih di pelatnas Senayan. Dan pada 1979, Prakash pun datang bersama pemain India lainnya, Syed Modi, untuk berlatih-sparring di pelatnas Senayan beberapa bulan. Termasuk pula, ikut program latihan fisik khusus yang waktu itu di bawah pelatih terkenal, Tahir Djide.

Apa hasilnya? Hanya setahun setelah menimba ilmu, merasakan kerasnya berlatih di Gedung B Senayan (kini jadi Hall Basket) serta latihan fisik bersama Tahir Djide? Tahun 1990 Prakash Padukone tiba-tiba tampil sebagai juara All England dan sangat sering mempecundangi pemain-pemain Indonesia yang dulu jadi sparring berlatihnya....

Seperti juga kata Christian Hadinata, prestasi olahraga itu memang buah kerja keras latihan (exercising) dari hari ke hari. Olahraga itu memang sebuah aktivitas sportif, yang mengasah seseorang untuk menjadi tajam, menjadi lebih kuat, lebih tinggi, lebih cepat (Coubertin, 1906) berkat kerja keras.

Kalau hari ini kita menang, bukan tidak mungkin teman berlatih kita di lapangan yang biasa kita kalahkan, dialah juara barunya yang bisa jadi akan selalu mengalahkan kita di masa datang. Itulah uniknya olahraga.

****

JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas 1975-2012

Foto-foto Vidio/Champions/SHA
Pelatih Eng Hian dan Apriyani Rahayu, Eng Hian dan Greysia Polii/Apriyani Rahayu, pelatih Hendri Saputra dan Anthony Sinisuka Ginting, serta Tontowi Ahmad (kiri) Brand Ambassador produk olahraga milik juara All England (1993, 1994) Hariyanto Arbi, Fly Power. Tontowi adalah peraih emas Olimpiade 2016 Rio de Janeiro.
27 Komentar