Cerpen | Mesak Mati Diamuk Noelmina

Bergelimanglah ucapan syukur dalam kepalanya. Ia akan mengumpulkan pasir-pasir terbaik. Para juragan pasir akan membayarnya lebih.

Senin, 17 Mei 2021 | 20:01 WIB
0
293
Cerpen | Mesak Mati Diamuk Noelmina
Ilustrasi : Sungai Noelmina

Dari atas jembatan, ia memandang lepas deras arus banjir di sungai Noelmina yang kelam dan bergelombang bagai rambut ibunya. Matanya meredup, memperhatikan luapan air yang perlahan surut. Seperti biasa, bila luapan air mulai surut, tepian sungai Noelmina itu akan dipenuhi kerikil dan endapan-endapan pasir basah, yang jika mengering akan tampak menggunduk seperti bukit-bukit kecil di padang gurun.

Ia hapal betul, kapan air akan meluap dan kapan akan surut. Dari rumahnya ia dapat mendengar gemuruh air pasang. Sesekian waktu, bila suara gemuruh itu merendah, artinya air telah surut dan ia akan berjalan menuruni jembatan sambil membawa karung dan sekop pasir yang sering ia gunakan.

Selain karena paling bersemangat, rumahnya juga paling dekat dari Noelmina. Jadi ia selalu dapat mengumpulkan pasir lebih banyak daripada teman-temanya.

Ia tinggal di tepi Noelmina itu bersama ibu dan kedua adiknya. Bapaknya hilang ditelan banjir besar lima tahun lalu, jasadnya juga tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Rumah alang-alabg itulah satu-satunya warisan kakeknya yang turun temurun hidup sebagai penggali pasir. Rumahnya tepat berada diperbatasan dua kabupaten; Timor Tengah Selatan dan kabupaten Kupang.

Noelmina dan rumahnya hanya berjarak sekitar 500 meter. Didepan rumahnyalah terdapat jembatan yang menyambungkan dua kabupaten itu. Jembatan itulah yang saban hari akrab ia naik-turun. Dan dari seberang jembatan itulah ia membantu ibunya yang pincang untuk menghidupi kedua adik perempuannya.

Orang-orang memanggilnya Mesak. Badannya kecil tapi tegap dan berisi. Kulitnya hitam kusam oleh sengatan matahari dan debu-debu pasir. Rambutnya cepak, merah dan kering. Usianya belum genap sembilan belas tahun. Setamat SMP ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia tahu, ibunya tidak mungkin bekerja lebih untuk membiayai sekolahnya. Maka ia putuskan untuk terjun berjibaku dengan pasir dan kerikil, meneruskan pekerjaan warisan ayahnya.

Satu adiknya, Mina, berumur sepuluh tahun, dan satunya lagi, Yanti, baru masuk SD. Dengan kakinya yang pincang sebelah, ibunya hanya bisa bekerja sebagai penjual sayur dipasar.

Meski begitu, ibunya sangat bersemangat untuk menyekolahkan kedua adiknya.

Seringkali, saat sayur telah laku terjual, ibunya akan pulang lebih awal untuk menyusulnya turun ke sungai Noelmina, sekedar untuk membawakan air putih atau makanan kecil yang bisa ia makan saat beristirahat dari galian pasirnya.

Berapa pun hasil yang ia dapat dari menggali pasir, selalu ia serahkan pada ibunya. Ibunya pun tak pernah banyak bicara, kecuali mengucapkan terima kasih. Di antara teman-temannya, sesama penggali pasir, hanya ia yang tidak berani macam-macam. Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil jerih payahnya untuk ditukarkannya dengan rokok satu lima tiga atau Sopi (Miras lokal) yang baunya menyengat itu. Namun, setiap kali teman-temanya mengajaknya pesta kecil-kecilan ia selalu memiliki alasan yang tepat untuk menolak.

***

Di usianya yang masih muda ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman baru. Hidup serba sederhana sebagai penggali pasir tak pernah membuatnya mengeluh. Hari melaju dari minggu ke bulan dan tahun. Hari-harinya tak ada yang baru. Pagi-pagi buta sebelum dunia terbangun ia sudah bangun. Mencari rumput untuk dua ekor babi peliharaannya. Setelah itu ia akan cepat-cepat menuju sungai.

Pagi-pagi ia akan menaiki jembatan dan turun ke tepian sungai untuk menepuk-nepuk endapan pasir dengan kakinya. Ia bisa menerka, mana pasir yang bagus dan mana pasir yang kurang bagus. Bila terdengar suara ‘bug’ maka bisa ia pastikan, pasir itu bagus dan tidak banyak bercampur kerikil. Setelah itu ia akan mulai membuat tanda galian di situ.

Para pembeli dan pemilik truk pasir selalu tepat waktu mengangkut pasir-pasirnya. Bila pasir yang ia kumpulkan bagus, maka satu baknya bisa dihargai 250 sampai 300 ribu. Namun bila pasir yang ia dapat bercampur lumpur dan kerikil, biasanya para tengkulak hanya akan menghargainya 100 ribu atau terkadang 70 ribu.

Selepas musim penghujan, menjelang kemarau. Ia akan mengumpulkan banyak uang. Sebab, setelah air sungai susut, sepanjang tepian Noelmina itu akan dipenuhi endapan pasir. Para masyarakat akan berbondong-bondong menuruni jembatan, seperti menyambut musim panen. Mereka akan berlomba dan berebut menandai galian. Sebab bila telah ada satu galian, pantang bagi orang lain untuk meneruskan galian di tempat yang sama.

Bila musim hujan kembali, ia akan banyak menganggur.  Sebab luapan sungai Noelmina yang deras tak memungkinkannya untuk membuat galian. Bila musim hujan tiba, ia akan banyak menghabiskan waktunya di rumah. Menjagai kedua adiknya, ketika ibunya pergi ke pasar.

***

Menganggur sering membuatnya tidak betah. Meski hujan gerimis, seringkali ia menaiki jembatan dengan gelisah. Tatapannya tajam, memperhatikan arus banjir yang bergulung-gulung bercampur lumpur dan sampah. Ia selalu berharap supaya air bah tidak terlalu besar. Sehingga dua atau tiga hari ke depan ia sudah bisa memulai galian. Namun, di musim hujan begitu, sebulan sekali saja ia bisa menandai galian, ia sudah beruntung.

Musim hujan, baginya tak ubahnya sebuah cobaan. Seperti kemarau panjang bagi para petani. Pada musim penghujan, ia harus banyak bersabar dan berdoa. Ketika Sungai Noelmina surut, ia akan mengalami sedikit kesulitan dalam pekerjaanya. Karena biasanya pasir di tepian Sungai masih dipenuhi air. Sehingga ia harus bekerja ekstra.

Terkadang ia berpikir, barangkali musim penghujan memang sengaja diturunkan untuk para penggali pasir, supaya mereka beristirahat sejenak.

Seperti ketika Tuhan menciptakan malam untuk istirahat dan siang untuk bekerja.

Toh, selepas musim penghujan, mereka akan memanen pasir lebih banyak dari biasanya. Pasir-pasir itu memang seperti diciptakan untuk mereka. Meski bertahun-tahun dikeruk, tapi tak pernah habis, selalu datang yang baru. Terkadang ia berpikir, entah dari mana datangnya pasir-pasir itu. Barangkali dari langit yang turun bersama hujan.

***

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, musim penghujan tidaklah sekejam itu. Tapi, yang ia keluhkan, musim penghujan kali ini memang sedikit lebih panjang. Buruknya lagi, musim penghujan kali ini datang tepat bersamaan dengan tahun ajaran baru. Ketika kedua adiknya butuh biaya lebih untuk bayar ujian, daftar ulang, buku baru, dan tetek bengeknya. Sekilas ia menangkap raut cemas pada wajah ibunya. Uang hasil jualan sayur dipasar tentu tidak cukup, sebab mereka juga butuh makan.

Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan bagimana melunasi biaya-biaya sekolah adiknya. Matanya masih nyalang, menelanjangi langit-langit rumahnya yang begitu kelam seperti gua. Sayup-sayup telinganya masih mendengar deru banjir yang sedari pagi tak henti-henti.

Sesekali ia menoleh, di sebelahnya ibunya sudah terlelap memeluk adiknya yang paling kecil. Tampak wajah kepayahan pada wajah-wajah itu. Adiknya yang satu lagi sudah mendengkur memeluk bantal dengan liur berleleran di pipi. Ia tersenyum simpul. Namun, jauh sekali di dalam hatinya, ada yang menyala-nyala. Sulutan antara kecemasan, kasihan, marah, tak terima, semua melebur dan berkobar dalam dadanya. Ia memaksakan matanya untuk terpejam. Ia ingin rehat sejenak, tanpa memikirkan apa pun. Ia ingin segera tidur.

***

Seperti biasa, pagi-pagi sekali ia sudah terbangun. Sisa hujan semalam membuat udara sangat lembab. Tanah-tanah masih becek dan berkubang air. Ibunya pun sudah mulai membakar karet sandal untuk menyalakan tungku. Ia duduk di depan tungku, di sebelah ibunya yang sibuk meniupi api. Asap berhamburan. Ibunya terbatuk-batuk.

“Sudah, biar saya saja!” ia mengambil alih, dengan segenap tenaga ia menyemburkan tiupan, api pun berkobar membakar kayu dan kertas-kertas bekas. Ia dan ibunya sama-sama diam, wajah mereka tampak terang dan berkilat-kilat oleh pantulan api yang berkobar dari tungku.

“Terakhir kapan, Mama?” sambil membetulkan kayu di perapian.

“Terakhir apa?”

“Bayar uang sekolahnya Yanti dan Mina.”

“hari kamis ini.” Jawab ibunya datar, tanpa ekspresi. Ia terdiam, matanya terpaku pada ranting-ranting yang terbakar api dalam tungku.

“Berarti sebentar saya harus mulai gali pasir lagi,” bisiknya lagi.

“Hush! Jangan aneh-aneh ! Apa kau tidak dengar suara banjir itu. Sungai masih meluap-luap. Tunggu dulu, setidaknya sampai minggu depan.”

“Tapi, kan, kita harus bayar uang sekolahnya Yanti dan Mina, Mama.”

“Sudah, nanti saya pinjam uang”

“Pinjam uang dimana lagi, Mama?” ia menekankan suaranya, tak terima. Namun ibunya malah memelototinya. Akhirnya ia memilih diam.

***

Matahari megapung naik. Sesekali meredup terhalang mendung yang masih menggumpal di rongga langit. Ibunya sudah berangkat ke pasar. Kedua adiknya juga sudah berangkat ke sekolah. Tinggal ia seorang diri. Beberapa kali ia menaiki jembatan, untuk memastikan luapan air sudah mulai surut atau belum.

Semakin siang, suara gemuruh banjir kian lirih, kian reda. Untuk ke sekian kali ia menaiki jembatan. Ia tersenyum senang. Air mulai surut. Ia menatap ke sepanjang tepian Sungai Noelmina. Tampak gundukan pasir basah yang masih bercampur endapan lumpur, berkilat-kilat oleh kedipan matahari. Gumpalan awan gelap pun tampak memudar. Ia yakin sekali, langit sudah mulai lelah menangis. Air akan semakin surut. Ia tersenyum yakin. Sudah terbayang ancang-ancang dalam kepalanya.

Ia bergegas. Kembali ke rumah untuk mengambil karung dan sekop. Ia akan segera memulai galian. Saat itu juga. Ia akan menandai dua atau tiga galian sekaligus. Ia orang pertama yang menuruni jembatan. Artinya, ia bebas memilih gundukan pasir yang paling bagus untuk ia tandai.

Bergelimanglah ucapan syukur dalam kepalanya. Ia akan mengumpulkan pasir-pasir terbaik. Para juragan pasir akan membayarnya lebih. Biaya sekolah Yanti dan Mina akan lunas. Ibunya akan tersenyum lepas. Ia merasa legah. Namun, adakah Pemilik Hujan megiyakan? Tentu ia tidak tahu, bahwa nun jauh di sana, di hulu Noelmina, bah besar mulai melata. Di sana, hujan turun deras sekali, sudah berhari-hari. Seharusnya ia camkan kata-kata ibunya, bahwa setelah bapaknya, sudah lama sekali sungai Noelmina tidak menelan korban.

***

Honing Alvianto Bana, lahir di Kota Soe - Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif bersama pemuda GBKN. Ia sama seperti banyak laki-laki yang pernah kalian temui dipersimpangan jalan.