Cerpen | Pertanyaan Tentang Mati

Di atas kasur yang empuk dan suhu udara yang dingin, perlahan kedua tangan mereka saling bertautan. Kepala dan tubuh mereka pun menyusul bersentuhan.

Sabtu, 27 Juni 2020 | 06:39 WIB
0
361
Cerpen |  Pertanyaan Tentang Mati
ilustrasi: pixabay.com

“Kalau bulan ini aku mati, apakah kamu akan secepatnya mencari penggantiku?” seorang suami bertanya pada istrinya.

“Mengapa tetiba kamu menanyakan hal itu?”

“Tak perlu alasan besar untuk menanyakannya bukan? Kita tahu semua orang akan mati, dan aku merasa saat ini perlu menanyakannya padamu.”

“Entahlah.”

Sang istri sejenak terdiam. Ia sibuk menyedu secangkir kopi robusta Lampung dengan setengah sendok teh gula pasir. Sang suami menatap keningnya, seperti mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan istrinya. Atau sedang mengendapkan pertanyaan?

“Apa yang kamu pikirkan?” desak sang suami.

“Ah, tidak apa-apa.” jawabnya sembari meletakkan secangkir kopi dengan tatakan putih polos di atas karpet di ruang keluarga.

“Aku ingin mendengarkan jawabanmu.”

“Kamu serius?”

Aku mengangguk.

“Bagaimana kalau aku yang mati lebih dulu?” istrinya balik bertanya.

Ehm…

“Aku akan melanjutkan membesarkan anak-anak. Dan mengunjungi kuburanmu setiap kali ada kesempatan.”

“Dan kamu akan secepatnya menikah lagi?”

“Aku tidak tahu. Dulu aku sempat berpikir demikian. Tetapi semakin hari aku mengganggap hal itu hanya lintasan pikiran yang kurang menarik. Hari-hari ini aku sering berpikir bahwa tak lama lagi langit akan runtuh. Seperti mimpi, tapi terjadi di siang hari di saat aku terjaga. Barangkali aku tak akan sempat menikah lagi. Aku hanya ingin melihat anak-anak tumbuh dewasa dan sempat melihat mereka menjadi orang tua seperti kita.”

“Kamu terlampau khawatir.”

Sejenak mereka terdiam.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.” sang suami mengingatkan pertanyaan awal.

“Aku realistis saja.”

“Maksudmu?”

“Tidak ada yang salah dengan menikah lagi.”

“Hmm… kamu tak beda jauh dengan tetangga kita yang menikah lagi setelah suaminya meninggal belum genap empat bulan.” sang suami menanggapi dengan senyum tipis tanpa menduga jawaban istrinya yang seperti tanpa beban.

“Aku gak bisa memastikan keputusan apa yang akan aku ambil terhadap peristiwa yang belum terjadi. Bisa jadi akan menikah, bisa juga tidak. Paling tidak aku perlu waktu untuk mengambil keputusan yang terbaik. Dan tak perlu aku katakan sekarang.” jawab istrinya sembari mendekatkan secangkir kopi yang sudah mulai dingin di hadapan suaminya.

Sementara semua chanel televisi sepanjang hari dan malam tak bosan berlomba menyiarkan berita tentang virus COVID-19. Banyak orang dilanda kepanikan dan menyebarkan berita-berita yang sering dibumbui hoax karena ketakutan akan mati.

“Kita tak perlu seperti itu.” sambung istri mengomentari orang-orang yang memborong sembako yang diberitakan di televisi sebagai antisipasi bila wabah penyakit semakin memburuk di kemudian hari. “Ketika benar-benar terjadi, orang-orang sebenarnya tak sepanik itu.” ia melanjutkan komentarnya.

“Sudahlah, habiskan kopimu.” sambungnya lagi.

“Well, apa yang harus kita lakukan malam ini?”

“Matikan tivinya, putar musik atau radio saja. Tapi kita temani si bungsu tidur lebih dulu. Besuk pagi dia mulai ujian sekolah.” Sang suami mengiyakan dan menunggui si bungsu terlelap tidurnya. Dipandanginya wajah polos anak itu lekat-lekat. Ia merasa waktu berjalan begitu cepat.

“Sudah pulas.” kata sang istri sambil menunjuk si bungsu, dan memberi isyarat mata pada suaminya.

Mereka melangkah ke kamar. Seperti saat-saat baru menikah.

Keduanya rebah di ranjang di dalam kamar yang telah terkunci dan tertutup rapat. Dihiasi lampu remang-remang mereka bercakap-cakap.

“Kamu capek?”

“Sedikit lelah.” sang suami menjawab jujur.

“Apakah kamu masih bahagia saat ini?” sang suami balik bertanya.

“Tentu saja.”

Di atas kasur yang empuk dan suhu udara yang dingin, perlahan kedua tangan mereka saling bertautan. Kepala dan tubuh mereka pun menyusul bersentuhan.

Satu jam kemudian sang suami mengecup kening istrinya.

“Selamat malam, istriku.”

“Selamat malam, suamiku.”

Dan mereka pun terkulai lemas, seolah tak pernah ada pertanyaan tentang mati. 

***