Dendam Putih Mantan Mahasiswa

Karena sambil berbisnis sewaktu mahasiswa, akibatnya saya acap bolos kuliah demi mengurus bisnis.

Minggu, 2 Mei 2021 | 06:12 WIB
0
388
Dendam Putih Mantan Mahasiswa
Widagdo (Foto: dok. Pribadi)

Baheula, sewaktu masih mahasiswa ITB banyak manteman kuliah yang nanya, kenapa saya membeli mobil mewah BMW padahal saya sama sekali gak bisa nyetir ?

Jawabannya disebabkan oleh 3 hal:

Pertama, karena "dendam putih" kepada Prof. Widagdo. Beliau adalah dosen killer di Desain Interior ITB.

Kedua, karena terpengaruh reifikasi sukses (ukuran duniawi). Dulu, sebagai anak muda saya ingin simbol sukses.

Ketiga, karena bisnis demi mengentertein artis band yang saya endorse sebagai influencer.

Berbisnis semasa masih mahasiswa, membikin konsentrasi saya terpecah dua. Antara mengurus bisnis produk kreatif saya di mal dan mengurus perkuliahan S-2 Desain ITB, yang langsung saya lanjutkan begitu lulus S-1 Desain ITB.

Sebenarnya gak ada minat saya untuk ngambil S-2 di jurusan yang sama. Minat awal saya adalah S-2 Teknik Industri ITB, karena pengen banget ilmu manajemen dan ilmu supply-chain demi memperkuat bisnis ritel yang sudah saya rintis di mal.

Karena gak keterima, maka S-2 Desain ITB terpaksalah menjadi pelarian saya.

Akhirnya, di S-2 Desain ITB lagi-lagi saya ketemu dengan para dosen dan ilmu yang sama. Naaah... salah satu dosen killer yang waktu kuliah S-1 acap bagaikan "Tom & Jerry" dengan saya adalah Prof. Widagdo.

Seperti apa beliau ini dimata para mahasiswa?

Beliau adalah dosen yang paling disegani se-Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Beliau adalah produk didikan Jerman. Beliau juga beristrikan bule Jerman, yang juga menjadi dosen killer di FSRD-ITB. Meskipun killer, beliau berdua adalah dosen berotak superior.

Kesan superior tersebut semakin setrong, karena setiap datang mengajar ke kampus ITB, mereka berdua selalu tampil eksklusif dengan mobil mewah bermerek Jerman: BMW & Mercedes. Sungguh terlihat sebagai simbol sukses!

Karena sambil berbisnis sewaktu mahasiswa, akibatnya saya acap bolos kuliah demi mengurus bisnis. Dulu, nyaris setiap bulan saya sibuk bolak-balik "biz-travel" ke mancanegara. Terpaksalah rekam jejak soal kehadiran kuliah saya menjadi amburadul.

Makanya, rekam jejak perkuliahan saya yang ngaco inilah yang membikin Prof. Widagdo membulli saya sebagai mahasiswa sontoloyo. Sudahlah prestasi akademik saya ambyar, absensi kuliah saya juga dilihatnya parah pisan.

Begitulah kesan yang ada di memorinya. Akhirnya, saya pun dicapnya sebagai mahasiswa "inang-inang" (istilah bahasa Bataknya: pedagang).

Di sisi yang lain, sejak mahasiswa saya memiliki agenda masa depan sendiri. Kekritisan saya bertolak belakang dengan prinsip Jermanisme beliau yang rigid. Istilah saya, pemikiran beliau itu Bauhaus banget (Baca: manifesto Bauhaus di Jerman diabad 19).

Sementara di mata saya, sebagai mahasiswa berorientasi bisnis, doktrin pemikiran ala Jerman tersebut sangat gak berorientasi pasar, berpikiran kaku, sarat egoisme, terlalu memuja kualitas, fakir kegembiraan dan terjebak superioritas. Singkatnya, gak "market friendly".

Sebagai mahasiswa berjiwa entrepreneur yang rebel, saya ingin membuktikan, bahwa pilihan saya untuk selalu berseberangan dengan prinsip beliau, tidaklah salah. Tidaklah kiamat !

Saya teteup percaya diri dengan dunia bisnis yang udah saya rintis sejak mahasiswa, meskipun dibulli beliau dengan julukan: sontoloyo, inang-inang dan pedagang.

"Meskipun nilai IPK saya ambyar, tetapi bisnis rintisan saya mesti berkibar!" begitulah janji iman saya sebagai mahasiswa entreprener penyembah pasar... hehehe

Memang, kuliah S-2 Desain ITB dengan bimbingan beliau ternyata gak cucok. Akhirnya, kuliah saya tinggalkan. Tahun 1998, saya di DO dari ITB. Puji Tuhan... alhamdulillah, ternyata saat itu bisnis ritel saya di Bandung Indah Plaza (BIP) berkembang semakin pesat. Sehingga sampai ekspansi buka cabang ke Blok M Plaza, Jakarta.

Sebagai "dendam putih" setelah saya di DO dari ITB, dari hasil kreativitas dan keringat berbisnis itu, saya pun membeli mobil mewah BMW dan rumah pribadi di Bandung Utara.

Pesan moralnya adalah jangan patah arang jika prinsip dan agenda privatmu disepelekan. Itu misteri yang siapapun gak bisa tahu dan hakimi!

Met ultah 87 tahun Prof. Widagdo 1 Mei.

Dari mantan mahasiswamu.

***
.