Logam Tanah Jarang

Selain China, perusahaan yang sudah mengajukan minat membeli hasil eksploitasi LTJ Indonesia, di antaranya Toyota Motor Internasional dan Sumitomo.

Senin, 11 Mei 2020 | 05:48 WIB
0
217
Logam Tanah Jarang
Rare Earth Material (Foto: The Verge)

Logam Tanah Jarang (LTJ) atau dalam Bahasa Inggris disebut Rare Earth Materials (REM), sesuai namanya memang tidak disetiap daerah bisa ditemuakan. LTJ, adalah 17 unsur atom yang terdapat dalam tabel periodik kimia masuk dalam kelompok Lantanida, yaitu Lantanum (La), Cerium (Ce), Praseodimium (Pr), Neodimium (Nd), Prometium (Pm), Samarium (Sm), Europium (Eu), Gadolinium (Gd), Terbium (Tb), Disprosium (Dy), Holmium (Ho), Erbium (Er), Tulium (Tm), Iterbium (Yb), dan Lutetium (Lu), plus Yttrium  (Y) dan Scandium (Sc).

Manfaat besar dari LTJ adalah mudah dipadukan dengan unsur lain atau molekul tertentu, hingga menghasilkan molekul baru yang memiliki sifat yang jauh lebih kuat dibanding dengan unsur atau molekul biasa. Misalnya, Disporium, Samarium, atau Praseodimium bila dipadukan dengan Magnet, akan menghasilkan magnet dengan gaya magnet hingga puluhan kali lipat dibanding magnet biasa.

Lalu Erbium, jika dilebur dengan baja akan menghasilkan baja yang memeiliki kekerasan dan kekuatan yang jauh lebih tinggi dari baja biasa. Sedangkan Prometium adalah bahan baku baterai nuklir. Masing-masing unsur dalam LTJ memiliki manfaat yang sangat signifikan.

Dalam aplikasinya, unsur-unsur LTJ banyak dipakai dalam industri berteknologi tinggi permesinan, elektronika, mesin pembangkit, mesin pneumatik, hingga industri optik. Salah satu contoh produk dari aplikasi pemanfaatan LTJ adalah kereta api ekspress, mobil hibrid, mesn jet, dan lensa teleskop raksasa.

Hal yang menyebabkan LTJ bernilai ekonomi sangat tinggi adalah proses pemisahannya dari unsur-unsur logam yang ‘diikutinya’ dan material lain yang sangat rumit. LTJ biasanya terdapat di daerah tambang logam tertentu seperti tembaga, timah, bauksit, dll. Selain itu, rendemen LTJ dalam satua massa material sangat rendah sekali. Yttrium misalnya, hanya sekitar 1%.

Sebenarnya, LTJ banyak terdapat dalam limbah pertambangan mineral. Manfaat yang tinggi, proses ekstraksi yang rumit dan membutuhkan teknologi tinggi, maka ekstrak unsur-unsur LTJ harganya sangat mahal.

Selama ini, mineral monasit yang mengandung LTJ dalam bentuk pasir diekspor dengan harga sekitar Rp1000-3000 per kilogram. Padahal, menurut Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), monasit yang mengandung LTJ ini harganya bisa mencapai Rp7 juta per kilogram. Bahkan ekstrak unsur LTJ tertentu bisa dihargai sampai US$10 ribu,”

Saat ini, China sebagai produsen utama LTJ, dengan tingkat produksi 43 juta ton per tahun. Namun sejak 2012 China menghentikan ekspor, mengingat angka permintaan mineral LTJ di dalam negeri terus meningkat. Oleh beberapa negara, seperti Amerika, Jepang, Inggris dan Perancis, kebijakan itu sebagai strategi China untuk menghambat perkembangan teknologi di negara lain.

Sementara di Indonesia komersialisasi LTJ dalam skala industri baru dimulai. Padahal faktanya, teknologi pengolahannya sudah dikuasai sejak 25 tahun lalu. Ia mengatakan bahwa di beberapa wilayah di Indonesia juga terdapat kandungan logam tanah jarang cukup besar di dunia.

Berdasarkan neraca lembaga geologi nasional, Indonesia memiliki potensi LTJ sebesar 1,5 miliar ton. Ini merupakan cadangan strategis nasional. Penambangan dan pengolahan LTJ saat ini sedang digencarkan, dan ditargetkan sudah memasuki tahap komersialisasi pada 2019.

Karena masih terkandung dalam batuan Monasit, LTJ kerap ‘dijual’ murah oleh penambang gelap. Bahkan, kalaupun ditambang dalam jumlah besar, selama ini teronggok percuma di pabrik pengolahan timah, di PT Timah di Bangka Belitung. Jumlah deposit LTJ di Bangka Belitung diperkirakan mencapai tujuh juta ton, yang merupakan logam ikutan pada timah.

Mineral-mineral itu hanya menjadi produk sampingan (slag) bagi perusahaan-perusahaan vendor PT Timah. Sayangnya, mineral dari sisa material baku timah itu tidak diolah. Banyak di antara para pemilik material LTJ yang menyelundupkannya ke luar negeri.

Tahun 2017 lalu, BATAN bersama sejumlah badan dan kementerian, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Institut Teknologi Bandung (ITB), menggagas berdirinya Konsorsium Industri LTJ, di bawah kordinasi BATAN. Secara teknis, konsorsium ini diharapkan mampu memproduksi LTJ sebanyak 2000 kilogram per hari.

Dari segi bisnis pengolahan LTJ sebenarnya sangat menjanjikan. Untuk bisa membangun pabrik hingga berproduksi hingga mencapai tingkat keekonomian, dibutuhkan modal tidak lebih dari Rp125 miliar. Berdasarkan perhitungan BATAN, modal itu akan kembali atau break even point dalam waktu tiga tahun. Atau secara kasar, rata-rata return of investment pengolahan LTJ mencapai 33%.

Untuk menarik para investor masuk ke industri LTJ, pada tahun 2015 Pemerntah bersama DPR telah melakukan amandemen atas Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Sebelumnya, Undang Undang itu menetapkan bahwa bahan tambang mineral radioaktif hanya diperuntukan untuk kegiatan non komersial.

Berdasarkan sifat-sifat kimianya, unsur-unsur mineral yang termasuk LTJ adalah bahan radioaktif. Pertimbangan pelarangan tujuan komersial atas penambangan dan pengolahan mineral LTJ dengan tujuan komersial, tentu saja aspek safety.

Karena, dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi, jika diizinkan untuk diperjual-belikan secara bebas, maka dikhawatirkan banyak pihak yang melakukan penambangan dan pengolahan mineral LTJ secara sembarangan. Itu bisa berbahaya bagi orang-orang yang terlibat dalam, juga bagi lingkungan hidup.

Sekarang sudah banyak perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia. Salah satu pendorongnya adalah kebijakan Pemerintah China sebagai eksportir terbesar LTJ, sudah menghentikan ekspor LTJ karena demand di pasar domestik yang terus meningkat. Selain China, perusahaan yang sudah mengajukan minat membeli hasil eksploitasi LTJ Indonesia, di antaranya Toyota Motor Internasional dan Sumitomo.

***