Kepercayaan Adalah 'Nyawa'

Kepercayaan adalah nyawa bagi perusahaan. Dan ‘nyawa’ itu hanya satu, kalau rusak atau hilang tidak bisa dipulihkan lagi.

Selasa, 3 Januari 2023 | 09:12 WIB
0
167
Kepercayaan Adalah 'Nyawa'
Rapat perusahaan (Foto: talenta.co)

Dalam bisnis, kepercayaan adalah ‘nyawa’ bagi perusahaan yang harus senantiasa dijaga. Kepercayaan adalah pilar moral dan folosofis perusahaan yang sangat dipengaruhi atau berkaitan erat dengan karakter pemiliknya.

Cara perusahaan menjaga kepercayaan, berbanding lurus dengan sikap pemiliknya dalam menghargai dan menghormati orang lain. Pembuktiannya, sikap itu akan dirasakan oleh karyawan dan mitra-mitra bisnis. 

Secara sederhana pilar ini sering diungkapkan dalam satu adagium, “Your words is your bond”. Ada seorang pengusaha besar mengatakan pada saya, “Saya selalu menekankan kepada karyawan, jika anda bodoh, saya mau menyekolahkan anda. Tapi jika anda tidak jujur, silakan pergi dari sini.” Dalam bisnis kepercayaan adalah keniscayaan. Apakah dia benar-benar menerapkan apa yang dikatakannya? Waduk!

‘Kepercayaan’ ini harus menjadi identitas yang terimplementasikan sebagai budaya perusahaan. Teknisnya seperti apa? Konsisten dengan apa yang telah disepakati dalam kontrak dengan mitra bisnis. Misalnya, waktunya membayar ya harus membayar, tepat waktu dan tepat jumlah. 

Kecuali terjadi hal-hal luar biasa sehingga menyeret perusahaan ke dalam kondisi force majeur. ‘Kepercayaan’ dalam bisnis tidak bisa hanya diungkapkan dalam statu statemen, harus dibuktikan. 

Nah ... jika ada mitra bisnis yang mengeluh betapa sulitnya menagih pembayaran dari perusahaan A. Padahal dalam kontrak disebutkan, perusahaan A harus sudah membayar pada tanggal sekian, jumlahnya sekian. Yakinlah, perlakuan tidak konsisten oleh perusahaan itu juga dilakukan terhadap semua mitra bisnisnya. 

Bisa dipastikan, perusahaan A itu juga melakukan hal yang sama dalam membayar pajak atau kewajiban lain kepada negara. Maka tunggulah, kehancuran perusahaan A itu hanya soal waktu. Cepat atau lambat.

Jadi, apabila anda yang pernah berbisnis dengan kelompok bisnis B, baik sebagai pemasok barang atau penyedia jasa, lalu mengalami kesulitan dalam menagih pembayaran dari kelompok bisnis B itu. Pasti anda tidak akan mau lagi berbisnis dengan perusahaan-perusahaan di grup bisnis B tersebut. 

Bukan itu saja, anda juga akan bercerita kepada pemasok barang atau penyedia jasa lain. Sehingga, secara tidak langsung, grup bisnis itu telah mengisolasi diri dari mitra-mitra bisnisnya. 

Pencederaan terhadap ‘kepercayaan’ itu juga bisa dalam bentuk perlakuan tidak fair terhadap mitra bisnis, atau bahkan karyawannya sendiri. Teknisnya bisa dalam bentuk pembebanan kerja yang tidak sesuai kontrak, atau tidak memberikan fasilitas yang tidak sesuai dengan jenis pekerjaan, penetapan dan pembayaran gaji, uang lembur, atau bonus. 

Mungkin juga kenyataannya, kebijakan perusahaan tidak sesuai dengan yang dijanjikan, hingga tindakan penetapan skorsing atau pemecatan yang dilakukan secara sepihak.

Artinya, jika satu kelompok bisnis melakukan pencederaan terhadap ‘kepercayaan’ dari pihak lain (mitra bisnis) atau karyawannya sendiri, melakukan wanprestasi, melanggar hukum (hukum positif), yakinlah perusahaan atau grup bisnis tersebut sedang menggali lubang kubur kebangkrutannya. 

Selain mitra bisnis dan karyawannya sendiri yang dirugikan oleh kebijakannya, siapa lagi yang akan menghukum perusahaan atau grup bisnis yang berlaku curang itu? Kemajuan teknologi, yang kadang berkolaborasi dengan kebijakan semesta. 

Contoh paling nyata, kemajuan teknologi informasi dalam dua dekade terakhir, telah mengubah konstelasi ekonomi, bisnis, dan keuangan, baik dalam skala nasional maupun internasional. 

Dan ... pandemi Covid-19 yang membelenggu dunia dalam enam bulan terakhir, seakan menegaskan, hanya perusahaan yang memiliki budaya dan tata kelola yang baik (good governance), serta memilik visi dalam menyikapi perkembangan (perubahan) yang akan bertahan. Itulah kombinasi, sekaligus kolaborasi sempurna yang menghukum perusahaan-perusahaan yang curang, tidak proper. 

Ketika saya bekerja di Globe Asia dan Forbes Indonesia, setiap tahun menghitung harta orang-orang kaya Indonesia. Hingga tahun 2010, tak terpikir sama sekali, di tahun 2017 akan ada sejumlah perusahaan berbasis digital yang dibangun, dimiliki, dan dikelola oleh anak-anak muda usia kurang dari 30 tahun, dengan nilai pasar hingga puluhan triliun Rupiah.

Tapi kemudian terjadi. Ada Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, Gojek, dan lain-lain. Ini output dari kemajuan teknologi informasi. 

Waktu itu (2010), deretan taipan terkemuka Indonesia adalah mereka yang mengusai bisnis keuangan, properti, manufaktur, sawit, batubara, rokok, semen, migas, energi, dan consumer goods. 

Mereka begitu digjaya, menguasai pasar, memiliki jaringan kuat, relasi dengan politisi pun sangat bagus. Seakan tidak akan bisa digoyahkan. Catatannya, banyak di antara mereka yang terbiasa melakukan praktik bisnis yang tidak fair, curang. 

Budaya dan tata kelola perusahaan yang baik, hanya bisa dibangun oleh manajemen yang baik, baik manajemen SDM, produksi, keuangan, maupun manajemen marketing.

Makin tinggi kualitas SDM, akan makin baik pula manajemen yang dijalankan, efisien, efektif, mudah, dan cepat. Tentu, makin tinggi kualitas SDM, makin tinggi pula bayarannya. Itu hukum alam.

Terkait manajemen, di Indonesia masih banyak perusahaan, bahkan kelompok bisnis besar yang dijalankan secara tradisional. Petinggi di perusahaan atau grup bisnis itu tak lain adalah anggota keluarga atau kerabat si pemilik perusahaan. 

Dasar penunjukan orang-orang yang menempati jabatan penting dan strategis, hanya semata-mata atas dasar ikatan keluarga dan kekerabatan. Tidak atas dasar kompetensi, merit system. 

Gaya manajemen semacam ini jelas sangat mencerminkan sikap dan karakter pemilik perusahaan. Pemilik perusahaan tidak percaya kepada orang lain, tidak percaya kepada profesional. 

Lebih buruk lagi, uang (gaji dan bonus) yang dibayarkan perusahaan untuk orang-orang yang menjabat posisi penting dan strategis, tidak lari ke luar. Tapi tetap berputar di lingkungan keluarga atau kerabat. 

Di sisi lain, kebijakan perusahaan dalam menghargai para karyawannya berupa pemberian gaji dan bonus, pasti buruk. Bisa dibuktikan, perbandingan gaji terbesar yang diterima oleh para petinggi yang tak lain adalah keluarga pemilik, dan gaji terendah yang diterima karyawan lapis terbawah, pasti sangat timpang. Itu bisa dibuktikan. 

Dalam sebulan terakhir, saya mendengar cerita dari beberapa orang tentang perkembangan satu grup bisnis yang di tahun 2010 begitu digjaya, kuat, dan ekspansif. Kini satu per satu perusahaan di grup bisnis itu hancur bahkan lepas. 

Secara teknis, penyebabnya adalah disrupsi teknologi informasi, tidak menerapkan good governance, dan diperparah oleh pandemi Covid-19. Tapi secara moral filosofis, group bisnis itu tidak bisa menjaga ‘kepercayaan’ dari pihak lain, lebih tepatnya mencederai ‘kepercayaan’.

Seperti ditulis di awal, kepercayaan adalah nyawa bagi perusahaan. Dan ‘nyawa’ itu hanya satu, kalau rusak atau hilang tidak bisa dipulihkan lagi. Dalam kondisi seperti itu, doa-doa tidak akan berarti apa-apa. Sebanyak apapun.

***